close
Nuga Travel

Ada Sabang di Pagelaran Kikan

Saya menelepon seorang teman di sebuah sore dari kawasan Cipinang ketika  sedang menyantap uduk Mat Lengket yang terkenal itu. Nasi uduk yang hanya buka sore hingga malam.

Uduk Mak Lengket yangsudah ada sejak lima puluh tahun lalu.  Tak buka outlet,

Yang untuk mendapatkan meja harus pakai nomor antrian.

Nasi uduknya disertai ayam goreng. Hanya paha thok. Bisa ditambah dengan semur jengkol dan semur tahu. Masih ada lagi potongan timun di nasi dengan taburan bawang goreng. Plus sambal ambil sendiri.

Minumannya. Bisa sirup atau jeruk peras yang asam bikin gigi gemeretak.

Saya meneleponnya sekadar sapa “hura.” Karena makanan ini sering kami santap kalau lagi kongkow. Sembari membawa keluarga.

Ia membalas panggilan saya dengan kata “enak tenan lu ya.”

Dan meneruskan dengan kata:kata: “Oo..alah saya lupa ngabari ke Anda. Ada pagelaran hebat atas nama negeri lu di Djakarta Theater. Hebat lho”

Ia menyesali tak memberitahu saya tentang sebuah pementasan seni.

Selama tiga hari. Sejak tiga hingga lima Juni lalu.

Yang ia maksud adalah ‘pagelaran sabang merauke – premiere with live performance.’

“Ada Kikan Namara,” sambungnya berpromosi.

Saya hanya tertawa sembari melahap uduk yang menurut saya masih kalah dari “beu gurih” Rasyid dan Buk Ros. Tapi mau apa dikata. Ini kan Jakarta. Mana ada “beu gurih” Rasyid dan Buk Ros di sini.

Semula saya tak peduli ketika ia menyebut nama Kikan. Itu karena saking enaknya suapan uduk Mat Lengket. Yang kemudiannya saya baru sadar tentang orang yang disebutnya dengan Kikan Namara.

Saya kan tahu dengan wanita  yang bernama asli Namara Surtikanti itu.

Yang vokalis band cokelat itu. Yang yang membuat saya sering bergoyang kala ia mendendangkan bait syair lagu “Berpegang” dalam album “Serasa.”

Yang  salah satu bait liriknya:

Mungkin apa yang kurasa
Tak pernah kau rasakan
Mungkin semua kulakukan
Takkan pernah berarti…dan seterusnya…

Saya tahu juga tentang putri pasangan Bambang Sugondo dan Ade Indira yang pernah bercita-cita menjadi seorang pianis profesional itu.

Sang teman benar-benar menyesali tak memberi tahu saya tentang pertunjukan itu.

Maklum, sang teman, yang salah seorang direksi di kelompok bisnis besar itu, sudah tiga kali saya temani takziah ke Sabang. Ia minta saya menemani karena ada keinginan untuk investasi.

Investasi resort dari kelompok bisnisnya. Yang sudah merintis nego lahan plus membuat road map. Tapi belum masuk ke memo standing.

Masih mempelajari persyaratan izin yang tetek bengeknya berjubel. Belum lagi kalau diselaraskan dengan aturan syariat.

Yang seperti dkatakan seorang pejabat parawisata, teman saya, memang payah.

Padahal ia orang dalam. Sangat santun. Tapi juga menyimpan pesimis.

“Maindset kita yang payah bang,” katanya yang merintis  karir dari bawah dan bersentuhan dengan banyak event ketika menjadi “orang” di Jakarta.

Malah seorang teman lain  mengingatkan saya agar mengundurkan saja niat itu.

Saya ke Sabang untuk kali terakhir di bulan Juni tahun lalu. Dengan sang teman. Menelusuri seluruh kawasan wisata lebih tenang. Kala itu pandemi sedang berada di puncak. Sabang lengang.

Kami bisa kei Iboih, kilometer nol.  Pantai Kasih. Atau entah kemana lainnya dan ia sempat mengumpat tentang fasilitas yang “jongkok” di kawasan indah itu.

Karena kesengsem dengan Sabang inilah sang teman, yang mengantongi tiga lembar sertifikat kilometer nol, mengingatkan saya tentang pagelaran Kikan Namara.

Kikan Namara yang tidak hanya belajar mencintai negeri ini tapi juga mendalami budaya  lewat lagu-lagu daerah yang dinyanyikannya. Yang salah satunya lagu Aceh.

