close

Tulisan itu telah lama sekali tertimbun bersama ingatan saya. Ketika menemukannya dalam bentuk arsip digital dua hari lalu ia sudah berumur  empat puluh delapan tahun lebih.

Saya menemukannya ditumpukan spam google.

Terkejut. Sedikit. Karena tulisan itu masih utuh. Judul hingga isinya. Sampai ke paragraph berikut titik komanya. Masih orisinal.

Gak ada yang berubah dan diubah. Gak seperti tulisan-tulisan sekarang berubah-ubah. Isi dan judulnya hang hing hong…..Gak pernah nyambung

Kalau pun ada yang berubah dari tulisan itu, hanya kemasannya. Tidak lagi dalam bungkus kertas tapi sudah jadi “bundel” digital yang  tampilan bungkus gambar sampulnya agak lusuh.

Era sekarang bundel digital sudah jadi tempat penyimpanan arsip masa lalu. Ia tak memerlukan lemari, rak dan tong besar. Lemari, rak dan tong besar sudah jadi masa lalu.

Bungkus kertas yang memuat tulisan di era saya dulu sudah bermutasi ke kemasan digital itu bernama: tempo.co. Bungkus yang bisa memuat semuanya.

Untuk memungutnya cukup lewat klik ujung jari

Hitungan detik…

Kemasan bundel besar salah satu konten yang sudah diarsip secara digital itu dinamai dengan: tempo. Tanpa ada co-nya.

Format tempo yang tanpa co itu masih seperti dulunya. Dalam bentuk majalah. Utuh. Yang di era sekarang ia dinamai dengan “e-paper.”

“E-paper” yang saya temui  di dua hari lalu itu tinggal setahun lagi memasuki usia setengah abad itu

Sampulnya warna oranye. Ada bingkat garis lurus warna merah yang tegak dan mendatar di atas bawahnya. Ilustrasi gambar karikatur keramaian  sebuah kampanye.

Kampanye dengan wajah banyak tokoh di era itu. Ada yang bermuka tembom bak pau. Ada pria berpeci yang nyesek atau pun anak muda memegang megapon sedang cuap-cuap di tumpukan topeng.

Itulah wajah sampul dari arsip yang salah satu tulisannya yang saya temui dengan sedikit terkejut  itu.

Dari daftar isinya banyak tulisan lain yang nyungsep di banyak rubrik dan halaman.

Macam-macam. Ada sitiung. Itu transmigrasi yang heboh di minang. Teknologi loak, menjinakkan dua kribu, meramal orang jakarta, bulu-bulu kandar. Dan banyak lainnya.

Kembali ke gambar sampulnya, ilustrasi dari garis grafis  karikatur yang menertainya menyesakkan.  Bagian kiri atas sampul depannya di tulis “ pemilu santai” dalam garis melintang.

Saya tahu siapa yang merancang sampul depan dari majalah yang waktu itu sedang mencari kemapanan di tengah dimulainya keteguhan sebuah orde di  republik ketela ini.

Republik ketela yang salah satu medianya bernama majalah berita mingguan  “tempo.”

Tempo dalam bentuk arsip yang ada tulisan saya itu bertanggal 26 februari 1977. Tulisan yang ketika say abaca kembali disalah satu isi rubriknya membuat saya geli. Tapi gak sampai terpingkal.

Judulnya: “pasar jengek.”

Lantas saya mengingat-ingat: itulah bagian dari banyak tulisan saya di pendakian awal sebagai seorang jurnalis. Jurnalis majalah berita mingguan berita tempo.

Jurnalis yang tahun-tahun sebelumnya juga pernah menulis di majalah yang sama tentang petak “kios pinggir kali.” Atau pun ilustrasi profil seorang penjual koran yang diberi judul “si kelasi.”

Dan ditahun-tahun berikutnya status saya melai meningkat. Mulai diberi “assignment” atau penugasan menulis untuk liputan khusus. Dikenal sebagai lipsus.

Paling tidak ada dua lipsus  yang gak lekang di panas dan gak lapuk di hujan yang terus ada di memeori saya. Pertama lipsus “sabang accres” Kedua: “red addair: si penjinak api dari texas.”

“Sabang accres” bikin banyak orang tersedak. Tersedak oleh sebuah tuduhan tentang penyelundupan barang-barang eks sabang le daratan aceh

“Sabang accres” yang kemudian menjadi berita keroyokan media Jakarta yang membuat pelabuhan bebas di pucok panga itu terjengkang lantas kolaps.

Status “bebas”nya dicabut paksa sehingga ia lama menjadi ompong…

Begitu juga dengan lipsus tentang “red addair: si penjinak api dari texas.” Sebuah liputan tentang blow out sumur gas di point a arun. Yang suara gemuruh semburannya bak berpuluh suara jet.

