close
Nuganomics

Transaksi Syariah? No Bank…

Awalnya sebuah “straight news” di rubrik ekonomi laman media cable network news-cnn. Lima hari lalu. Pasnya hari sabtu tanggal dua puluh tujuh agustus.

Sederhana masalahnya untuk sebuah berita ekonomi. Tentang keluhan wisatawan asal Australia dan Amerika Serikat menarik uang tunai di sejumlah anjungan tunai mandiri-atm- saat travel di Aceh.

Mereka kesulitan karena card premier miliknya berlabel visa hang di atm merek syariah. Milik bank aceh dan bank syariah indonesia-bsi. Dua bank yang terdapat di area mereka travel.

Saya membaca straight news cnn itu secara tak sengaja dalam perjalanan pulang di pintu toll palimanan usai travelege ke Yogya. Karena sederhana dan tak sengaja membacanya, lantas melupakannya.

Ya sudah…

Eee..tiga hari kemudiannya berita yang saya anggap sederhana itu banjir bandang komentar di media sosial.Facebook, whatsapp, instagram dan twitter. Bahkan merambah ke media online. Hingga hari ketika saya menuliskannya. Ramainya ampuunn…

Jumlah cas cis cus nggak sanggup saya hitung jumlahnya. Berjubel.

Lantas saya mengangkat telunjuk kedahi: bloon.. ketinggalan kereta era now. Kereta digital. Medsos. Maklum kereta milik saya jurnalis bla bla… Maaf…

Komentar di medsos dan media mainstream itu ada yang sepele, serius, setengah serius, tak kecuali analitis. Sudut pandangnya bisa ekonomis, sosial dan aspek macam-macam.

Ada benci dan ada rindu terhadap background kasus kesulitan yang dialami turis asing itu.

Yang rindu isi komennya begini: di aceh bank bca, panin, cimb, btn, bukopin, dan permata semuanya syariah. orang bodoh mana yg bilang di aceh cuma ada bank aceh dan bsi yang syariah.

Sedang yang benci tak kalah sengit. Saya tak ingin mengubah komen walau terlalu panjang. Sehingga harus saya tulis dalam beberapa paragrap.

Isinya: “saya focus ke kata-kata”orang bodoh mana yg bilang di aceh cuma ada bank aceh dan bsi. kemungkinan orang bodoh itu orang yang kebetulan berwisata bukan ke banda aceh tapi ke daerah yang hanya tersedia bsi dan bank aceh.

perjajalanan waktu…. selama perjalanan waktu itu juga kita juga banyak kehilangan momen.

seharusnya kita harus sedikit bersabar dan tidak gegabah mendepak bank konven ditengah kebangkitan bank syariah yang masih tergopoh-gopoh”

Untuk komen ini saya harus berdamai. Sebab bahasa para netizien yang benci sudah membentur tembok kesantunan. Sebut saja nama seorang wak leman. Ia sudah menulis kata “jahanam” untuk pengusiran bank konven.

Lainnya? Tutup buku sajalah untuk komen ini yang gelindingan para netizen yang jumlahnya menggilas mereka yang rindu.

Saya tak tahu entah mana yang bodoh dan pintar dalam komen itu. Anda sendirilah yang menilai. Kalau perlu mengomentari. Di medsos mana saja. Bisa juga buka akses untuk diwawancarai media mainstream. Entah tv, koran atau online. Terserah.

Saya? Nggaklah. Saya nggak mau masuk ke ranah benci atau rindu. Saya jurnalis. Lebih baik memilih jalan tengah. Jalan yang banyak cabang diotaknya sebelum melahirkan komentar dalam bentuk tulisan.

Jalan untuk menjawab video yang beredar luas di berbagai media sosial sebagai sumber keluhan sang turis tak bisa memblass… duitnya dari atm milik bank aceh syariah dan bsi.

Keluhan yang menjadi kutipan untuk dijadikan news utuh media. Banyak media. Termasuk cnn indonesia.

