Ufuk langit berpendar cahaya.
Digelitik riak ombak bentangan samudera.
Bertalu gedebum pecahan ombak menampar pantai
Bukit cadas indah menghempang pasang
Bukan… bukan… Itu bukan bait syair sebuah puisi.
Kalimat itu tersusun dari rangkuman potret sebuah obyek wisata diceruk laut samudera. Obyek wisata yang berjarak sedang dari pusat kota Banda Aceh.
“Eumpenulu” Lampuuk. Di Lhok Nga
Eumpenulu yang bermodal lebih dari cukup untuk “menjual” gaya hidup, traveling. Karena etalasenya [aripurna. Ada ufuk langit kuning kuning, biru dan jingga di bentangan samudera.
Hamparan pasir putihnya diketeduhan cemaralaut yang rimbun. Dan ada tebing batu eksotik.
Ketika kami takziah di akhir pekan lalu, gerimis basa memberitahu bahwa, eumpenulu masih seperti dulu.
Masih ada pondok-pondok beratap rumbia.
Ada juga gerai kuliner, di selangkang ceruk pasir yang membentuk danau kecil, dan menyapa masih ada pulut panggang dan kopi saring untuk diseruput.
Di Minggu pagi itu empeunulu baru memulai geliat hidupnya usai diterpa libur panjang. Libur pandemi
Hari itu juga, diketeduhan gunung cadasnya ada “pesta” sorak kelompok gowes. Gowes ber-tik tok dalam alunan irama dangdut yang dibuncahkan suara sember loudspeaker besar.
Nun, di sana, dikejauhan bibir pantai, ada grup grannies ala “pom pom” sedang bersenam salsa diiringi suara nyaring irama dance dari sebuah “taperecorder.”
Grup ini berbaju merah, bercelana jeans dengan rok pancung sembari menari mengibarkan topi cowboy. “Pom pom” ini campuran chines grannies dan nenek lokal berhijab senada.
Mereka memburai wajah ceria kala di shoot kamera handphone “huawei” tipe recording. Bahkan, ketika berselvi,” masing-masing pasang gaya bak artis remaja.
Eumpenulu di matahari berwajah muram itu menerbangkan ingatan saya ke pantai pacitan. Pacitan yang menjadi milik sby. Pacitan ketika saya berkunjung empat tahun silam, berlimpah fasilitas.
Ada mobil pantai bermoncong monyong. Ada boat kecil menarik papan selancar. Dan ada perahu layar untuk mereka yang berselvi ria ke bibir samudera.
Jangan ditanya permainan balita hingga remaja. Semuanya lengkap dan murah.
Lantas Eumpenulu?
Saya murung kala menyapu pandang dari pondok “derita”berbangku kayu supak dengan meja lapuk. Hanya jalaran rumput liar yang melilit cemara. Tak ada paku besi yang membuat dinding tebing cadasnya dipanjati oleh olah olahragawan avantour.
“Tak semeriah di Pacitan,” bisik kalbu saya
Bisik kalbu ketika membandingkan keindahan Eumpenulu dengan pantai Pacitan. Keindahannya tak tak tertandingi. Tapi fasilitasnya bak tegak lurus.
Saya tak menyalahkan siapapun. Sebab itu bisa membawa Anda ke philosopi ” jangan karena buruk rupa cermin dibelah.”
Anda tak perlu saya ajarkan tentang pepitih itu. Malum
Tidak hanya fasilitas. Informasi tentang Eumpenulu saja masih seperti listrik mati di tengah malam buta. Tak ada panduan yang di share secara spesifik di media sosial.
Sebelum menulis reportase ini saya menarikan jejari lewat tut…tut .. ria mencari apa dan siapa Eumpenulu Lampuuk itu.
Semuanya soh. Membuat jalan tersesat. Tersesat karena informasi hanya potongan-potongan jalan pendek yang tak bersambung.
Jalan ketika saya mencari lokasi Eumpenulu di hari hujan gerimis kemarin tak ada palang petunjuk yang menyebabkan saya tersesat dan hampir tak tahu jalan kembali. Bukan jalan pulang.
Memang perjalanan kami dari Banda Aceh hingga ke Lhok Nga dan sampai ke gampong Lampuuk lancar-lancar saja. Jalan sepanjang dua puluh kilometer tak pernah lekang dari memori.
Tapi, begitu menghampiri Masjid Lampuuk saya kehilangan arah. Ada banyak jalan berbelok yang tak menyediakan satu pun papan penunjuk arah.
Untung saja tidak kehilangan arah kala melirik sang masjid, yang dimasa prolog tsunami dulunya, enam belas tahun silam, pernah memahatkan memori di otak kecil saya kala bertemu Bill Clinton ketika ia menyambanginya negeri untuk berbagi kasih.
Tentu Anda tahu siapa Clinton yang istrinya Hillary dan anak tunggalnya Chelsea. Clinton yang mantan presiden amerika serikat. Pernah jadi gubernur termuda di Arkansas.
Lupakan itu
Kembali ke arah jalan lokasi Eumpenulu. Istri saya yang asik dengan goggle mapnya juga tergagap mencari “gang” masuk ke lokasi tebing itu.
Untuk saja sebuah avanza bermuatan mak-mak menyapa kami dan bertanya mengusir kebingungan saya.
Usai istri saya memberitahu, derita kebingungan tamat. Mereka menawarkan jasa panduan untuk mengekor di belakang mobilnya karena tujuan yang sama.
Entahlah, bisik saya berdamai dengan kejengkelan yang tersulut. Kejengkelan terhadap “pemilik” negeri yang hanya tahu rente menjual negeri.
Rente yang tak pernah mereka kembalikan untuk membuat banyak orang berbondong datang merobek dompet untuk membuncahkan rupiah atas kepuasan pelayanan yang didapat.
Pelayanan dari fasilitas dan kenyamanan.
Kenyamanan yang dikondisikan juga bagi datangnya penanam modal dengan janji untuk sama untung. Bukan untuk yang bikin buntung.