close
Nuga Region

Pejabat Gubernur Pilihan Jokowi

Gaduh?

Ya!

Gaduh silat lidahnya, Saling tindih kata-katanya. Saling cemberut wajahnya.

Menjadi bacaan, pendengaran dan gambarnya di media mainstream.  Lokal dan regional. Radio, televisi, podcast, youtube dan koran.

Kalau media nasional?

Tak ada gaduhnya. Kisruh pun tidak.

Hanya kilasan. Macam lampu blitzt kamera. Tak sampai satu menit.

Kalau tayang di televisi lebih lama didominasi oral dan gambar Aiman Witjaksono, Desi Anwar atau Najwa Sihab. Pasti lebih enak didengar dan  menari dipelototi. Anda tahulah postur dan face Aiman, Desi dan Najwa.

Silat lidah yang saling bertindih disini ini makin hari  makin anyir ketika migrasinya beralih dari media mainstream ke media sosial.

Lebih banyak hoaksnya.

Bisa-bisa semuanya hoaks. Yang membuat baunya semakin busuk. Karena isinya caci maki.

Gaduh ini tidak hanya milik media mainstream dan medsos. Ia bisa saja pindah ke ruang publik. Di pertemuan kauri yang ada kuah belangongnya. Atau ke keude kupi yang ada saringnya. Yang model ini saya  tak tahu apa jenis medianya.

Celakanya lagi kalau gaduhnya pindah ke pojok kamar bisa membuat suami istri saling cemberut.

Kepentingannya!

Sangat abu-abu. Bukan hitam putih. Abu-abu antara ada dan tiada.

Ada bagi mereka ….yang titik-titik. Mungkin Anda orangnya yang titik-titik itu. Karena Anda pemicu gaduhnya. Kalau ditanya, jawabannya nggak tahu. Juga tak mau tahu.

Untung saja bukan saya orangnya. Sebab kepentingan saya hanya menuliskan.

Menulis itu enak. Bisa jelas juntrungannya. Bisa langsung tahu ngenyet maupun angkat telurnya.  Kalau ngenyetnya begini…  kepentingannya itu. Jika angkat telurnya maksud begitu  …. Selesaikan.

Maaf kalau banyak titik titiknya tulisan ini. Titik itu pertanda isiannya Andalah yang tahu.

Titik-titik yang bisa tebal salam tempelnya. Atau besar persentase komisi iklannya

Entahlah…

Anda tentu masih diliputi tanya kok preambul tulisannya panjang amat. Bukan macam proklamasi. Yang langsung ke isi. Kalau udah begini pasti Anda menuduh saya juga punya kepentingan agar tulisannya panjang dan honornya berlipat.

Ah… nggaklah. Tanya saja sama Nasir Nurdin yang ketua pe-we-i itu. Ia pasti tahu jawabannya. “Ya kan Sir!” Tulisan ini gratis Karena dihadiahi kolom spesial.

“Kolom  Bang Darman”

Maaf…

Saya ngelantur.

Gaduh silat lidah kata-kata di awal tulisan ini kalau diteruskan akan ketemu dengan pernyataan dukung mendukung.

Pernyataan dukung mendukung calon pejabat gubernur di Aceh usai Nova Iriansyah pulang kandang  lima Juli mendatang setelah menerima estafet dari Irwandi Yusuf  yang kesandung korupsi.

Saya hanya bisa ketawa dengan pernyataan dukung mendukung untuk jabatan berstatus pejabat ini. Pernyataan dukung mendukung saling dahulu mendahului. Bak balapan motor Mandalika di Sumbawa.

Atau balapan formula e milik Anies Baswedan yang juga tinggi tensi gaduhnya. Di Ancol.

Padahal Anda tahu dan saya juga tahu untuk jabatan dengan embel-embel pejabat ini ada aturan mainnya.

Aturan main dari undang-undang. yang berawal dari usulan.

Usulan nama-nama hasil seleksi. Kalau untuk pejabat bupati dan walikota usulannya dari gubernur. Lanjut ke Mendagri untuk di pilih dan ditetapkan. Ditetapkan lewat keputusan yang eskanya ada kata mengingat dan mempertimbangkan.

