close
Nuga News

Mainstream Vs “Single Image”

Dunia media sebulan yang lalu dikejutkan datangnya pesaing baru liputan berita. Liputan yang mengalahkan news feature, reportase bahkan mengecilkan arti straight news,

Lima hari, setelah ia tayang. saya gemas dan terusik  Bentuknya dalam video–tapi bukan video benaran. Penempatannya di media sosial. 

Saya menamakannya barang baru. Baru mengetahui. Setelah adanya sebuah peristiwa kecil yang besar sekali pemberitaannya. Yang hingga kini belum ada wujudnya.

Peristiwa duren sawit. Judul awalnya polisi tembak polisi. Kemudiannya bermutasi jadi polisi bunuh polisi. Kemudiannya lagi… Anda dengar, pikir dan tulis sendiri. Suka-suka.

Suka-suka juga membuat modus operandinya. Karang sendiri isiannya. Seperti yang dikarang para pengacara komunitas batak dan polisi. Serta diamini oleh komisi berlabel hak asasi manusia.

Pengawasnya banyak. Ada policy watch, el-pe-es-ka dan sejibun pengamat yang saya nggak tahu dari mana datangnya. Bergerbong-gerbong. Bikin sesak gerbong online, medsos dan menambah jumlah angka buzzer.

Anda dan saya nggak perlu sungkan untuk menyebut nama-nama aktor dikasus itu. Ada  Freddy Sambo. Jenderal polisi kelahiran Barru di Sulawesi Selatan, Yang kini berusia empat puluh sembilan tahun. Kepala divisi propam polri.

Ada juga sang istri, Putri Candrawathi, brigadir E  yang ajudan dan brigadir Y yang juga ajudan tapi rohnya sudah naik ke langit sementara  jasadnya di otak-atik untuk menemukan bukti kekerasan.

Secara keseluruhan, setelah satu bulan,  kasusnya masih di-otak atik dalam ilmu kologi. Menjadikannya otakatikologi. Masih bermain di tataran otak-kologi dan otot-kologi

Kalau Anda ingin mengomentari seperti mak-mak yang keracunan berita ini silakan saja. Duduk di depan televisi dan pegang handphone sembari meengulik google. Seperti dikerjakan istri saya yang lupa mengambil air usai suaminya tersedak.

Sebagai wartawan,  biar sudah gaek, saya membolak balik google search mencari nama dari bentuk liputan yang mengalahkan olahan berita media mainstream itu.

Kalau Anda sudah menemukannya, seperti saya,  single image, jangan memilah kata dua kata ini satu persatu. Kemudiannya  mencari padanannya dalam bahasa indonesia. Sebab akan bisa tersesat.

Kalau hanya single jelas: tunggal. Sedangkan image padanannya banyak sekali, Bisa enam belas kata. Mulai dari bayangan hingga gambaran atau pelukisan.

Untuk Anda tahu, single image ini sebelumnya memang sudah di kenal di dunia media lain. Perfilman. Bisa animasi atau rekonstruksi. Merupakan salah satu teknik rekonstruksi citra. Beresolusi.

Salah satu implementasi single image adalah rekonstruksi citra wajah. Citra wajah merupakan instrumen yang sering digunakan mengidentifikasi seseorang menggunakan sistem pengenalan wajah atau face recognition.

Namun pada beberapa kasus, tidak dalam kasus polisi tembak polisi  ini, citra wajah yang digunakan memiliki kualitas dan resolusi yang kurang baik sehingga sulit untuk dikenali.

Oleh karena itu dibutuhkan sistem rekonstruksi citra wajah yang diharapkan dapat memperbaiki kualitasnya sehingga didapatkan informasi lebih banyakt.

Dari ekperimennya, sistem yang dibangun terbukti mampu menghasilkan citra dengan kualitas yang baik

Semua ini saya dapatkan dari sebuah hasil penelusuran. Skripsi Septian Dwi Indradi, Universitas Telkom, bandung,  jurusan informatika.

