close
Nuga Forum

Anak “Ketelatan” di Fit and Proper Test

Ia tak pernah menyesali predikat yang ditetakkan untuk dirinya sebagai anak “ketelatan.”

Predikat yang pernah menempatkannya pada posisi  tersisihkan pada fit and proper test untuk jadi orang nomor satu di rumah sakit umum provinsi.

“Dosa saya, mungkin,  karena  terlahir sebagai anak ‘ketelatan,’ ya bang,” katanya dengan  nada membuncah.

Khas buncahan nada anak-anak “ketelatan.”  Ah, aceh bagian selatan. Nada buncah yang tak mengutuk siapa pun. Hanya mencandai dirinya sendiri  dengan perasaan plong.

Se plong keikhlasannya  tak jadi orang penting. Usai menjalani jabatan penting.

Anak “ketelatan” yang menyangkut di pundak Amren Rahim, yang tak jadi orang penting itu, bukanlah sebuah dosa atau pun kutukan tanah leluhur.

Bukan pula sengkarut garis turunan yang heterogintasnya bak bauran kuah belanga. Bauran minang, barus, aceh, batak yang menghasilkan potret “jamee” di teluk permai bernama Tapaktuan.

Saya sendiri memikul sebutan itu. Hingga kini. Se”gaek” ini. Sepanjang karir dan kehidupan.

Dan saya tak pernah untuk mengusirnya. Malah saya bangga setiap kali menuliskannya sembari menggariskan kata itu bak lukisan abstrak.

Tak cukup satu buku untuk mengutas rangkaian kalimat tentang nostalgia selatan itu. Ehhh salah lagi. Nostalgia “ketelatan” itu.

Nostalgia ketika anak-anak “ketelatan,” seperti juga Amren, merentang langkah ke Kutaradja. Menyambung pengharapan untuk mendapatkan gengsi sebagai mahasiswa.

Tanyakanlah kepada kepada si Basri Emka, mantan birokrat, dengan banyak penugasan itu,  bagaimana ia mengayuh sepeda selama lima hari enam malam sembari mandi lumpur di Kuala Bungkok untuk sampai ke kampuns tekad bulat. Darussalam.

Congkel memorinya bagaimana derita melewati tujuh rakit penyebarangan, ketika bus PMTOH dan PMABS berendam di kubangan bak kerbau balang.

Tak ada carut mencarut tentang hura-hura yang menjadi potret utuh anak “ketelatan” ini.

Seperti juga potret si Amren Rahim.

Saya tahu apa yang ada diotaknya agar tidak baliang kala fit and proper test itu tidak berpihak padanya di sesi akhir uji kepatutan dan kelayakan itu.

Ia humble kala menerima testimoni para pengambil kesimpulan meminggirkannya setelah tahu ia bukan trah kelahiran Bireuen.

“Semula saya diunggulkan karena syarat tak tertulis harus aneuk aso lhok. Ada dengung yang merambat saya anak Bireuen. Tapi, setelah tahu nun …dari bumi sana, soh,” katanya kepada saya lewat sambungan jarak jauh.

Amren Rahim memang anak “ketelatan.” Tak ada pungkir yang harus dienyahkan.

Garis turunannya jelas. Ia anak seorang jaksa. Rahimuddin Jaksa pasca empat lima. Saya menamakannya jaksa pasca empat lima karena tidak dicomot dari orang pergerakan.

Berlainan dengan seorang pak cik saya. Adik ayah. Yang dicomot dari guru thawalib untuk dijadikan jaksa di Tapaktuan. Ramli Amany. Yang trah istrinya bertaut dengan trahnya ayah si Amren.

Si Amren memang trah terpelajar di Tapaktuan. Kakeknya, dari garis ayah, adalah seorang guru yang kemudian menjadi penilik sekolah. Sebutan “pop”nya Pe-Es. M.Tahir

Bahkan kalau dibentang agak ke kanan, kakek sepupuannya, juga seorang guru dan penilik sekolah juga. M Yusuf.

