close
Tak Berkategori

Rindu Kuala Bungkok-Ranto Kepala Gajah

Saya ingin ke Kuala Bungkok lagi. Hasyratnya begitu besar. Setelah lama terpendam.

Terpendam oleh hadirnya jalan baru di kawasan gunung trans yang menyebabkan kuala bungkok heng..

Kuala bungkok yang jalan tunggal untuk lintas meulaboh-tapaktuan. Dulunya….

Ya, biasalah. Kalau dapat istri baru istri lama ditinggalkan eehh…maunya kan jangan ditinggalkan

Entah lah…

Hari itu saya kangen untuk mengenang jalan rawa tripa itu  Yang saya sendiri nggak tahu siapa meng-akhikah-kannya nama itu hingga disapa kuala bungkok.

Ke kuala bungkok tentu sekalian ke ranto kepala gajah. Sekali tepuk dua kenangan. Kuala bungkok dan ranto kepala gajah dua nama unik.

Sering jadi plesetan. Plesetan miring mengejek intellectual quotient puak kami yang “bungkok.” Kecerdasan intelektual rendah. Di era itu.

Terserahlah…

Bagi saya kuala bungkok merupakan sejarah.

Sejarah dua nama kawasan yang tak pernah singgah di kepala anak-anak sekarang, Menjadi kelat kalau singgah di lidahnya. Tersengal jika mengulang namanya.

Di hari itu, usai “wo gampong”  saya membulatkan tekad untuk melewati kuala bungkok dan ranto kepala gajah. Melupakan istri baru… eee.. jalan baru gunung trans.

Kuala bungkok yang menjadi kisah legenda antara pahitnya derita dan manisnya, ampun…. untuk menjadi kenangan bagi kami “anak” usia manula.

Kuala bungkok yang tadi pagi saya minta testimoninya pada dua sahabat di kota berbeda. Basri Emka di Banda Aceh dan Arminsyah di Medan. Sahabat yang seperti saya ada di usia kepala tujuh.

Di usia manulanya Basri yang masih menyimpan nama dua kawasan itu di memorinya. Masih lengket bagaikan lem mati. Bukan macam lakban yang terkelupas oleh hujan dan panas.

Ketika saya antarkan ke Basri duan ama itu  ia langsung menyambar,”jangan lupa tuliskan saya pernah melewatinya dengan sepeda dari Tapaktuan ke Kutaradja.”

Saya tahu itu. Tahu ia pernah bergowes ria bersama tujuh teman dengan sepeda merk “valuas” jenis lelaki yang ada batang penghubung antara stang dan sadel-nya.

Bukan bergowes stylish ala sekarang untuk selfi dan berhura-hura mencari kuliner di week end. Yang harga sepeda plus asesorinya bisa puluhan hingga ratusan juta.

Basri, yang mantan pejabat di kabupaten dan provinsi, pernah jadi pj bupati di aceh jaya, bergowes ke Kutaradja untuk melanjutkan kuliah usai menamatkan es-em-a di tahun enam puluh delapan.

Gowes selama lima hari empat malam yang kepastian sampainya lebih terjamin dari pada jadi penumpang mobil kope. Mobil kope yang bisa terbenam di lumpur kuala bungkok sehari semalam.

Mobil kope pe-em-a-be-es atau asco yang kemudian diramaikan oleh pe-em-toh, ka-em-be dan a-el-es yang bisa enam hari hari enam malam dari Kutaradja ke Tapaktuan.

Itupun kalau rakit penyeberangan tak mengambil cuti karena banjir dan air deras.

Itupun juga kalau kuala bungkok nggak dibenamkan luapan krueng tripa hingga dua meter. Subhanallah derita anak-anak “ketelatan.”

Derita keindahan dihari-hari manula ketika lebih dari tiga perempat para sahabat telah berjirat.