Judulnya : single image super resolution pada citra wajah menggunakan metode generative adversarial network.

Dan single image inilah yang sempat menghebohkan jagad pemberitaan. Jagad bacaan penonton dan pembaca media sosial dalam kasus yang kini belum ada terdakwa. tertuduh. Bahkan belum ada saksi.

Bahkan, seorang Ilham Bintang, sang maestro media, yang membidani lahirnya liputan gosip “cek and ricek” di televisi  sempat terperangah dengan barang baru ini. Ia mengatakan single image bisa merugikan insan pers

Kepada seorang teman, yang kini masih aktif di media, dan jadi pengamat beken, saya sempat bertanya lewat hape.

Apa hubungannya?

Itu bukan karya jurnalistik. Bukan pula dibuat oleh lembaga pers resmi. Hanya youtuber yg tdk ada kaitannya dg pers. Justru ini menguntungkan pers. Jika mau.

Nah, kalau Ilham Bintang membaca tanggapannya pasti anak Makasar itu terpental intrepretasinya. Pasti ia akan tergelak. Seperti tergelaknya ia kala cek and ricek beranak pinak  dan bercucu-cicit di televisi dengan nama insert, tbl, kasak kusuk dan entah apa lainnya. Anda pasti tahu dari saya.

Untuk kasus single image itu sendiri, sejak awal, saya sudah memastikan ia hanya bualan medsos. Lambat laun akan  membuatnya punah.

Dan masyarakat akan bergerak pada akal sehat. Tidak percaya lagi pada isu-isu liar  yang berseliweran di medsos-setidaknya tidak gampang percaya lagi.

Kemudian masyarakat kembali ke media resmi. Itupun jika mereka sudah berbenah. Berbenah dari  judul-judul berita yg menjebak misalnya. Berbenah dari berita yang dipenggal-penggal.

Ini bukan wejangan. Sebelumnya saya sudah mengingatkannya kepada junior saya Nasir Nurdin yang kini sibuknya seabrek. Yang katanya ingin membenahi cara kerja dan cara tulis wartawan. Minimal di tempat kiprah barunya. Persatuan wartawan Indionesia.

Yang saya nggak tahu apa sudah berkibar. Jangan-jangan berkibarnya seremonial banyak anak cabang dan ranting.

Jangan berkibar macam  medsos  yang sudah penuh dengan bualan. Sedangkan lembaga pers resmi saja, kini,sudah penuh dengan jebakan. Tidak tau sudah. Masyarakat harus percaya kepada siapa.

Banyak media yang berjargon hebat dengan tokoh hebat dibelakangnya,, yang semula jadi harapan ternyata sama saja. Suka menjebak dan memenggal.

Banyak diantara mereka yang mengatakan itu “disclaimer.”  Aha.. itu nggak betul. Disclaimer itu bidangnya fiksi. Disertai kata apabila nantinya dijumpai ada ‘fakta’ yang bersesuaian.

Lantas apa bedanya dengan ‘khayalan’ penulis. Itu terjadi dari keteledoran kecil karena ketidaksengajaan belaka.

Di bidang non-fiksi, segala info disampaikan sesuai ‘pengetahuan terbaik penulis’, sehingga kalau ada ‘kesalahan yg tidak sesuai fakta maupun data lapangan.

Kesalahan penulis adalah tidak sengaja. Lha ‘Single Image’ ini beda. Ini sengaja.

Jadi, ‘disclaimer’ itu ndhak berlaku. Karena ada kesengajaan di ‘single image’ itu. Ini preseden yang sangat buruk. Harus ditindak tegas supaya tidak terulang.

Orang tidak bisa menyebar info seenaknya ke masyarakat dengan sekadar mencantumkan ‘disclaimer’

Lantas bagaimana dengan gambaran single image dalam medos yang tayang sebulan lalu?

