close
Nuga News

Kepala Desa Satu Miliar

Saya dikirimi pesan lewat whatsapp. Siang kemarin. Oleh seorang teman.

Pesannya, seperti yang saya salin ditulisan ini: “apakah Anda percaya untuk menjadi kepala desa butuh dana satu miliar?”

Wuuiihh… pertanyaan halusinasi. Yang jawabnya juga harus ada halu-nya. Halu dari tiga pilihan. Percaya… nggak percaya …atau entahlah…

Konsekuensi dari ketiga jawaban itu saya tentu tahu. Biasa dalam permainan petak umpet dikerjaan jurnalistik.

Kalau jawabannya percaya, harus bisa dibuktikan. Kalau tak percaya apa alasannya. Lantas!! Jika entahlah…Nah ini yang harus dijelaskan oleh pengirim pesan.

Tak mikir panjang. Saya memilih jawaban ketiga. Ingin kejelasan apa alasannya mengirim pesan tanya menggoda itu kepada saya.

Langsung saja saya balas: entahlah….

Saling balas pesan kami terhenti disiang itu. Saya menganggap pesan yang dikirimnya itu hanya gurauan. Ya, sudah..

Walaupun gurauan pikiran saya berkecamuk. Apa betul untuk kursi kepala desa butuh duit satu miliar?

Ah,, nggaklah. Saya sendiri kan anak kepala desa. Dulu sekali. Tahun empat puluhan, lima puluhan hingga pertengahan enam puluhan. Selama dua puluh tahun.

Namanya kepala desa di kampung kami keuchik. Ayah saya keuchik milineal di eranya.

Tapi nggak semilineal keuchik sekarang. Yang pakai pangkat. Ada emblem di dada. Bahkan kalau acara resmi harus pakai uniform putih lengkap dengan topi pet berlambang garuda. Wuihh.. hebat.

Ayah saya ketika jadi keuchik hanya pakai sarung dan sandal jepit merk swalow. Kalau ke kantor camat  cukup pakai sepeda valuas.

Tapi ada hebat. Selain keuchik dia juga anggota dewan kabupaten. Anggota dewan hasil pemilu luber. Tahun seribu sembilan ratus lima puluh lima. Dari partai nahdlatul ulama. Ia juga ketua partai tingkat cabang.

Untuk itu ia menjadi anggota pantja tunggal, yang kalau sekarang bersalin nama jadi forkompimda. Muspida.

Karirnya terus lanjut ke asisten wedana yang akronimnya aswed. Kalau kini nama kerennya camat. Harus tamat sekolah tinggi.

Ayah saya dari keuchik hingga camat tak punya ijazah. Hanya tamat sekolah desa. Sekolah desa di zaman kolonial.

Saya tahu benar jabatan keuchiknya dipilih rakyat. Nggak butuh ampau. Malah dipaksa untuk terus lanjut. Nggak ada dana desa satu miliar. Membangun desa cukup dengan gotong royong. Istilah gampongnya meuripe

Ah ngecap… Maaf kalau saya terlanjur mbong.

Paling tidak itu gumam saya usai sang teman mengirim pesan itu.

Malamnya, menjelang tidur saya dikejutkan suara treng.. Saya lirik layar handphone. Ooo.. dari sang teman pengirim pesan siang tadi. Saya sentuh bulatan merahnya. Blass…. ada ketawa di ujung sana.

Ketawa ngenyet. Yang dilanjutkan dengan ocehan sepihak. Ocehan penjelasan tentang membeli kursi kepala desa. Yang berkecambah dan butuh duit gede hingga satu miliar rupiah.

“Dana satu em itu untuk membeli suara. Menyogok rakyat. Juga untuk serangan fajar,” katanya hakkulyakin ketika ia mendengar saya  mendengus.

Saya tak terperangah dengan penjelasannya. Hanya percaya sepersekian persem hakkulyakinnya. Itupun karena pernah mendengarnya. Di sebuah kabupaten. Yang diceritakan oleh adik saya. Seorang bupati.

