close
Nuga Travel

Cina Penayong Itu Anak “Koeli” Kwangtung

Sejarah Penayong sebagai kampung Cina memang gelap. “Berkabut.”

Ridwan Azwad, ketika masih hidup , seorang pemerhati sejarah di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, kesulitan menemukan catatan mengenai pecinan itu.

Risalah tulisan dari kepustakaan Aceh di Belanda tak mencatatkan secara utuh eksistensi cina di kuta tua ini. Bahkan buku “de Atjeh-oorlog” hanya menyebut sekelebat tentang “Pemayong. ” Hanya sepotong-sepotong. Tak lengkap. Itupun catatan lepas,” ujarnya.

Tidak hanya Ridwan Azwad ataupun tim bustanussalatin yang ringkih menacri benderangnya tahun hunian Penayong. Tetua cina dari generasi kedua dan ketiga juga menggeleng ketika ditanyakan bagaimana terbentuknya komunitas hunian pecinan itu. Mereka hanya bisa menunjuk pada toko tempat lahirnya berdasarkan cerita ayah dan ibunya. Selebihnya “losses.”

Berlainan dengan Ridwan, tim bustanussalatin dan cina-cina tua yang menggelengkan kepala, Lo King Hwa, 67 tahun, bisa lancar bercerita bagaimana komunitas perkampungan cina itu terbentuk. Ia mendapatkan cerita bersambung dari kakek hingga ayahnya, untuk kemudian ditebarnya dengan antusias lewat pertanyaan pada tetua perkampungan.

Lo King Hwa, yang lebih akrab di panggil Ba Cai itu, termasuk anak “kek” langka. Nyinyir bertanya, “nakal” sepanjang usia dan gigih menjalani hidup. Ba Cai berani mematok tahun cikal dari komunitas pecinan Penayong. Akhir tahun 1880-an.

“Sebelumnya,” kata Ba Cai alias Ayah Kojek 88,” warga cina sudah berdatangan ke Koetaradja sebagai koeli di awal penaklukan Aceh dan hidup terpencar dari Uleue Lheue hingga Merduati.”

Menurut catatan lepas Paul van’t Veer dalam de Atjeh-Oorlog, Perang Belanda di Aceh, komunitas cina di Koetaradja, di awal penaklukan, memang sudah terbentuk dari koeli hingga pedagang kelontong.

Di Ulee Lheue saja, catat van’t Veer, terdapat 700 orang cina yang mendiami gubuk-gubuk sepanjang tanah pinggirian “neheun” Deah Geulumpang hingga ke pinggirian Meuraxa.

Bahkan F. Janfruchte, seorang zending kristen, yang menyinggahi Ulee Lheue dalam perjalanannya dari Rotterdam ke Batavia tahun 1881, walaupun ringkas menuliskan cuplikannya tentang komunitas cina di Koetaradja. Mereka sudah membentuk “perkampungan” sendiri dan bergaul di pasar Meuraxa dengan penduduk setempat.

Sebagian kecil dari warga cina itu saya temui sebagai pembantu di rumah-rumah orang Belanda atau buruh angkut di stasion kereta api dan kuli bongkar muat di “boom,” catat van’t Veer.

“Saya juga melihat banyak cina bekerja di sebuah rumah pelesir milik seorang Jepang sebagai pelayan di Ulee Lheue. Mereka dengan rambut di kuncir, bercelana komprang hitam berdiri di pintu masuk,” tulis Janfruchte. Banyak juga di antara cina kek dan hongfu ini bekerja ke Kutaradja dengan menggunakan “spoor.”

Menurut Janfruchte, ia pernah mendatangi sebuah toko kelontong cina di samping stasion kota. “Dan itulah cina terkaya yang ada di Kutaradja,” tulis zending itu dalam catatannya yang diterjemahkan oleh Aboebakar, almarhum, kepala PDIA.

Untuk itu rujukan Ba Cai pada kedatangan kakeknya dari Kwang Tung tahun 1885 untuk bekerja di toko mas Bandung di jalan Ujung Kalak, sekarang, sangat valid.

