close
Nuga News

Nova Diantara Benci dan Rindu

Saya nggak biasa menulis lewat paket orderan. Bukan berarti tak pernah. Adalah. Sekali ..dua kali.. tiga kali..yang hitungannya tak penuh sepuluh jari dua tangan.

Paket orderan itu pun saya tulis kalau lagi terpaksa. Bukan dipaksa. Juga kalau lagi mood. Sebab kalau nggak mood bisa sengkarut. Sengkarut lead, paragrap dan narasinya.

Masih ada tambahannya. Apakah layak jual. Kalau nggak layak jual kan percuma. Bisa basi atau kedaluarsa. Mendingan. Kalau digumamkan pembacanya dengan satu kata: sampah,,, Habis kan.

Sebagai wartawan lima dekade saya paling takut kalau menulis nggak layak jual. Takut akan hardikan, sampah.

Ini menjadi sangat penting… penting sekali. Apalagi kalau jualan tulisannya news, feature, reportase.. entah juga opini.

Soal materi, narasumber dan sebagainya soal kedua. Setiap wartawan dan penulis pasti tahu apa itu ..dan sebagainya ini.

Menjelang zuhur kemarin saya ditelepon oleh seorang sahabat setelah pesan whatsapp terlewatkan. Telepon itu sudah mencatatkan angka di dua panggilan. Berarti dua kali tak nyambung.

Dipanggilan ketiga baru saya angkat. Dan blas…. Langsung meluncurkan empat kata. “Macam orang penting saja,” ujarnya setengah canda.

Selanjutnya saya tak mengungkapkan isian haba kami. Rahasia. Bisa nggak enak untuk banyak orang kalau ditulis dan disebarkan.

Usai bicara rahasia itu ia langsung mengorder saya. “Anda nggak menulis kepergian Nova? Diakan wobaksot hari ini….., “ ujarnya dengan nada datar.

“Paket orderan lagi…,” gumam saya. Orderan macam pesanan  “go food” aja. Yang antarannya lewat gojek.

Saya melupakan guman orderan karena  terkesima dengan intonasinya bicaranya. Tak ada ujaran kebencian, sindiran apalagi pujian. Rata. Tanpa gelombang di orderannya tentang Nova Iriansyah. Yang gubernur hari ini purna tugas itu.

Padahal ia memiliki jejak panjang sebagai politikus. Politikus yang sering menghujat, memuji dan entah apalagi, yang tujuannnya menaikkan nilai jual. Electoral treshold. Untuk keterpilihan lanjut.

Sahabat yang mengorder bukan orang sembarangan. Pernah jadi ketua partai di tingkat wilayah, anggota dewan di daerah dan pusat. Telah  tobat. Memilih jalan damai. Pensiun seadanya. Ya pensiun dari politik.

Hari-harinya di usia manula ia isi dengan tobat nasuha. Ibadah. Dan kami sering ketemu di masjid oman, lampriek, sebagai jamaah.

Saya kalah darinya soal jamaah ini. Ia jamaah tetap. Saya jamaah compang-camping. Subuh ada asar lewat. Asar ada zuhur tertinggal. Entahah.

Soal Nova Iriansyah yang gubernur wobaksot ini, dalam ngalor-ngidul kami yang hampir dua jam itu, terus bergulir. Walau pun putus sambung  kemasukan banyak topik lain.

Danbaru putus habis kala kumandang azan zuhur.

Yang memutuskan si sahabat itu. “Zuhur lebih penting,” katanya. Padahal zuhur saya hampir daluarsa karena perbedaan waktu.

Tentang orderan menulis kepergian Nova?

Akhirnya saya penuhi. Inilah tulisannya. Yang leadnya bak preambul sebuah buku tebal. Yang orderannya menambah angka jari tangan. Tapi belum mencapai sepuluh.

Damai… bisik saya.

