close

Saya hanya skeptis saja dengan koperasi merah putih. Koperasi desa. Yang katanya akan berjumlah delapan puluh ribu. Yang tahun ini akan launching serempak.

Rasa skeptis ini muncul dari umbul otak saya: apakah bikin koperasi model begini merupakan sebuah ide besar?.

Menurut saya tidak.

Alasannya, koperasi sudah ada dari zaman kuda makan besi dan sudah ada di setiap desa. Dari dulunya.

Bahkan di desa saya nun di pucuk panga sana, ketika ayah saya jadi ulee gampong di tiga perempat abad lalu, sudah ada koperasi desa.

Koperasi simpan pinjam. Yang meminjamnya lebih banyak dari yang menyimpan. Meminjam ketika hari mak meugang tiba untuk membeli sie kebeu jagat.

Dulu ketika ada koperasi simpan pinjam di desa saya gak ada anggotanya yang balik langkah. Semua anggotanya melangkah bersama. Karena ia bukan koperasi orderan.

Gak datang darii pucok langet.

Lantas di mana ide besarnya?. Apakah  berat bikin programnya?.

Menurut saya juga bukan hal yang berat.

Yang berat itu justru, apakah anggotanya percaya koperasi itu menjadi jalan kemakmuran bagi mereka.

Seperti saya kutip dari sebuah media mainstream lawan tanding rezim  yang menulis: tanpa konsep dan pengelolaan yang jelas serta menuding proyek empat ratus triliun ini bakal jadi bancakan

Selain itu ditulis juga sarat dengan kepentingan politik yang numpang disana sebgai ajang perjudian yang taruhannya atas nama rakyat.

Saya menyimpulkan media investigasi reporting itu memberi stempel pada pembentukan koparasi merah putih ini: centang prenang.

Diulas juga tentang mayat koperasi unit desa.

Lanjut  ke angka delapan puluh ribu jumlah yang dinarasikan oleh elit. Dan saya gak tahu dari mana angka itu dinujum. Sebuah angka luar biasa besar.

Nujum lainnya dari skeptis saya  merujuk ke  “proyek bansos beracun gratis.”

Sependek pengetahuan saya banyak koperasi selalu keteteran melaporkan sisa hasil usaha, baik swasta maupun pelat merah.

Pun, pengurusnya penuh intrik dan manipulasi sehingga laporan keuangannya kocar-kacir.

Koperasi merah putih ini sepertinya akan berdarah-darah menjadi proyek sapi perah

Untuk itu saya setuju banyak tanya dan nyinyir mengkritisi proyek-proyek bocor halus dari rezim ini.

Sebenarnya gagasan ini menarik secara ilmiah karena menyentuh inti masalah: Ketidakseimbangan arus ekonomi antara desa dan kota.

Meminjam teori ekonomi, intermediasi pasar yang efisien memang dapat memotong rantai distribusi yang panjang, sehingga produsen dan konsumen lokal sama-sama diuntungkan.

Namun, membangun delapan puluh ribu  koperasi tidaklah sekadar “klik-klik” di cloud.

Tantangan sosial, budaya, dan kapasitas manajerial kerap jadi batu sandungan, apalagi bila hanya mengandalkan euforia program nasional.

Repotnya: kalau servernya down pas panen raya, bisa-bisa  “buffering” daripada “hasil panen”.

Di era ini poin penting lain adalah peran teknologi informasi sebagai enabler.

Maaf, tekhnologi informasi  bukan jimat. Perlu edukasi digital dan tata kelola yang cermat, supaya “gudang maya” tidak hanya jadi etalase kosong.

Kalua ada koperasi merah putih yang diakronimkan sebagai ka-em-pe= seperti kapal motor penyeberan di selat sunda dan selat bali aja- akan bergantung pada sinergi sistemik.

Sinergi  antara kelembagaan, infrastruktur, dan partisipasi warga—bukan hanya pada besarnya visi.

Satu hal yang pasti: membangun ekonomi desa perlu lebih dari sekadar romantisme masa lalu, tapi dengan strategi masa depan.

Satu lagi, koperasi itu, umumnya, idenya dari anggota sendiri. Bukan instruksi..

Selain itu ada ashbab lainnya, karena warnanya. Merah putih. Bukan lagi kuning rindang. Karena musim telah berganti. Gak lagi musim semi ala kuningisasi.

Kala ia kuningisasi dan rindang saya ada dinaungannya. Berteduh. Teduhnya anda sudah mafhum. Gak perlu di bahas lebih jauh ke puncak merapi karena mbah marijan sudah terbang ke langit.

Saya belum tahu akan seperti apa koperasi ini dikembangkan di semua desa. Jumlah koperasi itu akan mencapai angka jumbo. Harus didirikan serentak tahun ini.

Alangkah ideal ide itu. Betapa berat membuat programnya. Betapa sulit melaksanakannya –apalagi membuatnya sukses.