Begitu juga kalau pejabat gubernur.

Prosesnya sama. Seleksi dulu. Sesuaikan dengan kreteria. Sesuaikan dengan kepangkatan. sangkutkan dengan eselonnya. Plus pertimbangkan kebutuhan daerahnya.

Kalau udah lengkap, bundel. Isikan ke map. Mapnya bisa biru, merah kuning atau apalah.

Antarkan ke Setneg, Agendakan nomornya. Seleksi lagi. Pertimbangkan lagi.

Lantas! Pilih satu nama  dari beberapa nama yang ada dimap. Kalau presiden nggak suuurrr singkirkan saja mapnya. Taruh di kolong meja.

Presiden minta Setneg  atau kemendagri mencari nama lain. Bisa siapa saja sesuai dengan kemauan presiden yang Jokowi itu.

Yang nggak masuk kreteria dan pertimbangan orang sekelas “gam cantoi” ataupun “om pasikom”  Sebab ia hanya ilustrasi  gambar karikatur. Gambar karikatur nggak boleh jadi pejabat. Hanya bisa menjadi kolom koran.

Ups! Mudahkan.

Nggak laku usul mengusul dan dukung mendukung. Yang ini namanya hak preoregatif presiden. Mutlak. nggak bisa digugat. Kecuali diomeli

Sama dengan hak Mendagri, yang Tito Karnavian itu, dalam menetapkan seorang pejabat bupati atau walikota.

Kalau begini jalan pendakiannya untuk apa apa gaduh disertai polling-polingan. Yang katanya melibatkan seratus delapan puluh delapan responden.

Sewaktu tulisan ini saya buat nggak tahu bentuk pollingnya. Pertanyaannya di pollingnya. Lembaganya. Atau apalah. Termasuk rating poll-nya.

Kok ruwet amat ya.

Yang pasti bukan polling milik Burhanuddin Muhtadi atau polling milik grup Kompas yang tingkat errornya rendah dan respondennya jelas.

Lucunya lagi, polling itu langsung menempatkan nama seseorang. Pejabat eselon satu. Di urutan pertama. Nggak tahu berapa persentase. Orangnya seorang  a-es-en. Pejabat utama setingkat direktur jenderal. Dirjen akronim kerennya.

Bahkan dari media hebat di Aceh yang saya baca menjelang sore tadi secara online diberitakan tentang seorang anggota de-pe-er kabupaten yang minta penunjukan pejabat gubernur harus mendapat persetujuan de-pe-er provinsi.

Saya tak menyalahkan sang anggota de-pe-er dan wartawan bloon yang tak tahu tentang apa arti kata penunjukan. Tapi tersengat oleh “jongkok”nya media yang menurunkan beritanya.

Macam nggak punya hirarki keredaksian dalam menurunkan berita. Padahal ada yang namanya koresponden, redaktur, editor dan managing editor untuk seleksi sebuah tulisan.

“Masya Allah,” gumam saya terhadap picisannya media yang memuat berita macam begini.

Oo.. alah. Kan memang sekarang banyak wartawan nggak benar dan media ngawur. Media  isiannya banyak yang ngawur. Dan pantas saja guru jurnalistik sekelas Effendi Ghazali mengembalikan gelar profesornya karena malu guru besar.

Mereka tak pernah mampu menjaga jarak dengan kepentingan.  Ada persambungan kepentingannya. Kepentingan halaman dengan teka teki silang bermuatan spekulasi..

Bagi mereka yang masih waras hanya bisa memonyongkan mulut kala mendengar dan membaca isian berita pernyataan. Tentu saya tak mau menuduh yang bikin pernyataan dan yang menuliskannya tak waras.

Biarkan saja. Kan dunia ini tak semuanya diisi oleh orang waras.

Di kampung saya saja dulunya ada yang namanya  si Apok.

Setengah gila.

Si Apok cerocosnya kalau nggak di filter bisa benar semua. Si Apok yang minta semua pernyataannya harus di”iya”kan.