Keindahan yang ketika saya datang di tengah hari dari arah Alue Bilie – Lamie -dan berbelok kekiri  dan ke kanan lagi untuk menemui jalan lurus masih berbinar

Berbinar sepanjang tujuh puluh lima kilometer hingga ke lapangan terbang cut nyak dhien.

Yang hari itu hanya menghabiskan waktu dua jam lima belas menit. Yang dulu ketika saya menjalaninya di era gajah penarik beban bisa dua hari.

Itu pun kalau nggak terperosok ke kubangan lumpur.

Sejak start, ketika saya mengambil alih kemudi dari keponakan, di Alue Bilie, kilometer dua ratus tujuh puluh sembilan  dari arah banda aceh, saya siap lahir batin.

Siap untuk terjebak dan dijebak jalan. Bahkan siap untuk masuk jebakan kenangan derita kala tidur di pojok jambo berkain sarung untuk mendamaikan gigitan nyamuk sebesar kelingking,

Di Alue Bilie saya membenahi diri dengan kata siap… sebelum melanjutkan perintah gerak…  Siap pula untuk  ngopi sembari mendehamkan  pertumbuhan luar biasa “kota” afdeling itu.

Saya sengaja memberi label untuk Alue Bilie sebagai kota karena fasilitasnyadi hari itu sudah lengkap. Ada jalan dua arah menuju Lamie ketika saya mengarahkan mobil ke kuala bungkok.

Padahal dulunya dari Alue Bilie ke Lamie hanya jalan tanah becek sebelum mobil diseberangkan dengan rakit.

Ada juga jejeran toko permanen bertingkat. Saling melapis. Memanjang. Dengan potret kemakmuran dari gampong-gampong yang mengepungnya.

Gampong yang dihuni rumah semi permanen dan permanen. Tidak lagi rumah doyong berdinding papan. Khas rumah buruh sawit socfin asal jawa di era pe-em-a-be-es,

Saya tersenyum melihat Alue Bilie yang lebih elok penataan kotanya di banding negeri “asai lhok” saya Tapaktuan. Kota di sejumput tanah  telapak kaki bukit.

Hari itu saya percaya Alue Bilie pantas menjadi kota kecamatan darul makmur, nagan raya. Kota yang dibesarkan oleh kebun sawit afdeling socfin. Afdeling Seumayam.

Afdeling yang memberi ruang bagi perubahaan mindset karena heteroginitasnya. Bauran kultur dan perilaku. Yang terbentuk dari pengalaman dalam menentukan masa depannya.

Mindset afdeling ini, dulunya, sering kami bahas sebagai upaya mengenyahkan kemiskinan Aceh. Kemiskinan struktural dari ego eleganitas yang terlalu tinggi.

Ego ketika semua syedara ingin menjadi “ulee balang.” Ingin jadi panglima. Padahal ulee balang itu ada aturannya. Dan tidak semua trah bisa jadi ulee balang.

Kami pernah membuat tesis yang didukung oleh argumen-argumen dari studi sistematis atas masalah kemiskinan ini. Mengumpulkan data sekaligus  menganalisis untuk sebuah kesimpulan.

Kok mereka yang hidup di kantong-kantong afdeling ini bisa berkembang.

Lupakan afdeling. Saya tak ingin membahasnya berpanjang-panjang. Jualannya juga tak pernah laku.

Lebih baik kembali ke kuala bungkok sekalian ranto kepala gajah.

Kembali untuk menandai gampong yang sudah bersalin rupa.

Menandai pondok jambo persinggahan ketika melahap nasi yang ditanak dengan periuk besi gosong tambah menu lele panggang yang dipungut dari parit jalanan berkecap asin sambal terasi.

Menandai juga gampong nestapa yang rumah penduduknya berlantai tanah, berdinding papan serta atap daun rumbia. Yang saya tak tahu lagi dimana letak petanya.