Tentu saya gak harus membenci ide ini secara keseluruhan. Saya bisa menangkap ”ruh” yang diinginkan dari program ini: menghidupkan ekonomi desa. Menggerakkan ekonomi rakyat.

Kalau program ini berhasil arah ekonomi negara akan berubah. Mungkin pelaku ekonomi yang sekarang sudah mapan akan merasa terganggu.

Tentu koperasi merah putih tidak harus meniru model kud dahulu. Koperasi kuning. Koperasi unit desa. Yang hebat itu.

Kalau yang ini menurut bacaan saya jauh lebih hebat dari itu. Setidaknya saya melihat ide yang mirip. Semangatnya  yang serupa.

Dengan koperasi ini potensi desa tidak boleh hanya disedot oleh kekuatan ekonomi raksasa. Lalu desa hanya jadi konsumen dari kekuatan ekonomi kapitalis.

Lihatlah yang terjadi sekarang: uang orang desa mengalir ke atas. Pola konsumsi di desa membuat uang orang desa kesedot ke atas.

Uang dari bawah itu kembali ke bawah dalam bentuk penyakit: gula darah, kolesterol, ginjal,  obesitas.

Konsumsi orang desa didekte oleh pabrikan kapitalis. Produk yang kian murah harganya, kian sembrono dalam menjaga kesehatan isinya.

Saya menduga  kebijakan ini didasari suasana kebatinan seperti itu: bagaimana agar ekonomi desa berputar di bawah.

Dengan teknologi informasi semaju sekarang, menyeimbangkan kapasitas produsen dan volume keperluan konsumen sangat bisa dilakukan. Teknologi informasi mutlak diperlukan agar sukses.

Saya belum tahu sejauh mana teknologi informasi diciptakan untuk jejaring pasar koperasi nanti.

Pasti tidak sulit. Membangun ‘gudang’ di dunia maya tidak perlu beli semen, pasir dan besi. Membangun ”pasar besar” di cloud tidak perlu beli atap.

Saya menduga pembangunannya akan dibarengi dengan pembangunan  ”gudang” di awang-awang sana: untuk stok kebutuhan hidup di desa.

Tentu saya juga bayangkan akan dibangun ”pasar” maya yang sangat lengkap.

Dengan demikian satu koperasi desa yang perlu satu jenis barang tinggal posting di situ:  klik. Pun koperasi mana yang kelebihan bahan: klik. Kirim: klik. Bayar: klik.

Yang diperlukan secara fisik tinggalah logistik. Orang desa bisa menjadi pelaku logistik itu.

Begitulah, ketika mendengar niatan itu pikiran saya melayang ke skenario seperti itu. Entah betul atau tidak.  Jangan-jangan betul seperti itu. Atau tidak

Membuat koperasi merah putih  mungkin mau menghidupkan kembali koperasi unit desa  zaman dulu ya, yang sekarang sudah tinggal nama dan sebagian ada tersisa mayatnya

Ketidakjelasan konsep, anggaran, dan tujuan koperasi desa ini juga membingungkan para kepala desa yang mendapat perintah membentuknya.

Jika dana desa dipotong untuk koperasi dan tak bisa dipakai karena jadi agunan pinjaman ke bank untuk operasional, bagaimana mereka bisa membangun desa?

Apalagi jika menilik ke dalam sejarah. Banyak koperasi unit desa dulunya gagal menjalankan misi menyejahterakan masyarakat desa karena kalah bersaing dengan usaha modern.

Usaha sembako gagal karena kalah oleh warung kelontong dan gerai-gerai swalayan. Koperasi simpan-pinjam bangkrut karena tak bisa bersaing dengan kredit bank.

Jika kini koperasi merah putih mendapat beking pemerintah pusat, sama saja negara mendorong persaingan tak sehat antarpedagang di desa-desa.

Gerai swalayan yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari kini sudah merangsek ke pelosok. Mereka akan bersaing dengan koperasi merah putih ini h untuk jenis usaha yang sama.

Saya tak tahu dari mana ide membentuk koperasi ini yang jumlahnya mencapai delapan puluh ribu unit itu

Susah melacaknya karena program ini tanpa kajian akademik dan informasi publik yang memadai.

Menurut jalan imaji saya, agaknya, tak jauh beda dengan ide lain seperti pembentukan holding danantara. Gagasannya datang dari ayahnya, yang kala itu di tolak oleh menteri keuangan.

Sementara itu, modal untuk koperasi kini berwujud pelibatan bank-bank negara memberikan kredit untuk koperasi merah putih.

Yang jelas tak ada  konsep yang terukur dan transparan sehingga bisa diuji publik sebelum diwujudkan.

Nasi sudah jadi bubur. Nostalgia akan ide-ide ayahnya sudah mulai berjalan. Saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat jika implementasi diwujudkan siap-siap terjadi kekacauan.

Koperasi akan bergeser menjadi koper-koper belaka, tempat penampungan uang publik yang rentan dipakai untuk kepentingan politik.

Tags : slide