close
Nugatama

Kampus “every day holiday’

Lima puluh dua tahun sudah, Universitas Syiah Kuala berdiri sambil mengantarkan mimpi pendidikan yang lebih baik di Bumi Serambi. Kisahnya panjang, dengan segala suka duka. Sebuah tulisan masih terbaca pada tugu yang terpacak angkuh di tengah lapangan, “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata, Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita.”

Penulis kami, Darmansyah mencoba memotret kisahnya, pada kampus kebanggan Aceh itu. Tulisan diturunkan dalam beberapa judul, selamat membaca.  

***

Eza, nama ringkas mahasiswa itu.  Menjelang siang, di hari-hari pergantian tahun,  ia masih menghamburkan ocehan  yang kesekian puluh kalinya dengan nada mengumpat. Umpatan dari refleksi mandegnya penyelesaian akhir perkuliahannya. “Minggu depan lagiii……minggu depan lagiii….”

Umpatan itu berserak  bersama  cerocos khas kemarahan Eza  usai menemui dosen pembimbing yang dengan enteng mengatakan,”minggu depan.”  Minggu depan yang tak pasti, seperti “besok”nya “n’jawa” yang bisa besok benaran, seminggu sebulan, setahun dan sampai mati.

Bergumam dalam nada kesal mahasiswi fakultas keguruan itu spontan menyahut dengan  cerocos kecil yang berisik,” tahun depan.”  Sang dosen terpana. “Syukur ia tak tahu apa yang Eza katakan,” tutur mahasiswi berbadan bongsor sembari menggerakkan jari tangannya ke mulut.

Mahasiswi yang bertekad untuk bisa selesai ditahun 2012 itu tak lagi menyimpan kejengkelannya dalam gumam. Di ujung  dhuha yang cerah,  usai  ber”say’s hello” dengan “gang”nya,  di kaki lima  di sebuah  “kantin di timur kampus,” persisnya,   di ketiak kota “pelajar megah”  itu,  ia disambut   suara gaduh yang ribet  khas mahasiswa sembari menukikkan  ketawa ngakak  berdurasi panjang “hhaaa….hhaa… “ milik para remaja.

“Rasain. Aku udah bosan dengan ulah si muka jelek itu,” kata Ayuk yang juga mendapat dosen pembimbing yang sama dengan Eza untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya. Tanpa  menyebut nama  dosen yang mereka tukangi namanya dengan panggilan si “muka jelek,”  Ayuk memberondong Eza dengan kalimat tanya,” udah yang keberapa kali ia bilang belum sempat?  Pasti tidak di bawah angka sepuluh. Saya sudah dua belas kali. Belum bosan!!.”

Menenteng tas punggung, dan menghempaskannya ke meja kantin, Eza melirik kiri kanan. “Aman,” desahnya sembari  meninggikan suara, ”sudah empat bulan bolak balik tak ada finalisasinya. Payah kalau jadi anak reguler. Coba kalau kaya, aku ambil program khusus.”

Eza sengaja menekankan kata “reguler” sebagai cemoohannya terhadap kondisi pembelajaran di kampusnya. Reguler, seperti  pernah dibisikkan seorang dosen senior yang sudah pensiun kepada kami, berarti “every day holiday,” hari-hari selalu liburan.”

Istilah itu, menurutnya, sudah mewabah di memori para  mahasiswa yang lulus program SMPTN dan membayar uang kuliah “standar.” Every day holiday merupakan peristilahan “hari-hari tanpa kuliah.” Seperti jamaknya berkelindan di lingkungan pembalajaran di Unsyiah.

Sang dosen pensiunan, yang kini menjadi rektor sebuah perguruan tinggi swasta, pernah mengajukan protes terhadap “hari-hari tanpa kuliah” dan pembimbing yang seenak “udel”nya mengulur waktu penyelesaian tugas akhir mahasiswa dengan mem”bombardir” sebuah taklimat di rapat dosen.

“Tidak manusiawi. Mereka kan ingin cepat selesai. Mereka juga kebanyakan datang dari daerah dan hidup dari kiriman uang yang dicicil,” ujarnya  mengutip kembali  protesnya di sebuah pertemuan  fakultas. Dengan marah ia  mengejek  peserta rapat dengan kalimat nyelekit yang  menabur  pedih, ”memang  kalau bisa lambat ngapain harus dipercepat.”

Ucapan sang dosen  yang “menabur angin” itu sempat “menuai badai badai di antara sesama rekan-rekannya. Malah ada di antara mereka yang sampai hari masih menyimpan “dendam”  marahan terhadap celutukannya.  Mereka berupaya menghindar kalau berpapasan. “Kekanak-kanakan,” ujar sang pensiunan dosen dengan nada jengkel.

