close
Nuga Region

Berita Baru dari Tapal Batas

Ini berita baru.

Bukan baru berita.

Tentu tidak hanya orang jurnalistik yang tahu beda beda berita baru dan baru berita itu. Anda pun tahu.

Berita baru itu lurus. Tak ada kejutannya. Sensasi atau pun hoak. Juga tak ada gosipnya. Benar-benar berita. Atau bahasa kerennya newspeg journalism

Berita begini biasanya memenuhi kaidah sebagai jurnal. Ada judul, lead, dan isiannya wawancara, crossceck, balances maupun investigasi.

Ups!

Beda dengan baru berita. Penuh kejutan. Belum tentu sesuatu yang baru. Bisa saja berita diperbarui. Berita  lama yang diperbarui dengan polesan gincu dan bedak yang menor.

Macam tampilan mak-mak yang pupurnya ketebalan. Atau busananya yang “now

Tentang berita baru ini datang dari pemasangan patok batas wilayah antara Aceh dengan Sumatera Utara usai ricuh klaim empat pulau di kawasan barat bagian selatan provinsi ini yang soh.

Soh usai kementerian dalam negeri membuat keputusan: keempat pulau itu milik kecamatan Manduamas, kabupaten Tapanuli Tengah.

Bukan milik kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Singkil, yang diklaim Aceh berdasarkan patok tak punya ashabul nujubnya di Pulau Panjang

Patok batas kali ini resmi.

Pemasangannya saja benderang.  Diberitakan. Dipublikasikan lewat rilis resmi pemda Aceh. Dilengkapi dengan aturan  mainnya.

Jenis rilis begini tentu bukan untuk bacaan Anda. Saya saja yang orang jurnalis mumet mengikuti alurnya. Kepentingannya untuk sumber. Diolah kembali. Menjadi olahan berita para juru warta.

Saya senang dengan isian rilis ini. Senang karena tak menjadi dakwa dakwi nantinya.

Di rilis itu saya membaca ada keikutsertaan pejabat bagian toponimi dan batas daerah kemendagri. Ada asisten pemerintahan dan keistimewaan Aceh. Dan ada juga pejabat dari pihak provinsi tetangga.

Lokasinya juga patok batas kali ini juga jelas. Dititik enam puluh tiga desa tenggulun, kecamatan Kabupaten Aceh Tamiang.

Pemasangan ini bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah dari aspek teknis dan yuridis

Saya tahu siapa orang yang menugaskan pemasangan patok batas ini tanpa harus bertanya sebagai klarifikasi.

Surat keputusan yang nantinya dikeluarkan mendagri usai diolah, diutak atik dan disertai kata pertimbangan oleh tim juga dicontreng secara berjenjang

Separti  tapal batas sembilan titik tapal batas terdahulu yang membuat biro tata pemerintahan senang bukan kepalang.

Saya tahu kepala bironya yang senang dulu dan nanti itu.  Kami bertemu “di jalan Tuhan” disebuah hari lewat sebuah flight. Kami duduk bersebelahan. Semula tidak saling sapa.

Saya membuka sapaan untunya untuk kemudian kami terlibat pembicaraan panjang sekali hingga pesawat landing. Namanya Syakir.

Ia anak yang pernah merasakan pedihnya konflik dan tak ingin ada konflik lagi. Walau pun untuk yang namanya tapal batas. Yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Selain telah menyelesaikan soal tapal batas tahap pertama Syakir masih punya pe-er lain. Pe-er bagaimana menyelesaikan tapal yang diamanatkan  MoU Helsinki

Saya nggak tahu soal ini. Tak ingin menulis sesuatu yang tidak tahu. Apalagi kalau rujukan dan tafsirnya tak jelas.

Sebab yang dirujuk itu sudah menjadi masa lalu. Masa Aceh masih punya wilayah hingga ke Langkat dan Tanah Karo. Yang kedua kawasan itu sudah menjadi bagian provinsi tetangga.

Kita tidak tahu bagaimana proses penetapan tapal batas itu sekarang. Apakah ucuk-ucuk kemendagri mengeluarkan permen?

Saya setuju aja bila pemerintah Aceh membuka kepada publik terkait proses negoisasi itu, jikapun ada.

Agar, publik tahu, apa persoalan dan konsekwensinya jika sebagian kecil wilayahtetangga itu masuk ke Aceh? Apakah masyarakatnya mau? Atau apalah

Tapal batas ini kan hanya dicatatkan dalam buku sejarah. Kalau ditarik-tarik ke sejarah panjang betul dakwanya. Bisa sampai kesebarang sana. Atau ke ujung sana juga.

Saya tak bisa menjawab tanya ini. Kalau mau jelas tanyakan ke Hamid Awaluddin atau Yusuf Kala. Yang ketika itu menjadi tim perunding. Bisa juga ditanyakan ke syedara kita disini

Kalau saya ditanya akan saya jawab: Semakin kecil daerah semakin enak mengurusnya.

Untuk mengurus tapal batas di Langkat ini saja tim harus menerobos hutan, menyebarangi sungai untuk mencari garis lurus di atas peta. Padahal google map nya sudah ada

Yang dibutuhkan kesaksian untuk melihat langsung lokasi untuk memasang pilar batas. Tahap awal sudah kita pasang kata petinggi toponomi bernama Sugiarto.

Pilar ini akan dilanjutkan dengan pilar batas utama. Entah berapa jumlahnya, saya tak tahu.

Pemasangan ini pun menjadi tanggung jawab masing-masing pemerintah daerah lewat sistem genap dan ganjil Yang ganjil tanggungjawab Aceh sedangkan genap menjadi tanggung jawab Sumatera Utara.

Saya senang aja dengan kesepakatan ini. Sebab ketidakjelasan batas daerah seringkali menghadirkan perdebatan kebijakan.

Misalnya duplikasi pelayanan pada garis perbatasan yang menimbulkan inefisiensi anggaran, perebutan sumber daya alam, dan kesemrawutan urusan pertanahan, kependudukan, daftar pemilih dalam pemilu dan pilkada, perizinan, tata ruang dan sebagainya.

Perbatasan daerah ini penting.  Karena penegasan batas daerah penanda  kewenangan daerah untuk menjalankan sistem pemerintahan.

Selama ini peta acuan yang digunakan sebagai rujukan sering abu-abu. Karena  bersumber dari peta topografi milik angkatan darat. Dan itu pun sudah berumur empat puluh empat tahun. Yang skala sudah tak update

Saya tak tahu apakah peta perbatasan itu sudah tuntas semua. Sebab garis melintang perbatasan Aceh tidak hanya membentuk garis dengan Langkat, Tapi juga ada di Pakpak hingga ke Barus di Tapanuli Tengah.

Yang migrasi penduduk antar wilayahnya sangat tinggi. Yang juga tinggi olahan isunya. Isu suku maupun agama. Yang pernah menjadi gaduh di sebuah masa usai diolah untuk sebuah kepentingan.