close
Nuga Life

Depresi Bisa Menjadi Penyakit “Genetic”

Hari ini, Minggu, 20 Maret 2016, laman situs “huffington post, menurunkan tulisan serius berupa bahaya depresi.

Tulisan ini dikutip dari jurnal yang dipublikasikan para peneliti dari University of Granada melakukan meta-analisis dari dua puluh sembilan studi.

Mereka melihat perubahan dalam sel responden yang mengalami depresi selama sebelum dan setelah menjalani pengobatan antidepresan, lalu membandingkannya dengan responden yang sehat.

Secara khusus, peneliti melihat tingkat malondialdehid—yaitu penanda biologis dalam tubuh yang menunjukkan kerusakan sel dan stres oksidatif—dan menemukan hubungan antara depresi dan peningkatan kadar senyawa tersebut.

Sementara itu, diketahui pula bagaimana depresi dan stres oksidatif saling berkaitan dan terhubung.

Stres oksidatif sendiri terjadi ketika tubuh berjuang keras untuk membersihkan radikal bebas, yaitu molekul yang dapat mengubah protein, lipid dan DNA dalam tubuh secara negatif dan memicu sejumlah penyakit.

Sebelum pengobatan, orang yang depresi memiliki tingkat malondialdehid yang tinggi, rendahnya tingkat seng antioksidan serta asam urat, yang menjadi tanda stres oksidatif.

Tapi setelah pasien menerima pengobatan, malondialdehid mereka turun sangat signifikan.

Dengan kata lain, temuan ini menunjukkan bahwa depresi “harus dianggap sebagai penyakit sistemik,” menurut para peneliti.

Hal ini bisa menjelaskan hubungan antara depresi dan penyakit lainnya seperti penyakit kardiovaskular.

Sehingga depresi bisa menjadi awal segala macam penyakit.

Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan yang jelas antara kesehatan mental seseorang dan kondisi fisiologis.

Depresi sangat mungkin berhubungan dengan peradangan dan menjadi penyakit genetik.

Walau begitu, studi terbaru lain yang diterbitkan dalam jurnal Health Affairs menemukan, dokter sering kali tidak menindaklanjuti pasien depresi layaknya pasien dengan kondisi kesehatan lain seperti diabetes atau asma.

Padahal, penelitian menunjukkan bahwa depresi tak bisa disepelekan.

Studi terbaru ini diharapkan memiliki peran dalam mengubah cara orang memandang penyakit mental.

“Otak dan tubuh terhubung,” Sagar Parikh, direktur dari University of Michigan Comprehensive Depression Center.

“Intinya adalah masalah kesehatan mental memiliki dampak pada kesehatan fisik.”

Hubungan ini terkait dengan sistem kekebalan tubuh merupakan tantangan yang sulit. Hal ini dikarenakan stres sulit ditentukan standarnya.

Apa yang mungkin menyebabkan stres bagi satu orang belum tentu bagi yang lain.

Ketika orang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap membuat stres, sulit bagi mereka untuk mengukur berapa banyak stres yang mereka rasakan, dan sulit bagi ilmuwan untuk mengetahui apakah kesan subjektif seseorang dalam jumlah stres yang akurat.

Ilmuwan hanya dapat mengukur hal-hal yang mungkin mencerminkan stres, seperti berapa kali jantung berdetak setiap menit, namun langkah-langkah tersebut juga dapat mencerminkan faktor-faktor lainnya.

Sejumlah peneliti terus meneliti hubungan antara stres dan fungsi kekebalan tubuh, tetapi sejauh ini bukan hubungan itu yang menjadi tujuan utama yang ingin diketahui dalam penelitian immunologi.

Kalaupun ada, para peneliti pun kebanyakan menemukan kendala untuk melakukan “percobaan terkontrol” tingkat stres pada manusia.

Dalam percobaan terkontrol, peneliti bisa mengubah satu faktor sehingga mengetahui pengaruhnya pada faktor lain. Sedangkan pengubahan satu faktor saja sangat sulit dilakukan pada manusia, terlebih untuk mengukur stres.

Meskipun demikian, banyak peneliti yang melaporkan bahwa situasi stres dapat mengurangi berbagai aspek dari respon imun seluler.

Studi para ahli dari Ohio State University misalnya, menunjukkan bahwa stres psikologis mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mengganggu komunikasi antara sistem saraf, endokrin sistem, dan sistem kekebalan tubuh.

Ketiga sistem “berbicara” satu sama lain menggunakan pesan-pesan kimiawi alami, dan harus bekerja dalam koordinasi yang erat untuk menjadi efektif.

Tim peneliti dari Ohio State ini berspekulasi bahwa stres jangka panjang menyebabkan tubuh mengeluarkan hormon stres – terutama glukokortikoid dalam jangka panjang.

Hormon-hormon ini mempengaruhi timus, tempat limfosit diproduksi, dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih.