close
Nuga Travel

Hilangnya Jejak “Balakang Tokoh”

Pulang… pulang… dan pulang…

Itulah satu kata, yang sepertinya abadi, tergeletak di sudut kecil memori saya. Kata yang tak pernah mampu saya usir setiap kali ia datang, menjalar dan mengusik hingga ke relung hati saya.

Kata yang selalu saya denguskan setiap ia muncul lewat sapaan para dunsanak. Sapaan ketika ada reuni kecil dan reuni besar. Reuni kecil di “kadai” kopi. Reuni yang muatannya “bogok gadang” dan “bogok ketek.”

Reuni yang “manculete-an” tombo si Mustakin. Tombo si Dani atau pun tombo si Aswad. Tombo yang “mampagalak-an” nama kakek buyut mereka.

“Mampagalak-an gala.” Ketek banamo gadang bagala. Kecil diberi nama setelah besar diberi gelar.

Nggak percaya?

Tanya dengan si Dani siapa nama panggilan yang diberikan padanya. Saya tak mau menulisnya.  Takut “pengka”nya datang dan  absen untuk “bacurabiah.”

Tapi untuk kakeknya saya pasti tak sungkan menuliskan.

“Angah Goyong.” Pai barisi pulang kosong. Perginya membawa bekal pulangnya kosong.

Mendengar cerita Angah Goyong atau Ngah Goyoong, dan untuk sopannya Anduang Goyong, pasti si Dani ikut menambah profil si anduang.

Profil seorang kurir kantor pos yang mengulik lonceng sepeda valuas bertalu-talu untuk kemudian  manangadah ka langiek dan memanggil si penerima antaran paket sambil tagalak.

Kalau nggak percaya betapa guranya si Anduang Goyong, tanyakan  ka si Basri Emka

Tanyakan pula dengan anak Lhok Ketapang itu tentang gelar yang bertabur bak bintang dilangit untuk nama sapaan para gaek di Taluak. Pasti tersungging senyumnya sembari membuatnya menerawang.

Menerawang tentang si Kuciiang, Musang Jabek, Harimau atau Ninik, Singa, Kudo, Mancik dan entah apa lagi.

Tidak barisan nama titik-titik……. itu yang mengisi lembaran gala di nagari batuah itu.

Masih ada sederet nama pilooh yang disematkan untuk mampagura ragam gala. Sebut sajalah dengan  si Tolol, si Debak, si Baju Basi, si Jinak, si Buntu.

Masih ada lagi? Ada. Nama gala  peralatan dapur. Sebut saja etek Japah, Galendong, si Balango, si Garudan dan entah apa lagi.

Tersinggungkah pemilik gala itu kalau disapa?

Jawabannya final. Tidak.

“Waang tau namo asli si Musang  Jabek,” tanya si Dani  disuatu hari  mengarahkan tanya ke Mustakim di sebuah keude kopi kawasan Kuta Alam.

Yang ditanya, Mustakim,  bergumam, menggelengkan kepalanya dan menyerah dengan kata”indak tau.”

Mustakim memang berupaya mencari dimemorinya. Tapi  terus  kepentok.

Dan  saya mengambil alih tanya si Dani dengan  meluruskan memori bengkok Mustakim sembari  mengabarkan nama asli gaek bernama si Musang Jabek itu.

Nama eska-nya Ramli. Pegawai kantor bupati dan basumando ke kedai Pauh menjadi menantu Mak Dinin.

Sampai ia berjirat nama Ramli tak pernah muncul kepermukaan.

Nama “eska”  itu hanya bergema kala mereka menjalani ritual nikah dan  pidato pengantar  jenazah kala akan di antar ke jirat.

Ah, kok melenceng dari lead. Melenceng dari bukaan tulisan. Padahal teras tulisan ini tak punya hubungan dengan ketek banamo gadang bagala.

Macam “kapa pacah kapindiang beba” saja tulisan ini.

Untuk marilah kita kembali dengan kata pulang… pulang… dan pulang itu.

Kata pulang yang menjadi “trade mark” kala reuni besar. Reuni kanduri gadang. Ralek gadang. Ralek yang saling menyapa tentang kampung halaman. Sapa yang menggoda tentang kerinduan untuk pulang.

Sapaan pulang itulah yang membangkitkan birahi anak negeri Tuan Tapa untuk takziah.

