close
Nugatama

Tugu Magis, Seonggok Mimpi

Lima puluh dua tahun sudah, Universitas Syiah Kuala berdiri sambil mengantarkan mimpi pendidikan yang lebih baik di Bumi Serambi. Kisahnya panjang, dengan segala suka duka. Sebuah tulisan masih terbaca pada tugu yang terpacak angkuh di tengah lapangan, “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata, Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita.”

Penulis kami, Darmansyah mencoba memotret kisahnya, pada kampus kebanggan Aceh itu. Tulisan diturunkan dalam beberapa judul, selamat membaca.   

***

Tak ada yang berubah dari  fisik tugu di jantung Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma)  Darussalam, atau negeri sejahtera, itu ketika kami datang di mendung  hari-hari  Desember lalu. Masih  seperti dulu. Bersahaja, dengan gestur yang  juga persis sama ketika ia dihakikahkan, 52 tahun lalu.

Terletak di sebuah lapangan luas, mirip alun-alun, yang hingga kini masih bebas dari bangunan, ia tegak di ujung timur dengan bentuk simetris. Bersegi empat. Bertrap tiga dengan jenjang  yang saling melapis, untuk mendongakkannya lebih ke atas menusuk langit.  Di setiap trap, pas di bagian pundaknya, dibentuk dinding berkolom setengah bulatan dari semen bercampur kerikil warna hitam yang membuat penampilannya lebih “dandy”,  khas desain bangunan  tugu di tahun-tahun enampuluhan.

Di puncak tugu, di lapis  ketiga,  pas  di pusarnya, menyembul sebuah  tiang bulat  berdiameter 60 centimeter setinggi enam meter menjulang ke langit  awan.  Di pucuknya ada  lingkaran  setengah relief menyerupai  cerobong asap, yang seolah-olah  menebar pesan  tentang  seonggok mimpi   yang hendak dihamburkan ke  langit cita-cita.

Di dinding tugu, arah utara, kini menghadap gedung rektorat, yang  dipisahkan  jalan utama kampus,  menempel  dua  lempengan marmar abu-abu. Berukuran lebar  satu setengah kali satu meter, di sana ada sepenggal kalimat “keuramat” dalam  empat baris tulisan. Mirip kuplet puisi “sonata” ia digoreskan dengan tinta berwarna keemasan.

Tulisan itu,  yang biasanya dioralkan  dalam satu helaan  nafas, mengundang jejak magis disetiap huruf, kata dan kalimatnya yang menempatkan kita di ruang ritual yang tempatnya entah dimana. Ketika dilamatkan secara pelan ada gumam retorik yang bak bacaan deklamasi.

Bacaan itu, seperti kata seorang teman saya yang sama-sama datang ke “kota” itu dipenggal tahun enampuluhan dan sangat hapal kalimatnya,  mengendapkan  kekuatan magis, walau pun ia hanya digumamkan. “Begitu mengeja kata pertama pasti akan datang  intonasi tinggi  yang mengundang gelegak semangat.”

Kupletnya yang bagaikan “sonata” itu, dimasa ia menjadi mimpi sekaligus impian  bisa menerbangakannya cita-cita pembacanya ke langit  tinggi seakan menggapai awan disertai harapan untuk  menggenggam status sosial klas sarjana, yang ketika itu “subhanallah” membanggakannya. Itulah semangat dekade “tekad bulat” yang mengantarkan anak-anak negeri  menjadi anak perkasa di tanah persada.

Dekade ketika  tulisan itu menjadi hafalan, bak mantera, dan menjadi  kekuatan “magis” bagi  anak-anak SR di Aceh sepanjang tahun-tahun  enam puluhan. Kalimat  yang dijadikan kurikulum “setengah” wajib untuk di lafadhkan dengan suara gemuruh di ujung  jam sekolah.  Lafadh kebanggaan yang sengaja digelegakkan dengan nada  garang, berintonasi  tinggi, disertai  retorik ”bariton,” meniru style orasi  sang  pemilik goresan.

