close
Nuga Sehat

Hepatitis dan Kesalahpahaman

Dua situs kesehatan, “foxnews” dan “webmd.com” menuliskan laporan tentang meningginya angka kejadian penyakit hati di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Menurut data terakhir, penderita hepatitis di negara berkembang menuju pada tingkat wabah, sama halnya dengan penyaklit diabetes. Pengidap hepatitis B dan C, berkembang menjadi kronis. Belum lagi, penyakit hati yang lain seperti perlemakan hati dan kanker hati.

Sayangnya, kebanyakan orang belum mengetahui secara komprehensif soal penyakit ini. Bahkan ada pula yang masih salah mengerti mengenai risiko dan pengobatan dari penyakit hati.

Nikolaos Pyrsopolous, kepala gastroenterologi dan hepatologi dan direktur medis bagian transplantasi hati di Rutgers University mengatakan, banyak kesalahpahaman tentang penyakit hati.

Kesalahpahaman itu, umpamanya, hanya mereka yang peminum alcohol dan pemakain obat-obatan yang rentan terkena hepatitis. “Ini mitos,” kata Nikolaos.

Menurutnya, banyak penderita penyakit hati yang merupakan anak-anak atau orang yang bukan peminum alkohol maupun pengguna obat-obatan. “Mereka terkena penyakit hati disebabkan oleh diet tinggi kalori dan gula,” ungkap Pyrsopolois.

Mitos lainnya adalah, hanya mereka yang sering menggunakan jarum suntik bergantian yang bisa terkena hepatitis C. Kasus ini, katanya, mungkin ada benarny.

Namun jika orang yang menggunakan jarum suntik bergantian didefinisikan sebagai pengguna obat-obatan saja, maka tidak benar. Ini karena banyak orang berusia lanjut dan bayi yang terpapar virus hepatitis C dari pemeriksaan rutin di rumah sakit karena aturan pemakaian jarum suntik yang tidak ketat.

Menurut Pyrsopolois, pasien gagal hati sering kali tidak perlu melakukan transplantasi total. Transplantasi sebagian saja sudah cukup karena hati bisa meregenerasi sel-selnya dengan alami.

Laju penyakit hati yang meningkat, termasuk kanker hati paling banyak terjadi karena peningkatan dampak obesitas dan virus hepatitis. Maka Pyrsopolois menekankan agar orang tidak hanya khawatir soal penyakit hati, tetapi juga menghindari faktor-faktor risiko lain yang juga berkaitan dengan penyakit selain pada hati.

Untuk menjaga agar hati tetap sehat, lanjut dia, hal yang paling penting yang perlu dilakukan adalah memeriksakan kesehatan hati di laboratorium, diet sehat, rutin olahraga, dan ketahui pengobatan dan suplemen yang Anda konsumsi.

Kombinasi obat dalam satu buah tablet bisa memberikan harapan baru bagi pasien hepatitis C, terutama pada pasien yang tidak dapat merespons terapi yang berlaku saat ini.

Studi yang dipublikasikan online di The Lancet, menunjukkan pil ini mengombinasikan dua obat yang statusnya masih dalam uji klinis dan belum mendapatkan izin untuk dipasarkan ke publik.

Kedua obat tersebut adalah sofobuvir dan ledipasvir. Pada tahap uji klinis, kombinasi obat ini menghilangkan virus hepatisis C pada hampir seluruh pasien yang mengonsumsinya.

“Sembilan puluh lima persen pasien hepatitis C yang baru menjalani terapi, dan mengonsumsi kombinasi tablet sofosbuvir/ledipasvir selama delapan minggu, sembuh dari HVC. Pada para pasien ini tidak lagi didapati HCV 24 minggu setelah terapi berakhir.

Serupa dengan ini, pada pasien yang menjalani terapi lain sebelumnya, dan mengonsumsi sofosbuvir/ledipasvir selama 12 minggu, 95 persen sembuh,” ungkap peneliti studi Dr Eric Lawitz, profesor di University of Texas Health Science Center di San Antonio.

Hepatitis C, jika tidak diobati, bisa menyebabkan kerusakan fatal pada liver. Namun, kebanyakan orang belakangan ini terinfeksi hepatitis C tanpa mengalami gejala tertentu. Padahal virus menyebabkan kerusakan jangka panjang, utamanya melukai liver, sebuah kondisi yang disebut cirrhosis.

Terapi baru dengan kombinasi obat ini diharapkan mampu mengobati pasien hepatitis C. Hanya saja, terapi kombinasi obat ini memiliki efek samping akibat penambahan interferon dan protease. Terapi baru ini juga membutuhkan obat-obatan yang kompleks, termasuk pil dan suntikan.

Kurang dari setengah pasien hepatitis C bisa menjalani terapi kombinasi ini. Para pasien ini tidak punya pilihan terapi lain.

“Kami tidak punya pilihan lain. Seperti melukiskan gambar suram untuk pasien ini,” kata Dr David Bernstein, kepala divisi hepatologi di North Shore University Hospital, Manhasset, New York.

Lawitz menerangkan, sofosbuvir dan ledipasvir merupakan agen yang melakukan intervensi langsung ke siklus hidup virus hepatitis C.

Dari sejumlah pasien ini, lebih dari setengahnya yang pernah menjalani terapi, mengalami cirrhosis.

Dalam 12 minggu, hampir semua pasien berada dalam kondisi yang istilah medisnya disebut respon virologi menetap atau SVR. Pada kondisi ini, virus hilang dan mencegahnya mereplikasi. Pasien sembuh secara fungsional.

“Kami mencoba menyembuhkan pasien (yang jumlahnya banyak) dengan obat oral simpel, satu pil sekali sehari tanpa efek samping,” ungkap Bernstein.

Lantaran hepatitis C muncul tanpa gejala, Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat merekomendasikan orang dewasa yang lahir pada 1945 hingga 1965, untuk melakukan pemeriksaan virus hepatitis C.