close
Nuga Life

“Kenapa Ya! Setelah Menikah Saya Sering Bertengkar”

Kenapa ya, setelah menikah saya dan istri sering bertengkar. Saya sering merenung sembari membuat evaluasi. Terkadang soal yang tidak prinsip kami uring-uringan dan tidak saling tegur sapa selama berhari-hari.

Anehnya, ada hal yang prinsip malah dalam sekejap kami bisa menyelsaikannya. Saya jadi merasa aneh ketika sedang bertengkat langsung menyadari adanya kesalahan dari kami berdua. Dan anehnya lagi, kesadaran itu tidak menghentikan adu mulut yang kadang diakhiri dengan banting pintu segala.

Situs “prevention” yang mengkhususkan tulisannya pada masalah kejiwaan pasangan hidup tak mengabaikan faktor egoisme yang menyebabkan sulitnya melerai pertengkaran antara pasangan.
Istilahnya, “nggak mau kalah.”

Menurut “prevention,” pPasangan suami istri yang seringkali berselisih atau bertengkar, tidak selamanya memiliki masalah yang kompleks dan mustahil kembali akur.

Karena menurut ilmu psikologi, pernikahan yang tak pernah terbentur konflik, justru yang dicurigai memendam masalah yang serius.

Jika Anda dan pasangan lebih sering bertengkar setelah resmi menikah, dibandingkan pasangan lainnya, tak perlu langsung mencari referensi psikolog. Demikian menurut studi University of Michigan. Sebab, rasa kesal, tersinggung, atau marah terhadap pasangan justru menandakan hubungan Anda berdua sehat dan erat.

“Artinya, Anda masih nyaman mengungkapkan perasaan terhadap pasangan. Bukankah hubungan yang sangat dekat juga terkadang bisa menyakitkan?” kata Kira Birdit, PhD, kepala penelitian ini.

Bahkan ketika pasangan mulai bicara dengan nada tinggi atau berteriak terhadap kita itu bukan berarti dia tak lagi cinta. Namun karena itulah caranya untuk menyatakan adanya masalah.

Menurut Kira, banyak perempuan dan lelaki yang berpikir bahwa pernikahan merupakan akhir bahagia. Pola pikir yang demikian yang menyebabkan banyak pasutri yang merasa kecewa, ketika mengalami pertentangan dengan pasangannya. Sebab sesungguhnya, pernikahan merupakan awal mula kehidupan yang sebenarnya.

Menurut penelitian terbaru yang dilakukan oleh University of Texas, termyata perempuan lebih sering menyalahkan pasangan mereka atas pertengkaran dan kegagalan hubungan yang terjadi.

Penelitian ini dilakukan melalui survei terhadap tujuh puluh satu pasangan muda yang menikah di Texas, Amerika. Semua responden yang ikut dalam penelitian ini sudah menjalin hubungan percintaan selama tiga tahun.

Para responden diminta untuk berkomunikasi dengan pasangannya yang berada di ruang terpisah, melalui chatting. Mereka diharuskan berkomunikasi tentang konflik-konflik yang mereka hadapi. Topik konflik yang dibahas adalah frekuensi waktu yang dihabiskan bersama-sama, uang yang dihabiskan, hubungan kencan terakhir, konsumsi alkohol, juga teman-teman dan kerabat yang tak setuju dengan hubungan mereka.

Para peneliti memberi waktu sepuluh menit untuk para pasangan membahas topik ini dan mendapatkan solusinya. Kemudian, mereka diharuskan untuk mengutarakan isi hati mereka kepada peneliti. Sebelum penelitian, mereka juga diharuskan untuk mengisi kuesioner tentang kepuasan hubungan mereka.

Dari situ terlihat bahwa perempuan adalah sosok orang yang kerap melemparkan kesalahan kepada pasangan ketika menghadapi konflik. Dan masalah terbesarnya adalah tentang uang dan hubungan masa lalu pasangannya.

“Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan saat adu argumen,” ungkap pemimpin penelitian sekaligus profesor komunikasi di University of Texas, Dr Anita Vangesti.

Perilaku dan sikap menyalahkan pasangan seperti ini bisa menjadi indikasi apakah seorang perempuan merasa cukup bahagia dengan hubungannya atau tidak. Dia menambahkan bahwa pikiran, dan ketidakpuasan hubungan akan memengaruhi perilaku seseorang.

Manusia sering menyuarakan pikiran mereka terhadap pasangan melalui pesan non verbal, padahal berspekulasi seperti ini dapat memengaruhi kepuasan hubungan.

Dr Vangesti mengungkapkan bahwa ketika seseorang merasa tidak bahagia dengan hubungannya, mereka akan bereaksi dengan berbagai cara. Misalnya, membahas topik konflik ini, marah, dan sering mengubah pembicaraan, atau malah menghindari konflik.

Ketika salah satu pasangan melakukan kesalahan, dan pasangan lainnya mulai mengungkitnya berulang-ulang, kedua belah pihak berpotensi untuk tidak bahagia dalam hubungannya.

Ketika berada dalam hubungan yang tidak memuaskan, mereka cenderung berpikir siapa yang lebih kuat dalam hubungan tersebut. Akibatnya mereka sering mengeluh dan “berebut kekuasaan tertinggi” dalam hubungan.

Sebaliknya, orang yang bahagia dengan pasangannya tidak akan menghindari konflik. “Di antara pasangan bahagia, ketika salah satu pasangan melakukan kesalahan, marah, atau tidak setuju dengan yang dilakukan pasangannya, maka pasangan yang lain akan berpikir bagaimana memahami pasangannya dan mencari cara untuk menyelesaikan konflik tersebut,” tambahnya.