Eza dan Ayuk bukan “korban” pertama dan terakhir “every day holiday.” Ratusan, bahkan ribuan, mahasiswa pernah dan sedang  mengalami nasib yang sama. Tidak hanya pada penyelesaian  tugas akhir,  kasus “minggu depan” ini  terus bergulir, jadwal perkuliahan juga sering menjadi ajang “minggu depan”  atau ditiadakan oleh para dosen di kelas-kelas reguler.

Untuk mensiasati kuliah yang bolong ini sang dosen biasanya menitip formulir kehadiran untuk ditandatangani mahasiswa. Ini bentuk manipulasi untuk mengesahkan pembayaran honor  “Ada juga mahasiswa yang mendukung libur reguler ini.  Yang penting sama-sama libur. Mahasiswa lepas beban, dn sang dosen lepas tanggungjawab.  Kan klop  dengan  istilah hari-hari liburan,” sambut Ayuk dengan senyum masam tentang cara dosen mensiasati absensi kehadiran perkuliahannya.

“Ini mental korup. Kan sayang dipraktekkan secara vulgar di kampus yang kompetensi dan nafas kehidupannya mencetak manusia berbudi luhur yang menjadi  komitmen kampus. Prakteknya tak pernah dibasmi. Penyakitnya sudah  kronis. Nyebelin.  Kita sudah protes secara personal dan kelompok kecil. Memang secara demonstrasi belum” ujarnya.

Penyakit kronis mensiasati absensi perkuliahan, terutama di kelas-kelas reguler memang sudah mewabah di “kampung” pelajar dan mahasiswa  “jantong hate poma” itu. Dengan  “te-es-te” (tahu sama tahu)  baik Eza, Ayuk maupun sang dosen pensiunan itu sepakat pada satu kesimpulan bahwa “every day holiday” sebuah penyakit yang datang dari wabah lain,  “uud.”  Meminjam istilah yang dipopulerkan grup musik Slank yang berari “ujung-ujungnya duit.”

Penyakit “uud,”  di lingkungan kampus, yang ditulis dengan huruf kecil itu , berasal dari rendahnya honor yang diterima sang dosen kalau  memberi kuliah di kelas reguler.

“Hanya segini,” kata Ayuk mengangkat telunjuk dan jari tengah  mengisyaratkan angka dua, dan menambahnya dengan peragaan membulatkan ibujari dan telunjuk sebagai  angka nol  serta membentang lima jari kirinya. Yang berarti Rp 200.000.  “Segitulah,” tambahnya sambil meletakkan telapak tangannya ke kepala sebagai isyarat lebih baik tidur dari pada capek-capek mengajar dengan honor kecil dan persiapan bahan kuliah ruwet.

Berlainan dengan kelas program studi khusus. Di klas “prabayar,” istilah lain untuk program khusus para dosen rajinnya minta ampun. “Itu tuh, kelas master meulaboh (mm), master pakai duit (m.pd) atau master sedikit isinya (m.si) yang pasti tak pernah absen dari kehadiran. Juga ada kelas mandiri yang uang kuliah segepok,” kata Nizam, mahasiswa yang di lingkungan kawan-kawannya di kantin fakultas ekonomi yang “ngejreng” itu  terkenal sebagai sobat “punky.”

“Coba kalau di kelas program jalur khusus atau mandiri. Begini,” kata Eza menirukan gaya serius setiap dosen, sambil berdiri tegak dengan mata melotot,  menirukan cara mengajar mereka. “Asyik,” ujarnya mendesis.

Tentu tidak hanya Eza dan Ayuk yang jengkel dengan cara dan tingkah pengajar di kampusnya. Cobalah urut berapa banyak seliweran siulan antara mahasiswa yang saling ber”twit..twit..” menyendaguraukan jadwal perkuliahan di Darussalam. Mereka tidak hanya berbagai “joke” tentang jadwal harian yang terus libur, tapi juga, dengan serius  bercengkerama dengan keprihatinan masa depan pembelajaran yang  menjadi mainan.
Seorang mahasiswa sebuah program studi di ITB Bandung, Helmi Husein,  ketika kami bertemu pekan lalu di  Cihampelas memperlihatkan ocehan kawan-kawannya di “status bbm”nya. Mereka saling tukar nyanyian dengan menumpahkan kejengkelan tentang every day holiday.  “Untung saya nggak kuliah di sana Om. Padahal Papa suruh di sana saja.”

Eza, Ayuk, Nizam, atau entah siapa yang lainnya, memang menjadi mainan “minggu depan” ketika berhadapan dengan pembimbingny. Mereka tak mampu melawan sebuah “kultur” yang telah berdaki dan menjadi penyakit “gengsi” untuk pengukuhan sebuah eksistensi. Penyakit “psikopat” yang telah meracuni kampus “every day holiday” dan menyimpang janji “tri dharma”  di tanah persada ini. []

Tags : slide