Untuk itulah, ketika bersapaan di sebuah siang dengan saya lewat hape, saya mengatakan garis turunannya memang orang cerdas. Saya kenal dengan abangnya. Kenal dengan kakaknya.

Amren memang lebih paripurna diperjalanan pendidikan dan karir di keluarganya.

Ia menamatkan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atasnya di Tapaktuan. Kecerdasannya sudah terlatih kala ia menautkan dirinya dengan dengan seorang pak ciknya. Yang ia sapa dengan sebutan paman.

Paman Aboebakar. Paman yang saya panggil si “kelasi” karena gayanya yang muncrat bak kelasi kapal. Topi pet, celana jin, kaos oblong pluis sepatu kets.

Paman yang membawa gaya “kelasi” ke Tapaktuan. “Kelasi” yang membawa misi mencerdaskan kehidupan lewat “jualan” koran, majalah dan buku-buku bacaan populer.

Koran “kompas,” majalah tempo dan buku-buku bacaan dengan anak pinaknya seperti bobo, monitor, editor, zaman dan entah apalagi.

Cara jualannya juga khas. Dekorasi jualannya juga menarik. Maklum, si kelasi, yang paman Amren ini lama mencicipi hidup di Jakarta. Hidup sebagai perantauan. Perantauan terdidik yang drop out dari sebuah perguruan tinggi.

Bahkan nama tokonya juga mengulik. Toko Flamboyant. Se flamboyan pemiliknya.

“Dengan dialah saya bertaut. Pernah jadi kurir antaran koran dan majalah. Saya bisa baca gratis seluruh media yang dijual.”

Lewat bacaan “bermutu” inilah si Amren menyimpan terawangannya untuk kemudian melepas dendamnya untuk bisa menjalaninya secara kasat mata dan kasat fisik.

Usai menamatkan pendidikan  sekolah menengah atasnya ini si Amren di Tapakatuan iai bawa ayahnya ke Makassar, Ujung Pandang.  “Ayah saya dipindah tugaskan ke Makassar,” katanya.

Di Makassar ia memilih lanjutan pendidikan di fakultas kedokteran. Universitas Hasanuddin. Unhas. Sebuah perguruan tinggi paling pretise di bagian timur.

Saya katakan prestise, karena dulunya, ada seorang teman sesama jurnalis alumni sana, mengajar di sana dan menjadi koresponden s untuk sebuah media hebat Jakarta.

Saya pernah bersentuhan dengan pemikirannya disebuah tahun. Berhari dan berbulan.

Saya tahu kehebatannya. Anda juga tahu. Namanya Sinansari Ecip. Ia dosen yang kemudian dikenal sebagai “guru wartawan.” Puluhan buku yang diproduknya. Jangan tanya lagi berapa banyak artikel yang muncrat dari pemikirannya.

Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri media “Republika.” Tidak hanya itu, Sinansari yang Ecip adalah seorang sastrawan. Penyair, cerpenis dan banyak menulis novel dan artikel.

Kalau dideret anugerah penghargaan untuk dijepitkan diselangkang ketiaknya, maka  plakat itu akan jatuh berceceran saking banyaknya.

Tak banyak orang yang tahu tentang negeri dan nama akte kelahiran si Ecip ini. Ia anak Malang. Namanya Soetiono.

Dan ketika si Amren mentaklimatkan kepada saya bahwa ia anak “geng” Hasanuddin di sebuah sapaan lainnya,  saya hanya bisa mengenang peradaban intelektual yang menjadi tonggak perguruan tinggi itu.

Untuk meyakinkan saya bahwa ia memang salah seorang “gangster” disana, si Amren mengirim foto sesama alumninya.  Alumni 1981.

Tahun alumni ketika saya telah melanglangbuana kepolosok negeri ini mereguk pahit dan manisnya tatahan minuman yang bernama jurnalistik.

Si Amren memang anak  “ketelatan” yang berkibar di timur. Kibaran kebanggaan kala menuliskan teks foto yang ia kirim. “Disebelah saya itu adalah dirjen yankes,” tulisnya simple.

