close
Nuga Sehat

Awas, Kurang Tidur Bisa Merusak Otak?

“Jangan korbankan waktu tidur,” tulis laman kesehatan “webmd,” hari ini, Kamis.

Lantas?

Kurang tidur terbukti menjadi salah satu faktor sistem imun lemah. Akibatnya, penyakit pun lebih mudah menyerang.

Penelitian untuk membuktikan hal tersebut dilakukan dengan melibatkan sebelas pasang orang dewasa kembar, mayoritas wanita. Masing-masing pasangan kembar memiliki rutinitas tidur yang berbeda.

Kembar yang sering kurang tidur ternyata memiliki daya tahan tubuh lebih lemah.

Penelitian sebelumnya juga mengungkapkan bahwa orang yang kurang tidur lebih gampang tertular virus flu.

Tidur sama pentingnya dengan pola makan dan olahraga untuk kesehatan.

“Tidur sangat penting untuk meregenerasi dan produksi protein untuk sel-sel imun. Hal ini akan membantu sistem imun berfungsi optimal,” kata Dr.Nathaniel Watson, profesor neurologi yang melakukan studi ini.

Walau pun para ahli merekomendasikan kita untuk tidur tujuh hingga delapan jam setiap malam, tapi rata-rata orang tidur kurang dari enam jam di malam hari.

Studi di Amerika juga menunjukkan, durasi tidur masyarakat berkurang satu setengah hingga dua jam dibanding satu abad lalu.

Penelitian lainnya dari dari University of Pennsylvania School of Medicine yang  mempelajari sel-sel otak tertentu mengingatkan bahwa kekurangan tidur bisa mengakibatkan kerusakan otak.

Penelitian ini menunjukkan kurang tidur dapat berakibat serius, yaitu hilangnya sel otak bahkan berisiko menyebabkan otak rusak permanen.

Studi pada tikus menunjukkan kurang tidur berkepanjangan menyebabkan 25 persen sel otak tertentu mati.

Menurut ilmuwan Amerika, pada manusia yang kurang tidur, hal yang sama bisa saja terjadi meskipun manusia berusaha mengganti waktu tidurnya atau mengonsumsi obat untuk melindungi otak.

Penelitian yang diterbitkan oleh The Journal of Neuroscience ini meneliti tikus di laboratorium. Perilaku tikus tersebut meniru jenis-jenis kurang tidur pada umumnya dalam kehidupan modern, seperti bekerja pada shift malam atau menghabiskan waktu berjam-jam di kantor.

Setelah beberapa hari melihat pola tidur pada orang-orang yang bekerja di malam hari, tikus kemudian kehilangan dua puluh lima persen sel otaknya, yang dikenal sebagai locus coeruleus  neuron.

Pola kerja yang dimaksud adalah tiga hari bekerja pada shift malam, dengan waktu tidur hanya empat hingga lima jam dalam waktu  dua puluh empat jam.

Para peneliti mengatakan ini adalah bukti pertama bahwa kurang tidur dapat menyebabkan hilangnya sel-sel otak.

Tapi mereka menambahkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengetahui apakah orang-orang yang kehilangan waktu tidur mungkin juga berada pada risiko kerusakan otak permanen.

“Kami sekarang memiliki bukti bahwa kurang tidur dapat menyebabkan kerusakan permanen. Ini adalah contoh sederhana yang ditunjukkan pada hewan namun kita harus berhati-hati pada manusia,” kata Sigrid Veasey dari Center for Sleep and Circadian Neurobiology.

Dia mengatakan, perlu ada langkah berikutnya untuk menguji otak para pekerja shift setelah adanya bukti kematian dari hilangnya sel-sel otak.

Selain kekurangan tidur, terlalu banyak tidur juga bisa berakibat tidak baik

Dua buah studi baru menunjukkan, terlalu sedikit maupun terlalu banyak tidur dapat meningkatkan risiko depresi.

Para peneliti melaporkan dalam jurnal Sleep, jumlah tidur yang tidak sesuai dapat mengaktifkan gen yang berhubungan dengan depresi.

Sebuah studi yang melibatkan lebih dari seribu tujuh ratus pasangan kembar dewasa membandingkan gejala depresi seseorang dengan kembarannya.

Mereka yang mendapatkan cukup tidur yaitu tujuh hingga sembilan jam per hari, hanya dua puluh tujuh persen yang melaporkan mengalami gejala depresi.

Angka tersebut jauh lebih tinggi pada mereka yang kurang tidur sekitar lima jam perhari yang lima puluh tiga persennya melaporkan gejala depresi.

Dan empat puluh sembilan persen pada mereka yang kelebihan tidur sekitar sepuluh jam perhari.

“Durasi tidur terlalu singkat dan terlalu lama akan mengaktifkan gen yang berkaitan dengan gejala depresi,” ujar ketua peneliti Nathaniel Watson, profesor neurologi dan wakil direktur dari University of Washington Medicine Sleep Center di Seattle. Oleh karenanya, lanjut dia, durasi tidur yang optimal merupakan cara paling efektif untuk terapi depresi.

Studi lainnya melakukan analisis anak muda. Studi menemukan, tidur kurang dari enam jam tiap malam merupakan faktor utama yang meningkatkan risiko depresi.

“Hasil ini penting karena kurang tidur merupakan prekursor depresi utama bagi remaja, terjadi sebelum gejala depresi utama lainnya dan gangguan mood muncul,” terang Robert Roberts, profesor ilmu perilaku dari School of Public Health di University of Texas Health Science Center di Houston.

Safwan Badr, presiden American Academy of Sleep Medicine mengatakan, tidur yang sehat merupakan hal yang perlu bagi kesehatan fisik, mental, dan emosi.

“Studi ini menekankan, kita dapat membuat investasi kesehatan melalui kecukupan tidur,” pungkasnya.

Tags : slide