Pagelaran ini menyajikan dua puluh satu  Lagu daerah. Dan hanya satu lagu nasional yang dirangkai secara harmonis.

Pementasan ini juga melibatkan banyak penyanyi. Musisi tardisional dan modern serta ratusan  penari profesional.

Kikan terpesona dengan alunan lagu dari Aceh  Lagu menakjubkan. Lagu punya rasa yang berbeda. Suasana  berbeda tapi hebatnya bukan kepalang.

Kikan mengakui semua itu.

Bukan seperti syedara saya disana yang terus main bancak dengan isu liar. Isu yang Anda sendiri pasti lebih tahu dari saya. Isu macam-macamlah.

Sedangkan Kikan Namara bukan Aceh. Tapi kagum terhadap tari rancak dan nyanyian poma yang diaransemen dengan apik.

Dan ketika pagelaran ini saya tanyakan kepada seorang pejabat parawisata ia mengiyakan. Dan mengatakan, ternyata kita jauh dihargai orang dari diri kita sendiri, katanya.

Bagi saya Sabang memang sebuah gumam keindahan. Gumam pesona seluruh bukit dari keindahan  lekuk bibir pantainya.

Bibir pantai dari garis melengkung teluknya yang bak kuali yang menarikan gelegak gerakan bak tari saman dengan ombak menderu atau mengibaskan riak ombak kecil.

Yang melenggokkan cengkok nyanyian bungong jeumpa ketika angin laut mengibas permukaan airnya di awal pagi.

Ombak kecil dari angin Weh yang diapungkan oleh teriknya matahari  Andaman dan uap laut Phuket hingga bertemu di pulau batu Rondo

Serta menerbangkan awan air ke langit Iboih dan bergumam di bukit Sabang untuk menyiramkan sebersit hujan pirang yang datang dan pergi tanpa bisa di forecast secara akurat.

Wah saya sentimentil kalau sudah menulis Sabang. Itu sejak dulu. Sejak saya dekat dengannya. Dekat dengan komando pelaksana empat be-es.

Yang kala itu dipimpin Ibrahim Abdullah dan Ramli Ridwan. Komando yang sempat disemprot karena kasus penyeludupan kapal motor Acress dari Singapura. Padahak Sabang pelabuhan bebas tanpa dikenakan bea dan cukai barang impor.

Sabang memang sebuah pesona yang melintas zaman dengan status freeport-nya.

Freeport seperti ditulis  van de Vaar, bekas controleur Belanda, dalam bukunya “Surat-surat dari Sumatera,” yang tetirah ke sana di permulaan abad lalu.

Ia juga mencatatkan tentang vrij haven yang memaksa kapal api singgah mengisi air yang dialirkan dari perut danau  lembah vulkanik, Aneuk Laot.

Vaar secara khusus menuliskan tentang oleh-oleh malaria dari cuaca ekstrim yang dibawa pulang pekerja musiman dan sebuah rumah sakit gila yang dibanguan otoritas sabang maatschaappij.

Rumah sakit gila yang dibenarkan secara klinis oleh governor di Kutaradja dengan mengatakan, “alamnya memang cocok untuk penyembuhan penyakit jiwa.” Vaar menulis dengan sentimental alasan ini sebagai pembodohan.

Vaar memang tidak menyebut rumah sakit gila sebagaimana orang daratan Aceh memperolok-olok kawasan itu sebagai tempat perawatan “ureung pungo.”

Pungo yang disembuhkan dengan gratis untuk mengikis trauma atjeh moorden 

Tentu Sabang vrij haven bukan hanya rumah sakit gila atau keindahan pesona alamnya, ketika itu. Sabang vrij haven adalah, benar-benar bandar free port

Tempat mengunggah barang impor atau ekspor ke palka-palka kapal api milik konijklike paketvaart maatschaappij dari Roterdaam atau Batavia.

Mau tahu bagaimana Sabang tempo lalu sebagai free port?

Dulunya saya mendapatkannya secara gratis di hotel Sabang Hill. Foto yang bergelantungan di ruang reception-nya.

Foto realita Sabang sebagai bandar di barat nederland indies yang dilabuhi  empat lima kapal api, berbahan bakar batubara, dengan asap hitam mengepul dari cerobongnya.

Ada juga dermaga yang kokoh disangga beton tebal diselangkangnya.

Juga ada gudang-gudang yang tertata rapi dipenuhi kuli memunggah barang dagangan. Jangan lewatkan foto kota di atas dengan rumah model  roterdaam bergaya art deco campuran et-spanyola.