Di tayangan itu ada suara yang sedang bercerita: tentang jenderal polisi bintang dua. Namanya bukan Ferdy Sambo, tapi satu kata: Fembo. Ia punya istri bukan bernama dokter gigi Putri Candrawathi, tapi namanya juga satu kata: Aswati.

Diceritakan –dengan suara penyiar televisi yang empuk– Fembo-Aswati sudah punya anak. Sudah jarang bersentuhan. Masing-masing punya kesibukan sendiri.

Sang suami sering pergi. Ditemani polisi wanita yang masih sangat muda. Juga cantik. Ada namanya di situ.

Ketika sang istri lagi pergi, di perjalanan, dia ingat wanita itu. Geram. Cemburu. Panas. Dia curhat ke sopir. Sampai  menangis. Panjang. Nelangsa. Menderita. Sampai menaruh wajahnyi di pundak sang sopir.

Diceritakan, sang sopir kikuk. Dan seterusnya. Seterusnya. Seterusnya. Sampai suatu hari sopir itu disergap di dalam kamar sang istri. Oleh sang suami. Diseret keluar. Dihajar. Babak belur. Habis. Lalu ditembaki. Lalu diatur skenario penyelamatan.

Di akhir single image itu ada disclaimer: “Ini hanya cerita fiksi. Kalau ada kemiripan nama dengan kejadian di dunia nyata itu hanya kebetulan”.

Saya merenung agak panjang selesai menonton itu. Bagaimana bisa seseorang mengunggah single image seperti itu. Ini dunia baru media. Sepanjang karir jurnalistik saya tidak mengenal sama sekali jargon itu.

Nama pengunggahnya  Anda cari sendiri. Ada di youtube. Nama aslinya jangan dicari. Ndak akan ketemu. Apalagi kalau mencari orangnya. Bak malaikat atau jin saja. Tinggal Anda membayangkannya

Gambar yang disajikannya logo gedung abstrak beratap merah. Tambahan lain ada gambar bendera berkibar di atas atap itu. Lalu ada tulisan police di bagian bawah gambar gedung.

Kalau Anda seorang wartawan benaran jangan bersaing dengan media model ini. Single image. Wartawan tidak bisa dapat keterangan yang paling sepele sekalipun. Hingga kini. Yang hanya remah temahnya. Yang jatuh berceceran.

Lantas, apakah itu karya fiksi? Yang miripnya ampun.. Kalau ia bukan fiksi hadiah jurnalistik menunggunya Berarti pembuat single image itu mendapat informasi dari sumber terdekat dengan peristiwa itu. Mungkin ia adalam pemain. Orang dalam.

Namun begitu, si pengunggah menegaskan itu fiksi.

Judulnya memang mengguncang. “Tamatnya karir sang jenderal polisi.

Bisakah karya seperti itu dituntut? Tentu. Karya apa pun bisa dituntut. Tapi siapa yang akan menuntut?

Tentu pihak yang merasa dirugikan. Siapa yang dirugikan?

Mungkin yang dirugikan pers. Kalau masyarakat?

Terserah

Kalau pers sudah telanjur sering dianggap bohong selama ini. Seperti selama ini. Saya percaya ndak akan ada tuntutan terhadap model media ini. Kalau saya langsung aja. Yang dirugikan adalah keluarga jenderal itu.

Jadi jangan Anda tuding itu disclaimer sebagai fiksi  Sebab, fiksi atau bukan masih harus kita tunggu perkembangan penanganan kasus tembak menembak polisi, di rumah polisi, di dunia nyata

Yang hingga hari ini jalan ceritanya belum jelas. Padahal Mahfud MD yang menkopolhukam itu sudah menyampaikan pesan Jokowi. Buka saja. Biar terang. jangan abu-abu atau gelap. Atau pun digelapkan.

Entahlah. Ternyata media model seperti itu disebut single image. Yakni gabungan antara suara, teks, dan gambar.  Padahal orang film mengatakan yang seperti itu bikinnya mudah sekali.

Mudah mengatakannya. Tapi ndak mudah membuktikannya. Hingga berlalu satu bulan.