BLANG Lancang direnyai gerimis, awal pekan pertama Februari.
Rengek hujan yang berlangsung sejak petang tadi, ketika kami bertandang ke sebuah kedai kopi lusuh di malam yang dingin itu, berisyarat tentang telah usainya sebuah “fiesta” panjang berdurasi dolar.
“Fiesta” yang telah terbang ke langit mimpi ketika angin lembut mengibaskan derai rintik hujan ke meja kami.
Malam itu tak ada lagi auman gemuruh yang bersahutan dari “train” pengolah gas alam yang menjadi “trade mark” negeri setengah “Texas” di tengah komunitas perkampungan “indatu” itu.
Tak ada pula benderang api dari cerobong enam kilang yang membuat benderang bekas tanah “neheun” yang dibayar ganti ruginya, saat itu, dengan harga selangit.
Blang Lancang, seperti yang kami lalui malam itu, sedang menjalani ritual di senja kehidupannya, di usia tigapuluh delapan tahun.
Kilang uzur itu, dimasa kejayaannya, lebih tiga dekade lalu, memang pernah mencatatkan prestasi gemilang.
Prestasi dari enam “train”nya mengaumkan produksinya dengan mengapalkan sebanyak 224 gas alam cair ke Kobe dan Osaka di Jepang serta ke Busan di Korea Selatan.
Blang Lancang, kini, adalah sebuah pabrik gas masa lalu..
Kala kami singgah di sana, di sebuah malam temaram, langit Batu Phat tidak lagi di basuh cahaya benderang. Ketika kami menengadah ke langit timurnya, perasaan getir menyengat diselangkang memori kami.
Perasaan getir yang datang menggelitik kepiluan hati kami menyaksikan cahaya lidah apinya yang meliuk lunglai dan sesekali berkelebat, raib, dipeluk angin timur.
Lidah api yang menari sendirian tanpa ditemani lagi lima cerobong asap tetangganya. yang sudah lama mampus. Sisa lidah api yang hanya bersungut ketika mengibaskan jilatan cahaya “peusijuek”nya ke langit kelam.
Malam itu pula, dari sebuah kedai kopi di pasar Batu Phat, kami tak melihat lagi gairah Blang Lancang dengan kesibukan pekerja “shift” dua dan tiganya berjalan dipelukan malam dan melarikan truk serta pikap berlabel PTA ke arah Rancung.
Juga telah raib pula cahaya benderang yang selama puluhan tahun membasuh langit Paloh Lada, Batu Phat maupun Blang Lancang sendiri. Semuanya telah tamat. Telah usai.
Dan ketika seruputan kopi terakhir kami terasa pahit, seorang kawan mendadak berceloteh dengan bibir bergetar menahan gumam.“Sudah usai lima pemakaman di Blang Lancang tanpa melantunkan doa samadiah berjamaah ……..”
Kawan itu, Rusdi, anak Paloh Lada. Dulubya pernah menjadi “orang penting” dan mendapat jatah sebagai “stringer” mengurus community development di sana.
Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kerongkongannya tercekat ketika bianglala kenangan Blang Lancang singgah dalam ingatannya. Blang Lancang tahun delapanpuluhan.
Blang Lancang yang dihuni oleh enam unit kilang pengolah gas dan mecuat bagaikan “enklaf” di sebuah negeri siluman
Negeri antah berantah, bertabur cahaya dan tak pernah digenggam sebagai milik anak “nanggroe” sebagai bagian tanah “ware’eh” pusaka indatunya.
“Dulu kami hidup bagaikan di Texas. Semburan cahaya benderang sepanjang tahun dan kesibukan pekerja pabrik hilir mudik dengan mobil bertulis PTA sebagai simbol status sosial para pekerja.”
“Dan kami sendiri tidak pernah sebagai tuan di sini”
Rusdi pantas mengenang masa keemasan pabrik gas alam cair bernama PT Arun NGL itu dengan dada sesak. Ketika pabrik gas yang usianya tersisa dua tahun lagi.
Pabrik gas yang sering diocehkan entah milik siapa di tanah milik kakek moyangnya dan limpahan dollarnya berserak tanpa pernah memberikan kesejahteraan anak Blang Lancang atau Batu Phat
Mereka terusir ke pucuk Mbang sebagai kasta “paria” atas nama relokasi.
Kasta “paria” yang di “rodi” siklus kehidupannya dari nelayan dan petambak “neuheun” menjadi petani sayur dengan penyuluh yang didatangkan dari negeri “bule” untuk kemudian bubar tanpa “happy ending.”
Dan anak-anak Blang Lancang, Rancung maupun Batu Phat, kini, usai “fiesta” gas alam itu setelah perut buminya kempis, melata menjadi penganggur, dan bagian lainnya terlunta-lunta mengikis lumut “rasueki” di seputar tanah bertuah milik “ayah-moyangnya.”
Tanah bertuah yang ketika “pipa line”nya menyisakan tetesan terakhir mendapat jatah pengembalian bagi hasil sebesar 70 persen.
“Apalah arti pembagian tujuh puluh persen distribusi pendapatan setelah jumlah pengapalannya 22 kali setahun. Bukan 224 pengapalan. Inilah zaman, ketika tipu Aceh tidak lagi menjadi milik anak negeri,” ujar seoeang pengamat di Banda Aceh.
Tipu menipu yang memanipulasi angka “cost recovery” yang arus kasnya pembiayaannya, “operational cost” berada diselangkah celana bule Amerika.
Itulah penggalan kisah anak Blang Lancang dan Rancung maupun Batu Phat yang awalnya mendapat ganti rugi pembebasan tanah dengan ikatan duit berlimpah menyembul di kantong dan membeli “Honda CB” sampai ke Medan.