Keluhan yang berlanjut tak bisa si turis menukarkan dollarnya di dua bank itu. Yang menyebabkan mereka terpaksa meminjam uang kepada rekan warga lokal si Fendra yang memposting video heboh itu.

Fendra  yang saya tak tahu apakah seorang guide atau entah siapalah yang saat itu juga ikut bersama untuk kebutuhan makan dan lainnya saat perjalanan ke daerah barat dan selatan. Aceh “ketelatan.”

Si Fendra juga yang mengutip hardikan santun si turis: here I no money, no bank, no food, no petrol in Aceh. Help me”

Hardikan itu menyebabkan si Fendra  berinsiatif menghubungi manager ke dua bank tersebut agar memudahkan wisatawan asing menukarkan ataupun menarik uang dari atm mereka. Upayanya mentok lewat keudaleh yang berbelit-belit.

Yang kemudiannya memintaskan jalan pikirannya lewat permintaan  untuk mengembalikan sistem perbankan di nanggroe indatu ke sistem konvensional

“Ini seperti notifikasi keras untuk pemerintah Aceh sebab canang visit to Aceh sudah digaungkan. Pariwisata kita juga sudah jalan tapi tidak di support dengan sistem keuangannya, harusnya ini dipikirkan”

Ini ucapannya yang saya kutip untuk menjadikannya tanya ke seorang kawan di komunitas perbankan.

Yang jawabannya mengiyakan keluhan si Fendra. “Kita belum menyelesaikan persoalan proses izin acquirer mesin atm dari visa  agar bisa digunakan oleh bagi setiap orang untuk bertransaksi.

Bukan hanya si Fendra dan turis asing yang mengalami nasib ketiadaan bank konven itu. Saya sendiri secara pribadi-ya secara pribadi-mengalami dua benturan dengan ketiadaan bank itu.

Dua kali kejadian. Pertama ketika saya tak bisa menarik dana kiriman dari seorang teman dari london yang mentransfernya lewat bank mandiri. Kala itu saya di tapaktuan.

Untuk mencairkannya saya harus ke sidikalang, dairi. Tiga ratus kilometer yang harus saya tempuh. Tanpa protes. Hanya mengurut dada.

Kejadian kedua ketika seorang teman ingin invest resort di sebuah lokasi. Juga di barat selatan. Jauh… di sebuah pulau. Untuk memudahkan pengalihan dananya ia minta saya bicara dengan bank aceh.

Saya datangi kantor pusatnya di  batoh, banda aceh, untuk ketemu dirutnya. Untuk diskusi bagaimana kalau dana itu ditransfer ke bank aceh. Tiga kali saya datang hanya mendapat jawaban dari reception: sang dirut berada di luar kantor.

Di luar kantor, yang kemudian saya tahu, menjadi apet awe gubernur. Apet awe untuk menyenangi pejabat bukan melayani investor. Padahal saya kenal amat sang dirut waktu masih di kelas dasar…

Saya lapor ke teman investor dengan satu kata: sulit…. Ia langsung mengerti. Maklum investor. Ya sudah… Padahal saya tahu inestasinya sedikit di bawah gajah semok.

Lantas saya ingat investasi gajah semok milik murban energy di pulau banyak. Jangan-jangan kasusnya sama dengan sang teman karena kepentok mengalirkan dollar yang kabarnya mencapai lima ratus juta dollar.

Ahh kembali saja ke kasus si Fendra. Khususnya yang memiliki kartu atm dari bank luar negeri.

Kondisi sekarang seluruh bank di Aceh belum bisa melayani penarikan uang tunai dari kartu atm milik bank-bank luar negeri.

Sejak tahun lalu semua bank konvensional yang tidak memiliki unit syariah harus hengkang dari Aceh. Aturan itu tertuang dalam qanun lembaga keuangan syariah.

Dengan kebijakan itu, hanya bank aceh syariah dan bsi  yang mendominasi di Aceh, karena memiliki cabang di pelosok.