Yangs semburan liarnya mengingatkan orang pada ledakan sumur minyak di alabama.

Tulisan yang membuat saya melambung. Gak sampai mbong. Karena hanya saya yang bisa masuk ke zona blow out bersama tiga jurnalis donya: reuter, afp dan time.

Seingat saya itulah dua tulisan khusus yang pernah menjadi assaigment saya di majalah berita itu. Tulisan seorang stringer. Bukan tulisan keroyokan semacam laporan utama.

Maaf … ngawur.. melenceng….sedikit “hambo”

Khusus tulisan “pasar jengek” itu, kemarin siang, di sebuah bakda zuhur, ia saya bawa keseorang teman di serambi belakang sebuah masjid bernama: az zikra. Kawasan galaxy. Bekasi barat.

Masjid yang sering saya kunjungi bukan karena ashbabnya sama dengan nama sebuah toko buku dan alat tulis di ujung jalan mohd jam dimana saya pernah menjadi sesuatu  di surat kabarnya.

Saya datang ber..bla..bla.. dengan seseorang itu sebagai sesama tuha. Buka sebagai han tu ha le…atau pun tuha peut. Tapi sesama penyandung status “jengek” di era akhir enam puluhan.

Bla..bla..  panjang dengan sang teman hanya untuk mengeksplore kosakata “jengek”. Tidak hanya tentang “pasar jengek” seperti tulisan dirubrik ekonomi dan bisnis tempo itu.

Pasar “jengek” yang dulunya berdinding papan dalam bentuk bangunan kios-kios memanjang dan melintang di sisi jalan diponegoro kutaraja. Kios-kios yang di isi berbagai jenis barang eks sabang.

Barang-barang bebas bea hasil penyelelundupan yang gak pernah di sentuh atau pun berurusan dengan pihak berwajib. Barang-barang yang dikumpulkan dari tentengan para “jengek”

Ya…”jengek.”

Sebuah kata yang melintang pukang era itu. Dan mohon jangan dicari di google search atau membuka kamus kkbi. Gak akan ketemu. Walaupun untuk sekadar akar katanya. Wallahulam…..

Jengek itu, entah siapa yang pertama menguapkannya adalah akronim dari “jango” ekonomi. Jango yang leterlijke-nya diambil dari sebuah judul film yang dibintangi franco nero. “”Jango”

Sebuah film bergenre petualangan ala cowboy. Filem yang berkisah tentang seorang mantan dokter gigi membebaskan budak bernama django. Filem yang membenturkan avantorir.

Petualangan django yang fokus menemukan dan menyelamatkan, istrinya yang hilang saat perdagangan budak

Filem ini adalah fiktif. Menyelipkan humor …

Maaf saya tidak sedang mengulas “jango.” Hanya mengambil sebuah nama yang diadopsi dengan lidah telo berkerut menjadi “jenggo.”

Jenggo yang kemudian bersambung dengan kata ekonomi dalam rimbunnya perdagangan sabang-singapura.

Perdagangan ala barter tahun lima puluhan yang memanfaatkan status sabang sebagai otoritas perdagangan di luar pabean indonesia. Status yang menyebabkan maraknya masuk barang impor.

Dan terhadap pelaku perdagangannya di strata bawah yang statusnya tak lebih dari kuli itulah nama jenggo ekonomi dalam akronim “jengek” dilekatkan

Saya sendiri di era itu pernah jadi pemainnya untuk mendapatkan “uang pecah.” Pemain di tingkat kuli dengan barang tentengan rokok “dunhill” dan rokok yang tiga angka lima-nya

Sesekali saya menjadi “jengek” tenteng barang pecah belah milik si inang-inang yang kala itu ungah dari tanah “be-adong bah…”  meramaikan perdagangan ala “jengek” itu.

“Jengek” sabang -ulee lheue yang bolak balik dan merem di luar pelabuhan sembari menghitung jajan roti menguapkan makan pagi untuk berhemat.

Ya kata “jengek” ini kemudianya menjalar sebagai kosa kata untuk berbagai hal. Berbagai kegiatan. Menjadi symbol dan lain sebagainya.

Bahkan saya menemukan “jengek” menjadi sebuah cerita pendek dengan latar belakang sebuah kampung nelayan di pidie. Cerita pendek yang mengisahkan peran seorang “jengek.”

“Jengek” di kampung nelayan yang menunggu jalo untuk menjalankan profesi “muge”

Memang secara hakekat maupun hakikahnya “jengek” itu “muge.” Seperti banyak “jengek” yang lahir dari berbagai trah…..

Tags : slide