close
Nuga Region

“Nama Saya Yang Abang Tulis Itu”

Saya kenal namanya dari sebuah “kecelakaan kecil”

Di hari ulang tahun sebuah media lokal. Yang sangat prestise di Aceh.

Yang  saya sudah lama menjauh dan menjaga jarak dengannya. Usai kiprah panjang saya bersamanya.

Menjauh tanpa perasaan terluka. Hanya untuk mendamaikan hati.

Kedamaian untuk tidak menjadi saya “mbong” karena pernah menjadi sesuatu di sana. Kedamaian juga untuk tidak membanding-bandingkan era saya dan era media itu sekarang.

“Kecelakaan kecil” itu datang ketika seorang anak teman pemilik media itu, yang kini menjadi pengendali, mengupdate foto saya dikerumunan banyak orang yang mengucapkan selamat dengan teks yang saya sudah lupa apa muatannya.

Ucapan selamat ulang tahun media itu. Februari lalu.

Sebelum “kecelakaan kecil” itu saya memang sering “say hello” dengan anak sang teman. Maklum. Anak dari pertemanan. Itu kan berarti anak saya juga. Tentu tidak anak biologis.

Di sebuah “say hello,” ketika ia sedang snorkeling di Sabang, anak sang teman menawarkan saya untuk mengisi sebuah kolom opini di medianya. Saya langsung reaktif.

Menolak.

Itu sudah komitmen.

Final.

Nggak bisa ditawar.

Komitmen untuk menolak tersambung kembali dengan media itu.

Tersambung lewat kerumunan foto iucapan selamat itu saja saya sempat bete. Mewanti-wantinya: cukup sekali ini saja ya.

Padahal foto itu dalam hitungan hari sudah raib karena dihimpit oleh rebutan mereka yang ingin nampang.

Namun begitu, tawarannya untuk mengisi opini itu membuat saya tergelitik. Gelitik yang wajar.

Gelitiknya seorang jurnalis. Apalagi jurnalis tua. Yang ada emosional, sentimental dan ketidaksabarannya. Tentang keingintahuan kualitas rubriknya. Keingintahuan jurnalis.

Dalam hitungan menit  jempol jemari saya langsung menari di permukaan handphone lewat aplikasi google search.

Plas!

Langsung benderang. Kolom opini itu pun terkembang. Klik berikut memunculkan  jejeran judul plus nama pengisi kolom

Ada sosiolog yang guru besar. Yang saya nggak tahu asal muasal dan karir kepenulisannya.  Tapi saya kenal orangnya. Saya mengabaikan kerena tulisannya kontekstual.

Yang lainnya banyak tekstualnya. Memindahkan hasil penelitian ke rubrik yang namanya sangat pop dan “meu-aceh” itu.

Sebelum pergi dari laman rubrik itu saya curiga dengan satu judul. “Membaca’……di Era dom ke Damai”

Menelusuri isi tulisan sekaligus.

Ah.. menarik ya! Beda dengan tulisan lainnya.

Maaf ya.. saya nggak mau mengisi titik-titik judulnya karena komitmen tak mau menulis sebaris kata itu

Maaf juga ke penulisnya yang mungkin menghardik saya sebagai “mbong” gaek sok hebat.

Terserahlah. Saya nggak ingin membela diri.

Jujur sajalah. Tulisannya bagai sebuah reportoar. Ada penurunan dan ada pendakian kalau dibaca dengan intonasi bernada rendah dan tinggi. Sangat kuat narasinya.

Seperti narasi tentang stempel lurah yang ia kantongi hingga ke keude kupi Narasi dari background pengalaman yang ia pindahkan lewat paragrap tertata.

Setiap pindahan itu pun nggak keluar dari alur. Apalagi ia menulis dengan style “aku.” Gaya yang menjadi milik penulis hebat di majalah “Tempo” dulunya.

“Tempo” yang saya pernah menjadi bagiannya.

Selain itu si penulis tahu kapan harus menghadirkan gelitik  dan cubitan halus ke memori pembaca. Untuk kemudian  mengajak pembaca berenang bersama di lautan emosional.

Berenang dikolam sebuah masa pahit tanpa membuat orang jadi marah dan dendam.

Ah.. nggak usahlah saya panjangkan penilaian tulisan itu. Kan tulisan ini bukan sebuah resensi.

Kalau saja tulisan itu disayembarakan dan saya jadi salah seorang penilainya, angka A pasti saya contrengkan.

Contrengan tingkat kemampuannya kala memindahkan tanaman memori ke kebun hijau reportase bernama tulisan. Saya memastikan ia memang penulis hebat. Penulis sekelas wartawan berjargon: enak dibaca dan perlu.

Usai membaca tulisan itu saya bergumam. Menyesali kenapa pilihannya bermuara ke a-es-en. Kenapa nggak jadi jurnalis atau kolomnis saja.

Nggaklah!

Karir a-es-en nya  juga cemerlang. Sudah berada di posisi tertinggi. Eselon satu. Kan nggak ada eselon nol dalam karir kepangkatan a-es-en.

Eselon nol itu hanya untuk menteri. Dan itu pun politis. Bisa datang dari mana saja. Asal dipilih presiden. Namanya saja hak preoregatif.

Dari tadi tulisan ini terus abu-abu. Tak mau menyebut nama yang memanggil saya bapak untuk kemudian digantinya sendiri dengan abang, Di judul tulisan ini.