Entahlah…

Entah juga untuk Nova yang mengakhiri pengabdiannya hari ini sebagai seorang gubernur sejak dua tahun lalu. Sebagai gubernur penuh. Usai menjadi pe-el-te. Pelaksana tugas .

Setelah Irwandi Yusuf digiring operasi tangkap tangan ka-pe-ka dua tahun sebelumnya lagi di Takengon karena kasus sogokan. Sogokan uang muka proyek. Yang hampir saja membuat ponakan saya ikut ke rumah prodeo.

Nova melambung dari wakil gubernur ke pe-el-te hingga gubernur definitif secara gratis. Gratis naik jenjang. Yang selama menjadi  pe-el-te dan gubernur  tanpa wakil. Wakil yang sering menjadi guyon di banyak daerah. Guyon ban serap.

Ban serap yang terpasang di ceruk belakang mobil. Yang hanya dipakai ketika salah satu ban utamanyanya bocor. Yang kemudiannya bisa dikembalikan ke ceruknya kalau sudah on steel.

Nova hampir saja mengalami nasib ban serap kalau Irwandi nggak jadi penghuni penjara suka miskin di Bandung sana.

Kepergian Nova dari gedung megah di teuku nya arif dan pendopo antik di kawasan keraton menyisakan banyak benci dan rindu.

Benci bagi mereka yang hajatnya tak kesampaian.

Dan rindu akan penampilan Nova yang low profil dengan gestur yang tak pernah berubah.Maaf,,,ini tak ada sangkut pautnya dengan rindu seorang “nyi.” Yang Nova telah punya dua. “Nyi-nyi” …..itu. Yang anda sudah tahu.. Dan nggak perlu dijadikan gibah.

Bagi saya tak ada benci dan rindu untuk seorang Nova. Saya terlalu jauh berjarak dengannya, Walaupun dalam beberapa tulisan saya pernah menuliskan tentang kemiskinan Aceh yang sengkarut ketika karangan bunga berjejer di sepanjang pagar tempatnya berkantor.

Jajaran karangan bunga yang datang bersama predikat aceh miskin dari badan pusat statistik. Termiskin nomor satu di sumatera dan nomor lima di Indonesia.

Tapi apalah arti tulisan itu bagi seorang Nova. Tulisan langsung dihimpit oleh orderan iklan berlapis yang membuat media bisa membayar honor wartawan dan karyawannya.

Iklan duit apebede untuk bagi-bagi raseuki atas nama pemerataan dengan imbalan berita tabik menyertainya dari press release.

Jujur saja, kemiskinan aceh yang melekat di era Nova bukan hanya dosanya sendiri. Nova hanya sebagai pewareh. Ahli waris. Yang dikemplang oleh syedaranya sebagai penanggungjawab.

Bagi saya dosa kemiskinan Aceh adalah kolektif. Yang memiskinkan itu adalah aneuk aso lhok sendiri.

Makanya, saya terenyuh ketika Nova, di ujung tugasnya, mendapat predikat gubernur terburuk sepanjang sejarah Aceh. Entah terburuk apanya. Tak ada taklimat tentang itu secara sahih. Yang ada hanya orasi”

Orasi aceh miskin di gedung dewan dari syedara pejuang. Orasi yang diakhiri dengan cipika cipiki. Orasi antara benci dan rindu.

Rindu untuk dua tahun kedepan. Rindu untuk jatuh cinta dengan pj gubernur yang dilantik Jokowi. Rindu pilkada. Rindu gairah untuk jadi ulee balang.

Saya sejak awal tak peduli siapa yang jadi gubernur di aceh. Sama dengan tidak pedulinya siapa yang akan jadi pejabat menggantikan Nova.

Juga tidak peduli dengan gubernur sebelum Nova. Siapa pun orangnya. Irwandi kah, Zaini kah  atau siapalah. Bagi saya yang penting ia benar-benar bekerja untuk warga.