Qanun ini berarti seluruh layanan bank dan produk keuangan yang boleh diakses hanyalah yang berskema syariah.

Dengan begitu, aktivitas keuangan konvensional atau nonsyariah harus ditutup dan tidak boleh diberlakukan.

Alasannya?  Agar perekonomian nanggroe bisa semakin islami

Ini berati sistem perbankan yang beroperasi harus berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebuah piilihan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank.

Sebuah penonjolan rasa keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan bebas maghrib-maysir, gharar, haram, riba, dan batil.

Kepercayaan dan kehati-hatian dalam pengelolaan yang didasarkan pada akad.

Saya tak mempersoalkan tujuan ekonomi syariah dalam transaksi. Saya hanya ingin mengingatkan  permainan perbankan

Bank yang menghimpun uang dari masyarakat. Pemilik uang yang disebut nasabah. Yang tidak mendapat infomasi apapun tentang bagaimana uang mereka dikelola, dipinjamkan ke pihak mana, untuk bisnis apa dan bagaimana dampak dari bisnis itu.

Anda tahu dan saya juga tahu pemilik uang hanya sebagai konsumen, pengguna jasa, yang meminta uangnya dikelola, dengan cara apapun, terserah para pengelola perbankan.

Saya tak tahu  bank meraup keuntungan besar dari uang orang lain yang mereka kumpulkan.

Itu rahasia bank. Dan yang bukan rahasia adalah uang itu itu tak punya agama dan tidak anti agaman

Untuk itulah para pengeritik perbankan konvensional mengatakan cara kerja mereka kapitalistik. Mereka mengangkat isu keribaannya untuk diperdebatkan

Apalagi ketika memasuki bunga menjadi halal setelah diubah namanya menjadi margin dalam administrasi perbankan syariah.

Lantas saya berdamai dengan hati tentang riba dalam konsep ekonomi islam yang secuil kecil punmenjadi haraam.

Berdamai juga dengan bank syariah di naggoroe indatu yang merepotkan rakyat dengan keterbatasan teknis dan fasilitas selama masa transisi, jika kehadirannya mengoreksi problem-problem utama perbankan konvensional.sebagai lembaga keuangan alternatif

Bukan hanya menjadi tandingan  narasi, tanding substansi dan tanding sistem.

Seperti yang saya baca dari banyak tulisan ahli ekonomi islami yang doktrin dasarnya adalah nasabah itu pemilik modal, bank hanyalah pengelola,

Pihak bank harus selalu memberi laporan kepada nasabah sebagai mekanisme kontrol pemilik uang atas tatakeloa uang mereka.

Bagi hasil keuntungan dari industri perbankan lebih besar untuk nasabah sebagai pemilik uang, dibanding bank sebagai pengelola uang.

Bank tidak mencari untung besar pada pinjaman nasabah, Maka pihak bank mengembangkan bisnisnya melalui investasi pada kegiatan ekonomi produktif di sektor ril, seperti perkebunan, persawahan, perikanan, peternakan, kelautan dan sejenisnya.

Ada keseimbangan antara pasar uang dan pasar produksi.

Untuk itu saya menyesali kehadiran bank syariah yang  menggebu-gebu di aceh dengan mengubah istilah-istilah kapitalis dengan bahasa arab, tanpa mengubah apapun dari tatanan dasar perbankan konvensional.

Sehrausnya perbankan syariah menawarkan perubahan prosedur-prosedur transaksi melalui akad melibatkan kosa kata arab dengan menyentuh substansi penghapusan praktik-praktik penghisapan mengejar keserakahan profit

Lantas bagaimana dengan perbankan syariah di Aceh?

Saya hanya menyimpulkan jawaban sederhana : menggandakan kelicikan perbankan konvensional  lewat  praktik-praktik penghisapan dengan membuat baliho besar.

Lanjut praktik ribawi….