Saya sendiri sering mengumbar semangat pulang ini dalam ucapan bak orang mabuk kepayang.  Umbaran kalimat yang transedental. Kalimat cerocos untuk meletupkan kerinduan.

Dan ketika kesempatan itu datang, menjelang bulan dipenghujung tahun lalu, saya, sepertinya, ingin memeluk semua kenangan tentang “Taluak Maimbau” itu.

Ingin semuanya.

Mencari si Fikar Kayum untuk cerita memanjat pala. Mencari si Ali Nyak Lhok  mengulang kisah mangaia gabua. Mencari jejak si Hoblias yang meninggalkan kenangan pai manggaleh ke Kandang dengan truk Klier.

Atau pun mencari si Ajo anak Anduang Manah kawan sekolah dan bermain gasiang untuk kemudian bersama ke Kutaradja yang kemudian kalah “perang”  dan wobaksot berjualan kopi “warung service.”

Gelegar semangat pulang ini pula yang mengisi hari-hari itu, di takziah terakhir saya untuk mencari semua yang hilang. Dan saya berdoa ini bukan akhir kepulangan

Tidak hanya si Fikar, si Ali Nyak Lhok atau si Ajo saja yang ingin saya patrikan kembali ke memori saya. Saya ingin semuanya kembali. Maunya jangan ada yang hilang.

Tapi apa daya.

Akhirnya saya mendapati diri saya terdampar di laut kekecewaan. Kecewa tak menemukan lagi “balakang tokoh.”  Balakang tokoh di belakang rumah kicik Anau. Rumah ayah Nasir Gani atau Rahmat Gani. Kicik Anau yang nama aslinya Ahmad Gani. Dan entah penyebab apa namanya bermetamorforsa menjadi Anau yang keuchik Pasar.

Saya betul-betul tergagap mencari Balakang Tokoh. Balakang tokoh yang dulunya disusuri lewat gang PMABS. Gang yang berujung ke pantai tempat sampan didaratkan.

Balakang Tokoh tidak hanya pantat rumah Kicik Anau. Balakang Tokoh adalah pantat, sekaligus teras belakang tokonya si Coak, si Zulam maupun Asan Panciang.

Balakang Tokoh tempat saya Pak Ketek saya menebar jala untuk menjaring anak tamban dan sisiak kareh. Tempat saya menjadi anak pencari umpang kala si Kayak menghela panciang mendarat lauk Cabeh. Lauk yang kala di panggang, ya ampun enaknya.

Balakang Tokoh seutuhnya adalah pantat belakang dari barisan toko dari ujung selatan ke utara. Dari Rumah Kicik Anau hingga toko si Asa Panciang.

Dan Balakang Tokoh dihari kepulangan saya itu memang sudah raib. Punah.

Dan punah juga jejak PMABS. Rumah terakhir Dulah Gogang. Dulah Gogang si orang kaya asal Samadua yang pernah mencatatkan  dirinya sebagai milyuner di Koetaradja.

Saya miris kala takziah ke Balakang Tokoh dan diberitahu tentang tapaknya lautnya yang kini menjadi taman kota.

Taman kota yang mengenyahkan tubir karang pecahan ombak. Berganti dengan pagar beton yang hanya memantulkan riak ombak di dindingnya.

Pagar beton yang dimulai dari Kuala Busuk hingga ke Kuala Krueng Seurullah. Pagar beton juga yang telah memberangus “boom” pelabuhan dan membuat carocok berubah fungsi.

Apakah semua ini perlu saya tangisi?

Jawabannya pasti. Nggaklah.

Era memang sudah berganti. Berganti kala tak ada lagi gado-gado Gaseh Umat punya Mak Tuan di gerobok kecil kaki lima toko si Ciu. Ayah si Apok. Gado-gado yang disatukan dengan es kacang. Yang kini bersalin wajah dan raso di kedai Nusa Indah milik si Aon.

Selain itu, juga tak ada lagi nasi soto Bang Burz. Abang si Mail. Hilang sudah kenikmatan warung Nasi Acu Jambu Kaliang. Umak si Kiyah. Dan jangan cari bandrek Bandrek Taluak Maimbau racikan Anduang Burahan di kadai Pauh.

Semuanya telah bersalin rupa. Semoga tak bersalin rasa.