Tidak butuh dipuji, apalagi dipuja-puja. Kan era sudah berubah. Era Aceh yang tidak lagi dom. Tidak lagi terkucil dan dikucilkan. Aceh yang punya pesangon yang dibayar Jakarta atas nama dana otonomi khusus.

Besarnya ampun… Dua persen dari dana alokasi umum. Alokasi umum yang saya tahu dari penjumlahannya. Dari anggaran negara. Yang angkanya trliunan, Yang kalau dijumlahkan menjadi puluhan trilliun. Tapi punya Silpa.

Silpa yang sisa anggaran. Tak terpakai. Yang pernah dikaitkan dengan persoalan jaminan kesehatan aceh.

Seperti yang sudah banyak ditulis. Yang saya juga pernah ketularan menulisnya.

Untuk itu bagi saya pemimpin i ituharusnya tidak banyak muncul di billboard, isian media. Cetak, online dan medsos. Tidak banyak atraksi, apalagi sok aksi.

Tentu orang yang kelihatan baik saja, seperti Nova,  belum tentu cukup. Karena belum menghasilkan sesuatu yang baik. Mungkin harus lebih berani mengambil risiko.

Istilahnya kita harus benar-benar bisa membaca isi buku. Karena sampulnya sudah tidak ada yang jelek.

Isi buku Nova kita kan sudah tahu. Tahu dari trahnya. Anak seorang tentara yang pernah jadi bupati di era awal saya mulai belajar menulis. Menjadi wartawan tanpa tanda baca.

Saya tahu ia anak orang baik. Nurdin Sufi. Seorang bupati di Aceh Tengah yang saat itu belum terbelah menjadi Bener Meriah. Bupati yang  kemudian digantikan oleh Beni Banta Cut.

Nurdin Sufi yang saya kenal ketika menjabat di staf kekaryaan daerah kodam Iskandar muda. Yang pernah menyuruh saya dan beberapa teman mengisi tulisan pamflet. Yang honornya cukup untuk makan siang.

Saf kekaryaan daerah yang bagian dari struktur kodam, di era tentara aktif sering dikaryakan jadi pejabat sipil.

Saya tahu juga Nova adalah anak heterogen. Campuran gayo – minang. Nurdin Sufi yang Linung Bulen dan si ibu Maninjau-Agam. Yang gesturnya persis sama dengan sang ayah.

Nova sebenarnya punya modal besar untuk membangun Aceh. Modal duit dan latar pendidikan yang strata satu dan dua teknik arsitektur. Dari dua perguruan tinggi berbeda tapi prestise.

Tapi modal itu hanyut di telan waktu. Ditelan sengkarut.

Ya sudah.. Ini kan bukan tulisan biografi seorang Nova. Hanya tulisan campur aduk antara news, reportoar dan baunya opini.

News ketika saya membaca reaksi Nova tentang predikat gubernur terburuk sepanjang sejarah. Reaksi mengubah nama akun twitter pribadinya. Pergantian sehari pasca predikat itu disandangnya

Foto profil akun twitter yang sudah diubah gambarnya burung garuda. dengan  cuitan ucapan terima kasih yang ditujukan ke syedara. Yang isiannya Anda pasti telah tahu dari banyak bacaan online.

Cuitan yang kemudian disambung oleh seorang juru bicaranya dengan nada rendah tapi ngenyet. Ya biasalah. Ini kan gaya seorang juru bicara. Gaya peninggalan harmoko-hari-hari omong kosong.

Lantas?

Hari ini Nova Iriansyah pasti akan wo.. Gubernur yang dinilai gagal mengatasi kemiskinan serta berbagai permasalahan, Masalah yang berjibun kalau dipanjang-panjangkan.

Dan tulisan orderan ini pun nggak ingin saya panjangkan. Karena bayarannya cuma kata sapaan.

Dan saya juga ingin menyapa Nova dengan kata-kata pendek: “selamat kembali ke pangkal”

Tags : slide