Kualo bungkok rawa tripa hari itu tidak senestapa dulu lagi. Tapi tidak juga semarak seperti Alue Bilie. Masih ada gurat kemiskinan dari selangkang kebun sawit ketika “aneuk aso lhok” belum jadi tuan.

Kebun sawit, yang ketika saya singgah di sebuah keude kupi tak berplang nama, dikatakan seorang tua bukan miik gampong.

Kebun sawit milik orang di nagan sana yang mencaplok tanah tripa dengan rupiah yang tak jelas asalnya.

Kebun sawit yang hari itu tandannya sedang di punggah ke pickup colt untuk diantar ke pabrik pe-ka-es. Harga sawit yang menyebabkan pemiliknya kaya dan buruh pemetik hanya menerima duit receh.

Di kuala bungkok menjelang asar itu, saya menikmati perjalanan dalam versi lain. Versi terbaru ketika tak ada lagi jalan bermandi lumpur yang bisa ditanam padi.

Juga tak ada lagi kubangan seluas tempat gajah berendam yang menjungkalkan mobil kope pe-em-toh yang dikeluarkan lewat kabel mesin katrol yang dililitkan ke batang kelapa.

Sepanjang perjalanan hanya sawit dan sawit. Sawit juga yang mengubah ranto kepala gajah dari hutan kelam menjadi benderang setelah tegakan kayu dipunahkan oleh keserakahan.

Saya tak tahu apakah perjalanan ini mengasikkan

Entah lah…ketika pantai rawa serta hutan perawannya tinggal mimpi dan tidak menyisakan sensasi

Di tengah perjalanan lurus rawa tripa itu saya ingin mengalihkan ke jalur alternatif untuk kembali ke “inong baro.” Jalan gunung trans. Lamie-tripa-langkak.

Tapi, jika melalui jalur ini, seperti saya tanyakan ke Wan Dek, seorang buruh pemetik sawit, waktu tempuhnya lebih lama dengan medan jalan sempit, berlubang dan sepi

Saya berdamai dengan hati. Tetap menempuh jalan ini hingga ke simpang kuala dengan tanya yang menyisa tentang musnahnya kawasan hutan lindung rawa tripa yang bak benang kusut.

Hutan rawa tripa kutub pemanfaatannya  berseberangan antara kelompok integrasi dengan antagonisme aktivis lingkungan

Begitu juga dengan lipatan sejarah hutan ranto pala gajah. Rantau kepala gajah. Kawasan yang saya tahu sebagai  hutan tropis seluas enam ribu hektar sebagai pembatas nanggroe

Kawasan itu dulunya adalah lintasan gajah menuju sungai untuk minum air. Perjalanan sepanjang ranto pala gajah dulunya sepi… dan sepi.. Lengang tanpa ada kehidupan manusia.

Bisa menakutkan. Karena ranto. Yang dalam teks aceh jalan panjang hampa penghuni.

Saya tahu kenapa ia dinamakan … kepala gajah. Sahibul hikayat dulunya ditemukan sepenggal kepala gajah di tengah jalan hutan

Kepala gajah itu sengaja ditinggal oleh harimau yang memangsanya. Setelah badannya habis dimakan, harimau itu menyisakan dan meletakkan kepala gajah di tengah jalan.

Masyarakat heboh hingga kemudian memberi nama kawasan hutan lindung itu menjadi Rantau Kepala Gajah

Entah betul atau salah semuanya  kini tinggal kenangan.

Barangkali karena kepala gajah itu diletakkan jauh dari dalam hutan makanya warga memberi kata ‘rantau’ atau merantau.

Sejak dahulu, kawasan hutan ini memang dipercayai warga wajib dilindungi. Saat itu, banyak satwa liar seperti gajah, harimau, beruang, macan dan lain-lain hidup di dalam hutannya

Namun begitu, kelestarian hewan-hewan itu mulai punah sejak dipenghujung abad lalu setelah pembabatan hutan secara gila-gilaan dan dijual  Eksploitasi kayu-kayunya untuk dikomersilkan.