Tak percaya? Cobalah mohon  kepada Pak Djamhur Jusuf, 78 tahun, pensiunan guru SD di Lampenuerut untuk menghafalkan kalimat itu. Mantan guru dengan delapan cucu itu, ketika kami bertandang  ke rumahnya yang sangat sederhana, terpaksa menata penampilannya,  mengatur “ritme” nafasnya, mengangkat tangan ke atas dengan mengepalkan jari-jari keriputnya dan  menghamburkan  kata demi kata seperti  kuplet di dinding  tugu itu; “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata // Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita //”

Mengalir tanpa salah di bibir keriputnya yang bergetar. Dan usai orasi ringkas itu, lelaki yang pernah menjadi kepala sekolah di banyak gampong itu tergelak, terbatuk dan mencoba menata pernafasan. Tanpa ia sadari dua garis air meleleh  dipipinya.

“Oooaaahhhh…. muda lagi saya. Maaf. Saya terharu, Saya teringat kelebat kenangan ketika Bung Karno menuliskan kata-kata itu. Saya hadir di sana. Saya guru SR di Tungkop kala itu,” kata Djamhur menguak ingatannya ke lima puluh tahun lalu, dan membiarkan jejak air di kedua pipinya mengering.

Masih di bingkai keping marmar yang sama.  di  sudut kanan bawahnya, tertera angka,“2/9/59”  atau tanggal  2 September 1959. Jangan sepelekan angka-angka itu. Ia nyaris menjadi tanggal dan bulan sakral bagi anak-anak sekolahan kala itu.  Tanggal seremoni  di awal September setiap tahun. Tanggal ketika sekolah libur fakultatif dan  hari-hari selanjut di isi dengan lomba pidato, pembacaan deklamasi disertai menyanyikan lagu wajib “Di persada Tanah Iskandarmuda” secara  berkelompok, semacam  aubade,  dalam upacara meriah yang sangat khidmat  di setiap kota kabupaten.

Sejajar dengan goresan angka itu,  di  bawahnya,   dibubuhi  selarik  tanda tangan yang sangat  spesifik dan mudah dikenal di dekade itu. Tanda tangan dengan huruf miring berkelok dalam satu goresan final. Tidak pelik untuk  dieja, dan tidak memerlukan penegasan nama di bawahnya. Semua orang, ketika itu, mafhum pemiliknya.  Pasti itu tanda tangan Soekarno.  Presiden pertama negeri ini.

Baris kalimat, tanggal dan tanda tangan yang tertera  di atas marmar lusuh  di dinding tugu itu memang tidak  menggetarkan generasi angkatan muda Darussalam hari ini. Mereka juga tak pernah tahu tentang sakralnya tugu dan kuplet puisi Bung Karno.  Bahkan, seorang anak muda lulusan sutdi ekonomi di kampus itu tanpa sungkan mengatakan, tak pernah tahu tentang goresan tulisan di tugu itu. “Saya tak pernah singgah di sana, kok,” katanya dengan datar.

Tentu kesan ini beda dengan   Razali Tjoet Lani, guru yang menjadi mahasiswa pertama IKIP Cabang Bandung di Darussalam.  Lelaki tua delapan puluhan ini sampai sekarang masih tetap mengenang cita-cita darussalam. Orang tua  itu masih menyimpan kenangan  ketika  diperkenankan  kuliah dengan satus izin  di kampus “jantoeng hate” itu  padahal, kala itu,  ia masih mengajar di SR Lubuk, Aceh Besar, setelah tamat Sekolah Guru Bantu (SGB)  dan usai melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA).

