close

Saya gak pernah ke gaza. Tapi tahu letaknya. Melekat di peta otak saya. Selain tahu letaknya banyak timbunan di memori saya yang bisa bercerita tentang peta di jalur sempit itu.

Timbunan di memori itu datang dari literasi dan update informasi. Update informasi bisa datang dari mana saja.

Seperti updating dua hari lalu. Lewat sebuah lagu ketika saya ngopi bareng dengan dua teman. Teman satu “sekolahan.” Sesama alumni sebuah media. Sesama jurnalis.

Salah satu teman itu pernah ke gaza. Ke gaza city. Lagu di keudai kopi itu seperti mengupdate memorinyanya dan  mengembalikannya ke kota plural yang sudah jadi puing itu.

Si teman pun membagikan cerita gaza miliknya dengan menyambung gaza hang hing heng ..yang jadi milik saya dalam dialog gayung bersambut.

Persambungan gaza ini datang bersamaan ketika denting musik lagu itu merambat. Sang teman menatap saya. Mengangkat alis sembari mengedip nakal. Ia mengangguk. Seakan mengajak saya mengikuti dendang syairnya.

Syair dari lagu “zahrat al mada’en.” Syair yang didendangkan si pelantun dengan dentang gendang arab. Yang membuatnya mengoyang-goyangkan kepala dan sesekali bertepuk tangan.

Lagu “zahrat al mada’en”  bercerita tentang “bunga kota”. Jerusalem. Jerusalem, memang, laksana bunga kota dunia. Bunga kota yang demikian cantik, demikian indah, demikian memukau.

Jerusalem-lah satu-satunya kota di dunia yang berulang-kali diperebutkan, dihancurkan, dibangun kembali, dan diperebutkan kembali di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia.

Simaklah penggalan pendek dari syair lagu “zahrat al-mada’en” yang saya kulik ini:

“..demi dirimu duhai kota doa aku berdoa

demi dirimu duhai kota yang indah, kota yang bersolek bunga

oh al-quds..al-quds…al-quds, duhai kota doa, aku berdoa untukmu

mati kami seakan terbang padamu setiap hari….” dan seterus…

Mereka berjalan di serambi  kuil-kuil

merengkuh gereja-gereja tua

lalu membasuh kesedihan masjid-masjid di sana

duhai malam-malam Isra’,dan seorang yang melesat ke langit.”

Saya mensuport ejaan dendang lagu yang juga dinyanyikan sang teman dengan suara berdesis mengalir dalam bunyi ngak ngik ngok Asik…..

Ada kegembiraan di pagi itu. Kegembiraan dari dasar hati. Ada rasa kebersatuan di syair lagu itu. Kebersatuan nasib. Kami pun mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama musik.

Saya tahu nama sang penyanyi. Dari literasi. Namanya: Fairuz. Seorang arab lebanon. Ia telah menyesaki langit. Bukan hanya langit lebanon. Bahkan langit arab. Langit timur tengah.

Langit keudai kopi kami di pagi itu. Dan saya tak mempersoalkan “kelebanonan” fairuz. Fairuz kelahiran desa dbayeh. Kabupaten cheof.

Di pagi itu juga saya tak peduli fairus yang bernama asli nuhād al-haddād seorang yang lahir dari  keluarga ayahnya kristen ortodok. Yang ibunya dari kristen maronit suriah

Yang saya tahu pesan syair lagu itu sudah meleburkan perbedaan keyakinan. Memberikan semangat hidup. Memberikan roh harapan masa depan.

Pesan lagu itu mencampakkan perbedaan dari  pintu masuk kebersamaan. Rumah kebresamaan untuk meluluhlantakkan saling membenci.

Perbedaan di pintu masuk yang juga pernah pernah diteriakkan oleh seorang michael Jackson: “it don’t matter if you’re black or white.”

Entah hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru tidak menjadi masalah. Itu hanya soal warna.

Bukankah, warna secara fisik adalah sifat cahaya yang dipancarkan, sedangkan secara psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan.

Hakekatnya jika dikaitkan pesan “zahrat al mada’en”  dengan nafas gaza hari ini bangunannya sama. Gaza sebuah jalur yang sering disebut dengan “penjara terbesar di dunia.”

Dinamai sebagai jalur kerena ia memanjang dari utara ke selatan. Sepanjang empat puluh kilometer. Sedangkan lebar terpanjangnya tiga belas kilometer.

Secara keseluruhan luasnya tiga ratus enam puluh kilometer persegi.

Sebutan penjara terbesar untuk jalur ini diberikan oleh media karena ke-empat mata anginnya terkunci

Kita ambil contoh bagian baratnya. Menghadap laut mediteranian. Diblokade. Bagian timur dan utaranya berbatasan yang langsung berbatasan dengan israel digembok abis pakai kunci mati

Hanya bagian selatannya yang dikenal dengan pintu rafah di palang oleh mesir. Palang ini gak bisa dibuka sembarangan. Ada perjanjian antara mesir dan israil sebagai prasyarat untuk dibuka.