Sang kakek yang bernama Lo Nang, kata Ba Cai, datang dengan istri di usia 20 tahun dan menetap di Uleue Lheue. Ia naik “spoor” ke Koetaradja, waktu itu jaraknya lima kilometer. Catatan di keluarganya mengungkapkan, sang kakek didatangkan sebagai kuli.

Ia memulai kehidupan sebagai pembantu rumah tangga di toko mas itu.
Ba Cai mencatat, awal kedatangan orang kek maupun hongfu serta hokian ke Koetaradja, untuk bekerja sebagai tenaga lepas dengan Belanda.

“Belanda butuh koeli lepas di awal penaklukan Aceh,” katanya.

Sebagai pekerja keras dan mampu menyimpan rahasia, Belanda memilih mendatangkannya dari cina.

Pilihan tinggal di Uleue Lheue, di awal kedatangannya, karena kawasan itu sudah steril dari gangguan pejuang. “Kebanyakan koeli cina tinggal di Uleue Lheue, waktu itu,” catat Ba Cai. Lo Nang, contohnya.

Setelah lima tahun di Uleue Lheue Lo Nang dibelikan tanah oleh majikannya, tahun 1890, di ujung Penayong, bekas perkantoran PT Fajar Baizury sekarang. “Itu tanah keluarga kami. Setahu saya tahun-tahun itulah awal pembentukan komunitas pecinan Penayong,” ujar Ba Cai.

Pendapat Ba Cai ini diperkuat oleh A Kiau, 84 tahun, cina tua yang tinggal di Jalan Teluk Betung. Pedagang asinan, yang hidup dengan istrinya ini, memastikan lahir di toko tempat jualannya sekarang. “Dulu ayah saya jualan kelontong;” katanya acuh. Menurutnya, lima belas tahun sebelum lahir, ayahnya sudah tinggal di toko itu. A Kiau berasal dari suku “kek.”

A Kiau tidak hanya jernih menyebut para pemilik rumah di seputar tempat tinggalnya, tapi juga mendapat cerita dari ayahnya, bagaimana Belanda mengkapling tanah Penayong untuk dijadikan pecinaan seusai berakhirnya status koeli kontrak untuk pendatang Kwantung.

Cerita A Kiau ini, seperti dikatakan Ridwan Azwad, bisa mendekatkan pada sejarah awal pembentukan komunitas hunian pecinan itu. Catatan lepas yang ia dapatkan juga menjelaskan tentang kebijakan Belanda untuk memberi hunian permanen bagi bekas cina koeli kontrak bertempat tinggal.

Menurut Ridwan, seusai penaklukan berdarah di Koetaradja, Belanda memerlukan keamanan pasokan kebutuhan pokok dengan mendorong terbentuknya komunitas cina pedagang. “Kepentingannya sederhana mutual symbiosis. Salaing memerlukan,” ujar Ridwan

Pendapat Ridwan ini dibenarkan secara realitas oleh A Kiau, yang mengutip cerita ayahnya, tentang bagaimana para cina koeli kontrak menempati kapling tanah “Peumayong.”

“Sejak itu para “kek” dan “khongfui” ramai-ramai mencari persil di Penayong dan mulai hidup berdagang dan menjadi kaya,” katanya tertawa. Ia ingat toko kelontong terbesar, sebelum perang, milik Kho Con Kie, yang meninggal tahun 1927. Ia Cina paling kaya di Koetaradja.

“Tokonya persis disamping pasar sayur, barisan toko obat Mustajab lama, yang barangnya didatangkan dari Singapura dengan mencarter satu kapal KPM ( Koonijklike Paketvaart Matschapij) dan dibongkar selama dua hari di Uleue Lheue,” kata A Kiau menunjuk barisan toko di Jalan Kartini yang sebagian penghuninya bukan Cina lagi.

Ia juga masih ingat apotik Mensana di di jalan Cut Nyak Dien, milik keluarga Con Kie, yang dibangkrut anak cucunya. “Keluarga kami memang sudah bangkrut,” kata Subekti pemilik toko Erecta di Muhammad Jam, cucu Con Kie dari garis ibu, yang keluarganya bertebaran di Medan dan Jakarta. Dan ia hanya ingat sedikit cerita seputar kakeknya. “Itu masa lalu,” katanya.

Tags : slide