Lama menjadi Kepala SMA Negeri 2, sebelumnya SMA Darussalam, setelah  mendapat titel BA.   Pak Razali, yang  pengarang buku Bahasa Aceh itu dikenang sebagai pendidik yang sukses dan sekolahnya banyak menyabet piala di hari-hari setiap September. “Ia guru humaniora terbaik di negeri ini,” ujar Maulisman Hanafiah yang pernah mengajar SMA Negeri 2 ketika  sekolah prestiseus sudah  dipindahkan ke Gampong Mulia. Razali  tak pernah alpa untuk merunut   semangat yang dihembuskan taklimat “tekad bulat” yang mengantar Aceh menjadi terpelajar itu.  Aceh yang bermartabat ketika keilmuan menjadi  kesadaran untuk dipertaruhkan  bagi kemajuan peradaban.

Comotlah  tanggal, bulan dan tahun yang berbentuk penggalan angka  dari dinding tugu itu, dan benamkan dalam kenangan panjang  sejarah pendidikan Aceh “moderen. Urut kesakralan hari 2 September itu dengan jujur serta tanyakan dengan nurani  tentang arung sejarahnya. Arung dalam gumam “takziah”  sejarah  ketika hari puncak pendidikan daerah itu disakralkan.

Jangan pernah membantah betapa lekatnya kenangan hari itu ketika kita memakai celana robek, baju bertambal dan sepatu terkoyak di sebuah upacara di lapangan sepakbola atau di pekarangan  sekolah, atau pun di alun-alun kota kabupaten. Bahkan di   di sudut  sebuah “gampong” nun di “nanggroe aso”  yang sekolahnya doyong, berlantai tanah, beratap rumbia dan disana pula  pernah mengapung  lagu  “mars darussalam”  bertempo ¾ yang dipimpin seorang dirijen berdasi kupu-kupu dan memerintahkan  tinggi rendahnya tangga nada dengan sepotong tongkat rotan yang lusuh.

Hari itu pula, persis seperti tanggal yang digoreskan Soekarno di marmar kusam sebuah tugu kesepian, nun di Darussalam sana, kita mengarak Piala Pendidikan  dalam sebuah selebrasi  di bak truk pikap “toyopet” terbuka. Piala yang diraih kabupaten karena “ratting” pendidikannya berada di puncak prestasi. “Ratting” pendidikan, yang kala itu,  tidak pernah  kita dengar dibeli dengan duit sogokan  yang berasal dari APBD Kabupaten dan Kota.

***

Hari itu gerimis kecil telah turun. Hari itu, di Desember kelabu, ketika  kami berkunjung ke tugu “keramat” di atas tanah uruk itu. Tugu yang masih seperti dulu. Tugu yang hari itu pula usai  berpupur  setelah   melewati sebuah ritual  bernama  proposal atas nama ”proyek.”

Pagar besi di halaman bawah yang mengeliling bangunan masih terlihat rapi dengan cat kecoklatan  yang masih mentereng. “Baru saja di restorasi,” bisik seorang teman  pejabat di rektorat.  Sapuan cat  sekujur  tubuh tugu  kini  dilumuri warna-warni,  sehingga ia terlihat  “jreng.” Sedangkan tiga anak tangga menuju lantai atas  baru di ganti keramiknya, dan meninggalkan aroma  pembersih “prostex.”

Dua orang pengunjung yang mendahului kami menaiki anak tangga, di pagi itu,  sedang asyik dengan ponsel. Saling  memotret. “Kami datang dari Kruenggeukeuh,” ujar lelaki paruh baya menyapa kami ketika ia ”pause.”  Lelaki itu, yang  kemudian kami tahu  seorang kepala sekolah dasar  dan ditemani gadis kecilnya,  bernama Abdul Wahab. Ia   sedang mengantarkan anaknya yang lain  mencari tempat “kost” setelah  pindah dari rumah keluarga dan kuliah  di sebuah program diploma Unsyiah. “Sekaligus ber”wisata,” ujarnya di pelataran atas  “heritage” itu.