Sedangkan di kawasan Pasiran yang masih perawan ada docking kapal antar pulau yang dibengkelkan.

Itulah Sabang, kota heterogen, dengan para administrator pendatang yang berbaur dengan klerek anak negeri dan koeli Jawa beranak turunan dengan nama Poniman ataupun Mas Bejo.

Sabang bagi saya adalah kota plural dengan majemuknya baur keturunan suku, yang mengidentikkan penghuninya sebagai anak Weh. Potret kesetaraan hidup.

Kesetaraan yang mengharamkan cekcok hegemonitas  tentang klaim anak asal. Anak  Weh yang menurunkan status koeli ke anak cucunya.

Anak koeli yang tidak pernah mengejar cita-cita menjadi amtenar di matschaappij, dan bangga dengan kultur gado-gado yang acuh terhadap tanah asal ayahnya.

Kalau Anda tak percaya tanyakan ke Pak Fachrurazi yang jenderal dan pernah menjadi menteri agama. Bagiamana ia menjadi anak Weh.

Ya, Sabang memang sebuah free atau vrij

Bukan sebuah  otoritas yang  harus repot menjual proposal cet langet dan membuat usulan anggaran berbiaya ratusan miliar serta sibuk berproyek ria melahirkan banyak satker dan meneken memorandum of understanding.

Padahal, Sabang adalah belangong gulee dengan karang atol yang membentuk coral tuf marina bertaman laut terindah seputar donya.

Status vrij haven setengah hati hari hari  ini telah “wafat

Sabang memasuki  jilid tiga dengan  sepinya sorak sorai persoalan.

Persoalan saling ganjal, sikut menyikut dan sandera menyanderanya para pemilik otoritas atas nama undang-undang yang mereka jepit di ketiak masing-masing telah lewat.

Otoritas tumpang tindihnya kala  di zaman free port jilid dua hanya bisa menghasilkan jengek  atau jenggo ekonomi , sebutan lain dari penyeludup kecil-kecilan

Yang dagangannya sarung palekat, rokok dunhill, pecah belah ataupun elektronik rongsokan telah raib.

Dagangan yang pernah difitnah sebagai sumber penyelundupan ketika kapal MV Acress bermuatan tekstil hingga pecah belah dari Singapura diciduk di lepas pantai laut Jambo Aye sebelum tiba di Sabang

Lalu dibulan-bulani dengan pemberitaan koran nasional sebagai kasus penyeludupan terbesar hingga mendegradasikan kehidupan Sabang ke tubir kebangkrutan.

Padahal, siapun tahu, seperti tahunya Madjid Ibrahim, gubernur Aceh ketika itu, sebagai tuduhan nol besar.

Sabang juga pernah mengalami fase  bancakan para politisi untuk mengerek jualan popularitasnya hingga menghasilkan status free port jilid tiga .

Vrij haven jilid tiga yang mengganti mainan Sabang dari rokok Dunhill dan sarung palekat, menjadi impor mobil bekas eks Singapura yang dijatah kuotanya oleh departemen perdagangan untuk masuk ke daratan dengan status kepabeanan yang sangat  diskriminatif.

Mobil buangan Singapura yang dijadikan ajang sogokan pejabat daratan lewat nota dinas dengan membagikan jatah kuota dan diharuskan mencantumkan huruf NA dan AQ di ujung platnya begitu berseliweran di kota-kota di Aceh.

Mainan ini hingga kini masih menyisakan ratusan mobil rongsok jenis matic di celah-celah kebun kelapa di Sabang karena kuotanya sudah ludes.

Tukak Sabang tidak hanya membuat koreng di infrastruktur dan kebijakan pelabuhan bebas dan perdagangan bebasnya, tapi ia juga menjalar menjadi penyakit akut di lingkungan otoritas birokrasi berupa tumpah tindihnya kewenangan antara walikota dengan pengelola free port.

Tumpah tindihnya sistem dan prosedur administrasi pemerintahan tentang siapa di antara para pemegang otoritas yang berwenang mengeksekusi berbagai keputusan, termasuk tata ruang, yang sering diplesetkan sebagai “tujuh kalinya zuhur dalam sehari.”

Plesetan untuk mengatakan tidak adanya keputusan final disatu tangan terhadap satu persoalan yang sama..

Untuk itu perlulah dicamkan, sejak awal, Sabang bukan hanya hill dengan jualan vrij haven, free port, kollen station ataupun pelabuhan bebasnya yang tak pernah laku sebagai jualan birokrasi di barat nusantara itu.

Tags : slide