close
Nugatama

Ternyata, Aceh Masih “Miskin” Semuanya

Tingkat optimistis warga Aceh terhadap kondisi ekonominya selama beberapa tahun terakhir amat menyedihkan karena menduduki peringkat tiga paling bawah di Indonesia.

Tingkat optimisme Aceh ini terendah ke tiga di Indonesia setelah Nusa Tengggara Timur dan Papua.

Melemahnya tingkat optimisme masyarakat Aceh terhadap ekonominya didorong oleh menurunnya pendapatan rumah tangga.

Tingkat konsumsi rumah tangga terhadap komoditas bahan makanan, makanan jadi dan belum jadi juga menurun, akibat pengaruh inflasi.

Diperkirakan tingkat optimisme masyarakat akan terus naik, terlebih daya serap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh yang meningkat dan sangat mempengaruhi perekonomian Aceh secara keseluruhan.

Melimpahnya uang dimiliki Aceh setelah berstatus otonomi khusus, seperti yang amati oleh para ekonom, memang berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyatnya. Aceh kini masih masuk dalam sepuluh besar provinsi termiskin di Indonesia.

Memang Ironis Aceh masih miskin dengan peringkat tujuh pula.

Kesenjangan ekonomi antara Aceh dan nasional belum lagi mendekat.

Berdasarkan desentralisasi dan otonomi khusus, Aceh menerima lebih dari seratus triliun anggaran sejak 2010 sampai 2015

Namun anggaran yang banyak itu belum mampu menyejahterakan rakyat, setidaknya terlihat dalam lima tahun belakang. Angka kemiskinan Aceh saat ini masih tinggi.

Penyebab masih belum beranjak Aceh dari kutub kemiskinan adalah karena alokasi belanja publik di Aceh belum sesuai dengan kebutuhan dan target-target pembangunan. Karena itu, peningkatan kualitas program dan kegiatan harus diperbaiki.

Diperlukan sumber daya khusus dalam melakukan analisis keuangan daerah secara konsisten dan reguler dalam proses penganggaran. Minimnya pertumbuhan sektor swasta juga salah satu Aceh tertinggal.

Penerimaan Aceh saat ini masih sangat tergantung dari transfer dana pusat, terutama dari dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus. Sementara dana otonomi khusus dan dana bagi hasil minyak dan gas alam yang mencapai lebih dari 80 persen dari pendapatan.

Mengejar ketertinggalan pembangunan daerah bukanlah tugas yang mudah.

Dibutuhkan perencanaan pembangunan yang tepat berdasarkan analisis dan kajian merupakan salah satu kunci utama dalam meningkatkan kualitas penganggaran.

Kegiatan pelatihan analisa belanja publik ini diharapkan mampu menghasilkan analis-analis belanja publik yang dapat melakukan kajian terhadap belanja publik Aceh di masa mendatang.

Otsus Aceh, sebenarnya, telah menemukan titik ideal dalam UUPA 11 tahun 2006 setelah sebelumnya sempat berusaha menemukan pola sejak awal

Pada pelaksanaan UU sebelumnya, Otsus Aceh tak berjalan dengan baik karena konflik bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas.

Hal ini terasa sangat berbeda dengan pelaksanaan UUPA yang disepakati semua pihak

Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh adalah tertransformasinya kekuatan GAM dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI.

Seluruh elemen sepakat bahwa UUPA adalah titik pijak untuk menciptakan Aceh yang sejahtera. Tak ada lagi yang menginginkan kondisi sebelum UUPA.

Pertarungan politik yang terjadi di Aceh antarfaksi yang semula bersatu di bawah GAM adalah sebuah fenomena wajar seperti juga terjadi di provinsi lain.

Kisah sukses Pilkada Gubernur Aceh menunjukkan bahwa terjadi proses yang baik dari masyarakat konflik ke masyarakat demokratis. Pertarungan tidak lagi dilakukan di gunung dengan senjata di bahu, tetapi melalui bilik suara.

Dari sisi kewenangan, pemerintah pusat lalai memberikan PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain.

PP yang seharusnya diterbitkan tahun 2008 sampai sekarang belum ada drafnya.

Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat Otsus yang dijanjikan mirip dengan analogi kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terggangulah upaya percepatan kesejahteraan.

Dari sisi kelembagan, pembentukan yang menfasiliasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam secara cukup signifikan permasalahan di tingkat rakyat.

Lembaga adat mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal telah mampu menjadi penasehat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.

Dana Otsus yang telah diberikan ke Aceh dalam empat tahun terakhir dalam beberapa hal telah digunakan untuk peningkatan kesejahteraan.

Setiap tahun, Pemerintah Aceh menganggarkan untuk menjamin seluruh penduduk Aceh yang memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema asuransi.

Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini dasarkan pada pola residu dan bukan universal.

Dana otsus juga telah membantu ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh untuk mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri.

Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh dibarengi dengan lemahnya kapasitas “memerintah” Pemerintah Aceh.

Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tidak dipakai per tahun. Akibat buruknya relasi hubungan provinsi-kabupaten/kota dalam pengelolaan dana otsus.

Ditengah kekurangan itu, secara umum, otsus Aceh yang didesain mengarah kepada penciptaan kesejahteraan, dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan dalam mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, ternyata butuh waktu lama untuk bersaing dengan provinsi lain di Indonesia.