Saya sebut sajalah. Ia Safrizal Z.A. Saya nggak tahu apa kepanjangan Z.A. itu. Mungkin nama trahnya. Mungkin juga … entah apalah.

Yang pasti nggak sama dengan Z.A. milik Maulani. Yang pensiuanan Letnan Jenderal mantan kepala badan intelejen negara di kabinet reformasi.

Z.A. milik Maulani itu jelas. Zaini Azhar. Letaknya pun di depan. Yang Z.A. punya Safrizal adanya di belakang.

Tolong kasih jelas kalau ada yang tahu ya?

Di hari itu, pekan lalu, usai membaca tulisan tentang sengkarut tindih menindih kata-kata dari banyak pelawak nun di gampong sana tentang lepasnya klaim empat pulau di laut barat bagian selatan Aceh, ia menyapa saya lewat aplikasi whatsapp

Pulau yang lepas dari klaim Aceh itu, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil dan pulau Lipan. Pulau terakhir ini, Lipan, sudah terbenam menunggu sebutan almarhum.

Ia menyebut saya bapak di sapaan pertama. Memuji dengan kalimat pendek: “tulisannya bagus.” Saya membalas dengan kata berbunga.

Menghindar dari pujian.

Karena saya tahu tulisan itu menjadi obat penenang baginya.  Penenang karena tanggung jawabnya memberi contrengan persetujuan bagi tanda tangan Mendagri bagi pelepasan klaim Aceh atas sebuah keputusan.

Lantas dibalasnya. “Saya orang yang bapak sebut namanya di tulisan itu.”

Tak puas ia mengirim fotonya dalam pakaian seragam dengan pangkat dan sederet emblem didada. Masih ada lagi kiriman foto ia dalam stelan jas.

Masih ada pertukaran kata-kata selanjutnya. Tak usahlah saya tuliskan. Karena nggak perlu. Privacy.

Yang saya sangat heran dan menjadi tanya menggumpal adalah di media online mana ia membaca tulisan itu. Dan dari siapa ia mendapat nomor kontak saya.

Padahal saya bukan sales product atau seleb. Yang nomor kontak person dan manajemennya diumbar.

Semuanya itu tak ingin saya tanyakan.

Karena saya bukan gaek yang nyinyir. Ini sesuai dengan petuah dari guru spiritual saya Nasaruddin Umar. Imam besar masjid Istqlal. Yang ceramah tasaufnya menjadi pengisi bathin saya di masjid Sunda Kelapa, kawasan Menteng.

Sebagai wartawan yang pernah dibekali oleh psikolog sekelas Sarlito Wirawan saya bisa menyimpulkan Saflizar yang direktur jenderal bina administrasi kewilayahan departemen dalam negeri itu adalah seorang “humble.” Terbuka.

Berangkat dari sinilah saya mengejar ke”humble”annya ini. Mengejar dengan bertanya ke teman sekolah dan angkatan sesama pendidikannya

Tentu tidak kesemua orang. harus saya testimoni.

“Ia seorang terbuka. Menghargai orang. Nggak mau menonjolkan diri. Yang saya salut ia organisatoris,” ujar seorang seniornya di sekolah tinggi pendidikan dalam negeri, Jatinangor, Bandung, yang kini bertugas di pemko banda Aceh.

Malah adik kelasnya di sekolah tinggi kepamongan, kini menjadi seorang kepala biro di pemda provinsi Aceh, yang secara tugas bersinggungan dengan Saflizar berterus terang seniornya itu sangat mudah bergaul.

“Saya sering ngalor ngidul dengannya kalau datang ke ruang kerjanya. Ia menyisihkan waktu ditengah tindihan tugasnya yang berhimpitan dengan waktu,” ujarnya tanpa ingin angkat telur dengan berita yang menyebarnya tentang penugasan Safrizal berikutnya.

“Nggaklah. No comment aja,” ujarnya pendek ketika saya gelitik dengan pertanyaan tentang kemungkinan Safrizal menjadi sesuatu yang lain.

“Ah.. dia kan sudah jadi sesuatu,” lanjutnya.

Saya kehilangan prolog testimoni ini. Karena jawaban dari temannya berputar itu ke itu saja. Basa basi. Padahal saya ingin mencari perjalanan karirnya yang miring atau sedikit miring dengan mengajukan pertanyaan nakal.

Jawaban mereka seperti jalan lurus.

Lantas saya melayangkan tantangan langsung ke Saflizar yang bergelar akademis sarjana strata doktor dan master itu untuk bisa kongkow.

Kongkow untuk menakalkan pertanyaan dengan jawaban kenyal yang kalau dikunyah bisa liat. Pertanyaan untuk reporter tanpa punya kartu pers yang menggelantungkan di lehernya.

Pertanyaan liat  bagaimana dia sampai ke puncak karir. Sebab tak ada makan siang gratis hai mantan keuchik yang stempelnya selalu ada di kantong celana.

Tahu jawabannya?

Siiaappp….

Seperti jawaban Luhut ke Jokowi untuk setiap penugasan yang berderet.

Tapi nggak ada lanjut dengan kata “gerak”nya. Mungkin ia mencari waktu untuk kata “gerak” ini. Entah gerak di kupi saring, mie aceh, atau keude kuah belangong.

Apa di Petamburan, Pasar Minggu atau makan kepala kakap di krekot. Rumah makan Medan Baru.

Hanya pak dirjen yang tahu jawabnya.

Tags : slide