Kalau prasyarat ini di langgar konsekuansinya bumi hangus. Perang … kacau  dan balau..

Gaza ibarat makhluk lemah yang diinjak. Setiap kali injakan itu mengendorkan ia menggeliat untuk menggigit, berusaha membunuh si penjajah.

Hari-hari ini gaza kembali diinjak. Sangat keras  Membuatnya  menjerit. Korban berjatuhan. Pembantaian yang tak terperikan.

Gaza dari awal keberadaannya memang sebuah “killing field.” Ladang pembantaian. Saling sering. Saling bunuh.

Literasi saya tentang gaza gak pernah bolong.  Gaza seperti sudah ditentukan oleh takdir geografisnya.  Ini bukan kata saya. Kata sejarahnya.

Sejarah bercerita, sejak berabad-abad silam, wilayah itu sudah menjadi incaran para penguasa pada zamannya.

Letaknya yang bagaikan “sandwich” terapit antara laut dan rute perdagangan utama timur tengah, asia, afrika, dan eropa. Menempatkannya sebagai wilayah strategis. Jadi rebutan.

Gaza bukan hanya sejarah lintas perdagangan. Tanah ini juga pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat belajar agama  Bagi agama langit

Tidaj hanya itu, gaza juga kota ziarah. Ditandai dengan jalan-jalan di kota itu. Para peziarah yang akan menuju ke tanah suci, para penulis kisah perjalanan, serta orang-orang saleh dan saudagar

Itu dulu!

Kota gaza  sendiri-gaza city- dibangun dari reruntuhan kota kuno. Tell al-ajjul. Dari kota inilah, muncul kisah aamson dan delilah. Kisah yang pernah diflimkan dan melegendakan.

Terlalu panjang hanya untuk menuliskan sepotong gaza di cerita pendek ini.  Hari ketika perang kembali berkecamuk Ketika kita bertanya, mengapa pecah perang antara israel dan hamas?

Perang yang telah menjadi  rutinitas. Mereka seperti mengikuti “naskah” yang disodorkan, yang sudah mereka akrabi. Sejak eksistensi hamas tujuh belas tahun silam. Sejak sayap fatah di patahkan.

Sering saya bertanya, bisakah wilayah yang senantiasa dilanda kemelut dan pertumpahan darah menikmati kedamaian?

Bisakah mereka yang tinggal di wilayah itu menghirup udara perdamaian, hidup dengan aman dan tenteram, memperoleh kebebasan, dan benar-benar menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabat?

Saya berharap bahwa perdamaian akan menemukan rumahnya di sana. Harapan itu, hingga kini masih tetap hidup di hati, meski perang belum juga berlalu.

“Saya beruntung,” sela sang teman ketika syair “zahrat al-mada’en” berakhir di kedai kopi pertemuan kami. “Saya pernah ke gaza.”

Beruntung juga, lanjut ceritanya,  pernah menjejakkan kaki di gaza city yang hari-hari ini telah rata dengan tanah. Menyisakan puing dan kuburan massal bagi mereka yang terpanggang.

Dan ketika menjelang bubaran di kedai kopi itu saya berbisik dengan teman yang pernah ke gaza. “Apakah anda berkenan meminjamkan kisah gaza itu untuk saya salin?”

Ia mengangguk.

Dan inilah penggalan-penggalan perjalanannnya ybng tak utuh itu:

“ Saya beruntung bisa menjelajahi banyak perkampungan di gaza. Pernah ke jabaliya, kota kecil tempat lahirnya intifada di tiga puluh tujuh tahun silam.

Saya juga pernah  menyusuri jalan-jalan dari rafah. Jalur gaza selatan. Yang jadi pintu gerbang masuk dari mesir hingga beit lahia dan beit hanoun. Dua kota di bagian utara gaza

Kampung yang dekat garis gencatan senjata di awal berakhirnya perang dunia. Dua kampung itu  dekat dengan pintu gerbang erez crossing. Pintu masuk ke  wilayah israel.

Ketika hari kedatangan saya rumah-rumah penduduk, kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah masih yang hancur dihajar bom-bom yang dijatuhkan pesawat tempur

Saya lihat  hamparan perkebunan jeruk dan zaitun yang rusak parah dilindas tank-tank dan kendaraan lapis baja

Ada anak-anak dan perempuan korban perang di rumah sakit al-shifa. Tergeletak tak berdaya. Itu semua akibat perang. Masih terus berlangsung dan terus berlangsung.

Maka, gak mudah bagi saya membayangkan apa yang terjadi di “penjara terbesar di dunia” itu, saat ini sejak menjadi sasaran bom

Saya juga bisa membayangkan seperti apa kota-kota yang menjadi sasaran pemboman itu. Hancur…

Tags : slide