Anak Blang Lancang yang kemudiananya, setelah hamburan duitnya berceceran membeli kemiskinan, kembali menjadi “buruh” dengan panggilan keren “bang bechtel”
Di hari kami bertandang masih terbata-bata menceritakan ceceran kisah “sukses” duit ganti rugi yang dibelanjakan kakek dan ayahnya untuk membasuh daki kemiskinan.
Sabun daki kemiskinan Honda CB, Kijang pikap kotak sabun dan rumah di Pulaubrayan serta mencampakkan keranjang “meuge” berbau anyir “engkot muloh dan udang wat.
Itulah sebuah ironi pengajaran masa lalu yang yang tak pernah kembali untuk kemudian ingin ditebus anak cucu mereka dengan menuntut balik tanah ulayat milik “indatu”nya dengan berkemah di jalur pipa.
***
2014, Blang Lancang, kilang yang pernah menyandang predikat “Terbesar di Dunia” itu akan tutup buku bersamaan dengan berakhirnya kontrak ekspor gasnya dengan Korea Selatan.
Sisa kontrak yang tersisa sekitar 30-an pengapalan akan dipenuhi sepanjang tahun ini, dan kemudian tutup buku.
Untuk tahun ini, menurut manajemen PT Arun, ekspor gas ke Busan, Korsel tidak akan lebih dari 22 kapal, yang berarti sama dengan ekspor tahun 2011.
Sedangkan ekspor gas ke Kobe dan Osaka telah tamat tahun 2010 lalu yang sekaligus pula memensiunkan lima train Blang Lancang.
Blang Lancang, usai “fiesta” panjang dollar berbau amis yang mengalir ke pundi-pundi APBN selama tiga dekade lebih, tahun 2014, menyisakan baris pertanyaan yang belum seluruhnya terjawab tuntas.
Pertanyaan menggelitik tentang pepatah plesetan, “habis gas besi dibangkaikan.”
Pertanyaan yang juga membangkitkan koreng di luka tak berparut sepanjang tanah bekas “neuhun” milik anak nanggroe yang ditendang domisilinya ke bukit Mbang.
Akan jadi rongsokankah kilang, turbin gas pembangkit 120 megawat, pelabuhan, dan tanki serta pipa-pipa gas milik Blang Lancang itu?
Akankah raib nilai buku kekayaan, hasil audit internal Pertamina, Rp. 6,5 triliun itu dari tanah Rancung, Batu Phat dan Blang Lancang?
Itulah pertanyaan paling mengusik sepanjang hari-hari ditahun terakhir kehidupan kilang gas itu.
Pertanyaan akan dicampakkan kemana onggokan “besi tua” yang berkahnya untuk negeri ini telah dilumat secara bancakan antara pemodal, spekulan dan pemerintah pusat yang mengatasnamakan kepentingan fiskal.
Kepentingan pembangunan yang wujudnya tak pernah dinikmati anak-anak Blang Lancang, Batu Phat, Paloh Lada hingga melingkar, nun jauh ke sana, ke Syamtalira Aron maupun Syamtalira Bayu yang api “point A” maupun “point B”nya telah padam.
Dan kantor Exxon Mobil telah dialih pinjamkan ke Pemda Aceh Utara atas kemura-hatian PT. Pertamina.
Di ujung tahun kemarin terdengar skenario baru tentang nasib akhir Blang Lancang. Skenario untuk memungsikan sebagai terminal gas yang bahan bakunya didatangkan dari Bontang dan Tangguh.
Terminal berdurasi investasi 175 juta dollar yang akan mengalirkan gasnya melalui pipa sepanjang 250 kilometer ke Medan dan akan menghabiskan belanja mendekati angka 300 juta dollar.
Terminal yang kelak akan membangkitkan gairah birahi PT PIM mengejar kapasitas penuh produksi. Terminal yang juga menunda pembangkaian PT AAF menjadi potongan besi tua.
Dan juga menghidupkan harapan kehidupan bagi PT KKA menjalani ritual sebagai sebuah pabrik kraft peling prestiseus.
Kita belum tak tahu secara persis apakah janji mengubah Blang Lancang menjadi terminal gas ini mimpi halusinasi atau ekstase “cet langet” model baru.
Sebab, sebelum godaan menjadikan Blang Lancang sebagai terminal gas, sudah terbit sebuah Perpres tentang penunjukan Belawan sebagai terminal suplai untuk kawasan Sumatera bagian Utara.
Kita mengingatkan dengan keras, kepada siapapun dia, jangan paksa lagi Aceh mencabut pedang atas nama “perjuangan” untuk menegakkan harga dirinya sebagai “bangsa” bermartabat untuk merebut muntahan janji keadilan.
Jangan lagi bangun jalan tak berujung yang ketika menggapainya harus di aplaus dengan sorak-sorai perjuangan dan harus direbut dengan salakan bedil dan banyak jirat yang kuburnya tak bernisan.
Blang Lancang ketika kami memunggunginya usai menyantap nasih gurih Batu Phat, menunduk kalem di ujung dhuha yang langitnya masih bewarna kelabu, “reudok di glee”
Awan hitam yang berlari digelitik taifun kecil. Hujan, entah tumpah atau tidak, kami tidak lagi pernah tahu.
Tapi, yang kami tahu, setelah beringsut dari tanah penuh janji itu, proposal terminal refagas Blang Lancang masih belum dibumikan. Masih dalam hitung-hitungan. Masih negosiasi gas dari Tangguh.
Dan ketika itu terwujud Blang Lancang akan berganti peran dari produsen menjadi konsumen.
Sebuah peran, yang dikatakan, oleh seorang kawan kami, pengamat ekonomi, dengan kalimat “nyelekit,” waktu menjalani peran produsen saja meninggalkan kemiskinan apalagi setelah jadi konsumen.”