Saya menyapu personal yang ada di foto itu. Kemudian menyimpulkan, ini alumni terbaik dari anak negeri terbaik.

Di Unhas ini pula Armen membawa banyak pesan dan kesan. Pesan spritual dan aktual untuk membekali kiprah karir dan kehidupan kala kembali ke negeri “pang sagoe.”

Kesan paradoks tentang negeri bergejolak. Gejolak yang ditimbanya dengan cerdas ketika menjalani kuliah kerja nyata hingga ke Wajo dan  Soppeng . Bahkan mengenal Enrekang dan Baraka.

Kesan bagaimana ia bersilaturahmi dengan dua kutub. Sisa kutub Kahar Muzakkar yang ingin menegakkan identitas keislaman lewat darul islam-nya. Sedangkan kutub lain adalah kotak pandora canang Jakarta yang nasionalis sekuler.

“Saya tidak mengambil provokasinya. Saya hanya mengambil silaturahminya,” kata Amren tentang pengalamannya menyelam di kancah pergolakan itu.

Saya terpesona dengan “humble-nya si Amren memaknai ini. Makna yang dari seorang anak muda berselancar ke pemikiran dewasa.

Makna ini pula yang mengisi tepian otak kecilnya ketika harus pulang ke negeri di “naca.”

Negeri konstektual. Bukan tekstual.

Negeri pergolakan yang gelombangnya lebih dahsyat dari pada yang pernah ia alami nun di sudut selatan Sulawesi sana.

Kalau di Wajo atau pun di Enrekang, dentum pernyataan hanya berisi tegaknya islam, tapi letupan agitasinya adalah merdeka dan tegaknya syariah.

Letupan inilah yang menjadi persahabatannya ketika memulai starting karir dari Nisam. Dari sebuah pusat kesehatan masayrakat. Kala ia dibenum dengan status dokter puskesmas.

“Jangan tulis itu huru hara yang bang,” pesan ringkasnya kepada saya beberapa hari lalu. Saya tahu tentang makna pesan si Amren itu.

Ia pasti tidak ingin mencedarai tali persaudaraannya dengan Nisam. Tali persaudaraan yang telah menjadi simpul “syedara gampong” takziahnya.

“Saya punya blang di sana,  bang. Blang yang telah disertifikati dengan hati oleh anak nangggroe Nisam. Blang yang menjadi usik kerinduan saya untuk pulang,” ujar Amren dengan nada puitis.

Jalan panjang yang direntangnya dari Nisam inilah yang mengantarkannya kebanyak rumah persinggahan. Rumah singgah kala ia berkiprah di fakultas kedokteran Abulyatama.

Rumah singgah ketika ia dipilih, bukan terpilih, sebagai direktur rumah sakit jiwa Banda Aceh.

Rumah singgah yang dijalani dengan sedikit “gila-gilaan.” Membebaskan mereka yang dipasung.

Rumah singgah yang ia tahu juga betapa banyak anak nanggroe meutuah ini yang memasungkan dirinya.

Memasung ide. Memasung anggaran. Memasung ……

Terhadap pasung memasung ini Armen pernah sedikit tergelitik ketika saya mengingatkan tentang kualitas pelayanan kesehatan yang terkooptasi oleh bancakan yang bernama proyek.

Sebagai seorang lulusan magister manajamen rumah sakit dari Gajah Mada, dan pernah menimba pengalaman ke negeri Viking, Norway, saya menantangnya untuk menguliti apa yang jadi palang penghalang untuk mendapatkan kata sehat.

Saya bahkan mengatakan kepadanya, buka saja. Apa kita punya dokter hebat di negeri ini. Apakah kita punya scanning lasser atau pun kecanggihan terbaru.

Apakah kita punya kamar vvip atau vip untuk menghalang “syedara” kita menjual tanoh blang untuk membeli sehat ke penang atau singapura sana.

Dengan sedikit menurunkan suaranya si Amren menjawab dengan datar bahwa ia juga pernah belajar dan tahu persis bagaimana mengemudikan anggaran untuk tidak menjadi liar.

“Saya tahu, bang”