Kopi?
Ya, sekali lagi tentang kopi
Dan kali ini tentang kopi hitam
Namun hati-hati, studi mengungkapkan bahwa penggemar kopi hitam bisa jadi merupakan seorang psikopat.
Sebuah studi dari University of Innsbruck di Austria menemukan bahwa ada korelasi antara pilihan kopi hitam dan rasa pahit lainnya dengan kepribadian sadis atau psikopat.
Studi yang ditayangkan dalam Journal Appetite melakukan survei pada seribu orang dewasa tentang rasa favorit mereka.
Mereka juga melakukab penelitian empat tes kepribadian yaitu narsis, psikopat, sadis, dan agresif.
Mengutip Reader’s Digest, penelitian juga membuktikan bahwa orang yang lebih suka menikmati kopi manis dan creamy, serta rasa manis lain, biasanya punya kepribadian yang mengarah pada simpati, mudah bekerjasama, dan baik hati.
Korelasi lain yang ditemukan adalah orang yang suka makanan pahit dianggap sangat menikmati kesadisan atau ‘senang’ melihat rasa sakit orang lain.
Hanya saja, peneliti belum yakin dengan apa yang mendasari kolerasi antara rasa pahit dan kepribadian psikopat tersebut. Namun seorang profesor psikologi di Roosevelt University, Steven Meyers, memeriksa keakuratan korelasi tersebut.
Meyers menemukan bahwa penelitian ini hanya menemukan asosiasi yang sangat kecil antara rasa pahit dengan kepribadian psikopat.
“Temuan harus ditafsirkan dengan hati-hati,” katanya.
“Butuh penelitian lebih lanjut dan replikasi orang lain sebelum mendapat perhatian dari banyak orang.”
Tak dimungkiri bahwa preferensi rasa seseorang juga dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman pribadi, tak semuanya tergantung pada kepribadian orang. Selain itu, preferensi rasa juga akan berubah seiring waktu.
Selain itu banyak studi menyebut bahwa minum kopi memiliki aneka manfaat kesehatan.
Meski pandangan itu banyak ditentang dari mereka yang anti dengan kopi, tapi nyatanya jenis kopi tertentu memang memberikan efek positif, salah satunya melindungi otak dari penurunan kemampuan kognitif dan meningkatkan daya pikir.
Bagaimana bisa demikian?
Pertanyaan sederhana itu menjadi modal sebuah studi dari Krembil Brain Institute. Salah seorang peneliti, Donald Weaver mencatat konsumsi kopi berhubungan dengan penurunan risiko perkembangan penyakit alzheimer dan parkinson.
“Kami ingin menginvestigasi mengapa ini bisa muncul, komponen mana yang terlibat dan bagaimana mereka memberikan dampak pada penyakit kognitif yang berkaitan dengan usia,” kata Weaver, mengutip Medical News Today.
Namun, bukan kafein yang berperan dalam meningkatkan kemampuan kognitif otak. Mengutip jurnal Frontiers in Neuroscience, kemampuan itu berkaitan dengan komponen yang terlepas saat proses pemanggangan biji kopi mentah.
Peneliti menemukan komponen bernama phenylindanes yang berperan untuk melindungi otak. Komponen ini terbentuk saat kopi masuk ke dalam tahap pemanggangan atau roasting dan memberikan rasa pahit kopi.
Komponen ini mampu menghambat penggabungan protein tau, yang sangat banyak di neuron dalam sistem saraf pusat, dan beta-amyloid.
Baik protein tau dan beta-amyloid diketahui memiliki sifat racun. Jika terbentuk secara berlebih pada otak, maka kondisi penurunan fungsi saraf bakal terjadi.
Ujung-ujungnya mendorong datangnya penyakit alzheimer dan parkinson.
Kopi dengan proses pemanggangan sempurna atau dark roast mampu memunculkan komponen yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya pikir. Hal ini disebabkan oleh proses pemanggangan yang berjalan cukup lama.
Peneliti mengamati efek dari tiga tipe kopi berbeda: kopi berkafein dengan tingkat pemanggangan gelap, kopi berkafein dengan tingkat pemanggangan ringan, dan kopi tanpa kafein dengan pemanggangan gelap.
Hasilnya, baik kopi berkafein atau tanpa kafein, keduanya memiliki potensi melindungi. Peneliti menyimpulkan bukan kafein yang berperan dalam fungsi ini, tapi komponen yang bernama phenylindanes.
Riset tak akan berhenti di sini. Para peneliti berencana akan melakukan riset lanjutan untuk memperoleh informasi detail dari manfaat phenylindanes.
“Langkah berikutnya kami akan menginvestigasi bagaimana manfaat komponen ini dan jika mereka punya kemampuan untuk masuk ke pembuluh darah atau menembus sekat aliran darah pada otak,” imbuh peneliti lainnya, Ross S Mancini