close
Nuga Life

Sain jelaskan Kenapa Kita Alami Deja Vu

Pernahkah Anda merasakan deja vu

Deja vu adalah sensasi seakan-akan kita pernah mengalami suatu hal sebelumnya.

Bagaimana dan mengapa deja vu bisa terjadi?

Anda berada dalam situasi atau lingkungan yang sama sekali baru, tetapi rasanya pernah mengalami hal serupa sebelumnya.

Hal ini disebut dengan deja vu, yang dalam bahasa Perancis berarti “sudah terlihat”.

Menurut How Stuff Works, tujuh puluh persen populasi manusia pernah mengalami hal ini dan yang paling sering berada dalam rentang usia lima belas hingga dua puluh lima tahun.

Meski umum, deja vu sangat sulit dijelaskan dan dipelajari karena pengalaman tersebut sulit untuk ditiru di laboratorium.

Para peneliti hanya dapat memberikan teori mengenainya.

Pada  sebelas tahun silam, para ilmuwan di Leeds Memory Group berpikir bahwa mereka berhasil menciptakan sensasi serupa di laboratorium. Mereka menggunakan hipnosis untuk memicu bagian dari proses pengenalan otak.

Penelitian ini berdasarkan pada teori bahwa dua proses kunci terjadi di otak saat kita mengenali sesuatu atau seseorang yang familiar.

Awalnya otak akan mencari tahu ingatan kita untuk melihat apakah pernah merasakan sebuah kejadian, kemudian jika menemukan yang sesuai, sebuah area terpisah dari otak mengindentifikasinya sebagai sesuatu yang familiar.

Dalam deja vu, bagian kedua dari proses ini bisa dipicu secara tak sengaja.

Untuk mengetahui hal ini, para peneliti merekrut delapan belas peserta untuk melihat dua puluh empat kata umum.

Lalu, mereka dihipnosis untuk menganggap bahwa kata-kata yang berada dalam bingkai merah familiar, dan kata-kata dalam bingkai hijau tak ada dalam daftar asli.

Setelah keluar dari hipnosis, para peserta diberi rangkaian kata dalam bingkai warna berbeda, termasuk yang tak ada dalam daftar asli.

Dari semua peserta, sepuluh orang berkata bahwa mereka merasakan sensasi aneh saat melihat kata baru dalam bingkai merah.

Lima orang di antaranya bahkan menyebut perasaan itu seperti deja vu.

Selain penjelasan di atas, para ilmuwan juga pernah menjelaskan bahwa deja vu adalah semacam gangguan sirkuit jangka panjang dan jangka pendek di otak.

Artinya informasi baru dapat mengambil jalan pintas langsung ke ingatan jangka panjang.

Dengan kata lain, ini melompati mekanisme yang biasanya digunakan otak untuk menyimpan informasi. Jadi, rasanya kita mengalami sesuatu dari masa lalu.

Deja vu juga bisa dikaitkan dengan korteks rhinal, yaitu area otak yang membuat kita merasa akrab. Sayangnya, belum diketahui bagaimana mengaktifkan area ini tanpa memicu area lain terkait memori.

Itulah mengapa sangat sulit untuk menentukan apa yang terasa akrab dengan deja vu. Sebab, rasa akrab itu biasanya samar, tidak spesifik pada obyek atau orang.

Teori lain dari deja vu adalah bahwa perasaan ini diawali oleh kenangan palsu. Valerie F Reyna, seorang psikolog terkemuka tentang kenangan palsu mengatakan pendapatnya.

“Deja vu pasti terkait dengan dengan memori palsu dalam arti bahwa ini adalah jenis disasosiasi memori, yang membedakan realitas dari ingatan Anda,” ungkap Reyna dikutip dari Science Alert.

“Ada berbagai macam pengalaman disasosiatif yang bisa terjadi. Terkadang Anda tidak dapat memastikannya, misalnya apakah Anda memimpikan sesuatu atau mengalaminya, apakah Anda melihatnya di film atau terjadi dalam kehidupan nyata,” imbuhnya.

Penelitian terbaru tentang deja vu yang dilakukan oleh Akira O’Connor mengungkapkan hal baru. O’Connor menyebut bahwa kenangan palsu mungkin tidak dapat disalahkan. Sebagai gantinya, bisa jadi itu adalah tanda otak sedang memeriksa memori.

Untuk mengetahui hal itu, O’Connor mengamati otak dari dua puluh satu peserta. Para peserta diminta melakukan serangkaian tes umum untuk memicu kenangan palsu.

Para peneliti memberi peserta daftar kata-kata terkait, seperti kasur, malam, tidur sebentar, dan tidur siang. Ketika para peserta ditanya tentang kata sesudahnya, mereka cenderung memberi kata-kata yang terkait dengan apa yang pernah mereka dengar, dalam hal ini tidur.

Untuk mencoba menciptakan perasaan deja vu, para peneliti bertanya pada peserta apakah mereka mengetahui kata yang di awali huruf t. Para peserta menjawab tidak tahu.

Namun ketika para peneliti bertanya tentang kata tidur, peserta ingat bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, tapi rasanya sama semua.

Dalam penelitian ini, tim berharap melihat area otak terkait dengan memori menyala. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Para peneliti justru menemukan bahwa area yang terlibat dalam pengambilan keputusan aktif.

Oleh karena itu, O’Connor berpikir bahwa daerah frontal otak bisa membalik-balik ingatan kita.

Area tersebut mengirimkan sinyal jika ada ketidakcocokan antara apa yang kita pikir telah dialami dengan apa yang sebenarnya.

Temuan ini kemudian dipresentasikan dalam Konferensi Memori Internasional di Budapest.

“Daerah otak yang terkait dengan konflik memori, bukan memori palsu, tampaknya mendorong pengalaman deja vu,” tulis O’Connor.

“Ini sesuai dengan gagasan kami tentang deja vu. Karena kesadaran akan ketidaksesuaian pada sinyal memori telah diperbaiki, deja vu menurun seiring bertambahnya usia.”

“ Padahal, kesalahan memori cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Jika ini bukan kesalahan, tapi pencegahan kesalahan, ini masuk akal,” sambungnya.