Saya tak tahu apa yang menyebabkan gairah menjadi kepala desa itu begitu mengelora dan memuncaki birahi? Dana desa yang setiap tahun satu miliar? Atau banyak proyek pemerintah di desa?

Proyeknya bisa  pusat, provinsi atau kabupaten dan kota. Sebut saja misalnya perbaikan rumah kumuh dan penambahan gizi pada balita. Belum lagi bansos. Seperti temuan dana bansos yang ditimbun di Bogor kemarin.

Dan gairah itu juga yang menyebabkan seorang teman gampong saya kembali menjadi kepala desa. Padahal dulunya ia pernah menjadi kepdes tapi kapok karena banyak urusan ruwet.

Mungkin sekarang nggak akan kapok. Karena banyak proyek.

Entahlah juga.

Yang saya tahu tentang kepala desa sekarang, sesuai dengan undang-undang, dipilih secara langsung. Masa jabatannya lima tahun. Punya perangkat desa. Dari sekretaris hingga blaa..blaa..

Ada perangkat berstatus a-es-en dan honorer. Setiap tahun dapat dana satu miliar. Dana desa. Perangkat lain? Macam-macam. Bahkan ada musyawarah pembangunan desa. Musrangdes

Yang dalam musyawarah itu kepala desa harus bisa menjelaskan tentang rencana dan  manfaat proyek. Bagi rakyatnya. Apakah sebanding dengan anggaran yang disediakan.

Penjelasan ini dibutuhkan apakah proyek terjangkit virus. Sebab di negeri ini sudah puluhan tahun lalu proyek-proyekmya terjangkit virus.

Proyeknya  sering dipenuhi teka teki. Tak jelas berapa anggaran, tak penting proyek itu perlu atau tidak, tak jelas pula siapa yang mengerjakan.

Semuanya penuh ketidakjelasan. Penuh yang bahasa baratnya takok teki

Tentang takok teki ini saya pernah mendengar dari ponakan yang jadi perangkat sebuah desa di Aceh Utara.

Namanya sang ponakan Arkias. Dia sudah resign dari aparat desa. Nggak tahan dengan permainan proyek dan pengaturan keuangan yang acak-acakan. Takut terlibat korupsi. “Kan kepala desa banyak korupnya Om,”katanya tentang alasannya resign.

Selanjutnya Arkias cerita panjang tentang proyek di dekat rumahnya yang jika lewat jadi nggumun. Kok begini ya cara kerjanya. Proyek pelebaran jalan, saya mengistilahkan proyek pelebaran meteran.

Sudah mengerjakannya lama, pas musim penghujan, penanganan safetynya tidak diperhatikan, padahal dipinggir jalan utama kabupaten.

Selesai proyek kok tidak dilanjutkan ?. Jadinya lucu, tidak ada estetika desa untuk  jadi indah. Dari sempit  kemudian melebar, kemudian menyempit lagi oleh bangunan lama yang salah pembentukan parit.

Adalagi di jalan masuk perkampungan. Dibuat parit di kanan kiri jalan di depan perkampungan kanan kiri sepanjang satu kilometer. Pengerjaan lama, kurang terkonsep.

Habis digali untuk pasang beton, material lain belum siap. Masih nunggu pasir, semen, gorong -gorong. Apakah seperti ini rata – rata pengerjaan proyek di desa ?

Yang kata orang – orang ini proyek pemberian ke team sukses pencalonan bupati kemarin. Sang keuchik anggota tim sukses. Dan diberi proyek gampong.

Itu kata Arkias mundur jadi aparat desa.

Selain itu, kata Arkias, sekarang ini, meminta orang menjadi ketua er-te atau er-we bukan perkara mudah.

Kalau tidak ada duitnya, orang tidak mau, ya mungkin karena banyak kesibukan, misalnya main game sampai pagi hehehe.

Lantas saya berpikir  jangan-jangan cerita seperti Arkias ini terjadi secara masif. Di tingkat nasional. Jika iya, alangkah ruginya negara ini