Lelaki itu sedikit gundah ketika tahu tak banyak  “anak negeri” ini  yang mendatangi tugu “tekad bulat” itu. Ia nanar ketika menyadarinya  di hari itu  bertemu dengan kami  di  lambang persada  “jantong hate”  pendidikan negeri ini. Wahab hanya tersenyum getir ketika kami mengusiknya dengan nada tanya,”mimpi apa yang membawanya sampai ke tugu ini”

Mengibaskan tangan kanannya, seolah mengusir kegundahan, Wahab bergegas mengatakan,” ketika kecil saya pernah kemari dibawa ayah. Kini saya mengulang napak tilas  itu dengan  membawa anak saya  untuk memberitahu kepadanya tentang  tonggak sejarah pendidikan Aceh sekaligus mengenalkan penggal kalimat heroik  yang ada di dinding tugu sana.”

Ketika ia mengarahkan telunjuknya ke goresan tulisan itu, ia melamatkan kata-katanya dengan riang dalam gumam  nyaris berbisik, “tekad bulat……” Dan tanpa sadar lelaki itu “ekstase” dan melanjutkannya dengan lagu, “Mars Darussalam” dengan mulut  dikulum.

Hari itu, ketika keriuhan dan hilir mudik lalulintas mengharubirukan kampus persada itu, kami, sekan-akan tercampak ke sebuah sudut masa lalu. Masa ketika negeri ini menyemai tanaman bernama pendidikan di sebuah “tanoh blang” ditengah carut-marutnya keamanan. Carut marutnya hubungan Aceh dan Jakarta  yang menyebabkan  bedil  menyalak bersahut-sahutan. Carutmarut  ketika  harga diri anak “aso lhok” di permainan politik “parlementer” Jakarta yang  menyebabkan Tengku Muhammad Daoed Beureueh naik gunung.

Di masa kacau balau itulah Darussalam melahir tekad bulat. “Tak mudah mewujudkan cita-cita besar itu,” kata Syamsuddin Mahmud ketika kami tanyakan tentang “mimpi”  yang diterbang dari tanah persada itu. Bekas Gubernur Aceh yang “pulang” kampung usai menamatkan pendidikan sarjana ekonominya di UI, dan menjadi dosen muda hingga memperoleh predikat gurubesar  moneter di Fakultas Ekonomi Unsyiah.

Mulanya, Pak Syam, begitu ia disapa, harus hidup tertatih-tatih di sebuah dusun sepi di tengah kebun kelapa dan dihimpit oleh  suasana  pasca “prang.” Walau pun di ujung tahun-tahun pemberontakan, suasana kampus kala itu masih sangat mencekam. “Kami sudah terbiasa dengan nyalak suara bedil. Tak ada rasa takut. Kami melewati pos Brimob untuk saling menyapa dan mengucapkan salam bila bertemu dengan syedara tentara islam,” kata Syamsunan, mantan Dirut Bank Aceh yang tercatat sebagai mahasiswa paling awal di Darussalam.

Bagi Syamsuddin yang kemudian melanjutkan doktoralnya dalam ilmu moneter di Universitas Indonesia Jakarta, kepulangan ke tanah persada adalah sebuah kehormatan. Ia tak salah langkah. Karirnya moncer bersama meningginya popularitas  kampus. Seperti kebanyakan intelektual kampus lainnya Syamsuddin Mahmud memasuki ranah birokrasi sebagai Ketua Bappeda Provinsi yang kemudian   mengantarkannya jadi gubernur dua periode. Ia termasuk pioner dalam merintis “Darussalam Menuju Cita-cita.”

Cita-cita yang kala  ia datang  masih sebidang tanah luas yang ditumbuhi pohon kelapa dengan satu dua bangunan perumahan dosen terselip di celahnya. Ia menempati sebuah rumah berbentuk “flat” berlantai dua di sisi barat kampus, yang masih ia tempati hingga sekarang bila “wobaksot,”  dan menerawang kemasa itu sembari berujar,” kalau ke Banda Aceh harus menunggu trip bus YPD (Yayasan Pendidikan Darussalam) yang sering mogok.” []

 

Tags : slide