Si Apok itu kenek raun pe-em-toh yang bisa menyanyikan lagu P Ramli, Engkau Laksana Bulan. Si Apok yang kalau pernyataan dibantah bisa menjadi liar.

Lain dari si Apok. Ada lagi yang gilanya penuh. Bukan setengah gila.  Namanya Mak Ani.

Untuk menurunkan tensi kegilaan Mak Ani ini ia harus di sogok dengan nasi bungkus. Nasi bungkus yang menyebabkan dia bisa waras.

Kalau saya nggak mau jadi si Apok atau mak Ani yang setengah gila dan gila penuh itu.

Saya nggak ingin cerocos yang terus diiyakan model si Apok.  Juga nggak mau jadi mak Ani kalau gilanya dalam skala penuh  harus disogok dengan nasi bungkus

Untuk itu pula saya nggak mau terjebak dalam kegilaan pernyataan. Saya ingin lurus-lurus saja. Lurus siapa yang akan diusulkan Tito Karnavian sebagai pejabat gubernur Aceh. Tito yang menteri dalam negeri.

Usulan itu biasanya ada tiga nama. Satu dari tiga nama itu akan dicontreng oleh oleh Jokowi  yang presiden. Contreng tanda jadi. Sebelum contrengan Jokowi itu pasti sudah ada contrengan kecil dari Tito.

Contreng mencontreng ini kan hanya untuk klarifikasi yang bernama hak preoregatif,

Hak preoregatif yang pernah mengantarkan Mustafa Abubakar dan Ramli Ridwan ke kursi pejabat gubernur di Aceh.

Juga pernah mengantar Tarmizi Karim di posisi yang sama. Posisi yang juga diemban Tarmizi ke Kalimantan dengan label penugasan.

Kursi pejabat gubernur yang nggak usah “dibeli” lewat setoran nama ke partai. Namanya juga pejabat. Nggak definitif kok.

Kalau sekarang?

“Wuah.. ribet,” kata kawan saya yang punya hub ke kementerian dalam negeri. Sang kawan mengingatkan saya agar tidak latah.

Saya diam saja. Tapi dari guman saya ribet ini tentu ada ashabul nujubnya. Sebab utama  daripanjangnya rentang waktu yang akan disandang  seorang pejabat gubernur di Aceh.

Dua tahun enam bulan. Itu ukuran normalnya. Kalau jalan pilkadanya lancar-lancar saja.

Walau pun saya tahu eska pejabatnya hanya untuk satu tahun, Yang di evaluasi tahun berikut. Bisa diperpanjang atau “out.” Kalau diperpanjang bisa dua tahun. Tambah enam bulan berikutnya usai pilkada awal Februari dua ribu dua puluh empat.

Itupun kalau hasil pilkada mulus-mulus saja.

Kalau sengkarut?

Bisa nambah bulan dan tahunnya. Kalau dijumlahkan tahun dan bulannya bisa lebih panjang dari jabatan yang diemban Nova Iriansyah kala berstatus sebagai gubernur defenitif usai Irwandi dicokok kapeka.

Pejabat gubernur yang kostnya tak perlu bagi-bagi sembako dan bayar orang datang ke lapangan kampanye.

“Pejabat gubernur  ini kan gratis,” bisik teman saya seorang pejabat di kementerian dalam negeri kala kami kongkow di outlet Starbuck mall kota Kasablanca.

Kongkow yang lama tertunda karena ia sibuk dengan tugas rutin dan tugas khusus,

Anda jangan curiga terhadap tugas khusus sang teman dari kementerian dalam negeri itu. Nggak ada hubungannya dengan pencarian pejabat gubernur Aceh.

Ketika hirupan pertama starbuck saya yang campur susu saya lanjut bertanya tentang kewenangan sang pejabat gubernur.

“Nggak beda jauhlah dengan gubernur defintif.. dekat kok. Kan ada petunjuknya. Ada a-be-ce-nya.

Sepanjang nggak freekick pasti tak ada sempritan wasit. Paling-paling diingat penjaga garis dengan kibaran bendera.

Lantas bola bisa ditendang lagi.

Dan permainan lanjut.