close
Nuga Travel

“Spoor Acheh” dan Sisa Romantismenya

Kereta api Aceh adalah sebuah romantisme sejarah. Romantisme dari kenangan tentang eksistensinya yang panjang dan “dibunuh” oleh faktor ke-ekonomian dengan alasan terlalu boros untuk sebuah trayek.

Sepanjang keberadaannya, loko yang menarik gerbong “staats spoors” Acheh digerakkan oleh pembakaran kayu. Sebuah dinamika yang ketinggalan zaman dari kultur yang sulit dipertahankan.

Dinamika ketika dia harus disingkirkan karena di “:\vonis” tidak “feasible.”

Secara historis kereta api Aceh memang tidak untuk “feasible.”

Semula infrastruktur ini rel kereta perang hanya di peruntukkan di kawasan Aceh Besar untuk stragei “kamp konsentrasi.

Baru kemudian, dalam perluasan perang ia diperpanjang hingga ke Lambaro dan Sibreh setelah operasionalnya diserahkan kepada BoW, departemen pekerjaan umum, di tahun 1882, bersamaan dengan dilaksanakannya “kamp konsentrasi” beradius 50 kilometer persegi selama 12 tahun.

Semasa di bawah BoW ini pula “spoor” perang merambah Peukan Bada, Lampeureut dan Lambuek hingga Pango melewati “Demmeni, jembatan Pantee Pirak sekarang, yang pembangunannya dimulai 1874, untuk menyimbolkan penaklukan Aceh di Koetaradja.

Sebuah simbol yang oleh van Heutz, Gubernur Sipil dan Militer waktu itu, dianggap mubazir dan menggantinya dengan pendekatan ekspansi pembujukan. Semasa van Heutz ini pula kamp konsentrasi dibubarkan dan sekaligus membongkar jalur kamp di kawasan “dalam” untuk kemudian disambungkan ke arah timur.

Sejak itu pula, secara terbatas, masyarakat diperbolehkan memanfaatkan “spoor” sebagai bagian untuk membujuk mereka meninggalkan “Atjeh moorden.”

Perjalanan “spoor” masih belum terjadwal dan sangat tergantung dengan kebutuhan mobilitas militer. Saat itu pula, perluasan ofensif penaklukan Aceh sudah meluas hingga ke berbagai pelosok Aceh. Konsentrasi pasukan sudah dipencar hingga ke Pidie.

Operasional kereta api di tangan BoW tahap pertama ini berlangsung selama sembilan tahun, hingga tahun 1892, untuk kemudian diserahkan kembali ke departemen perang bersamaan dengan meningginya gangguan pejuang serta mulai dirintisnya pekerjaan jalur rel membelah Seulawah dengan titik utama Seulimeum, Lamtamot dan Padang Tiji.

Pekerjaan rel di lintasan rawan ini, menurut laporan Java Bode, koran terbitan Batavia waktu itu, tidak bisa dilaksanakan oleh institusi sipil.

Apalagi misi membangun jaringan rel ini masih terkait dengan ofensif militer yang membutuhkan transportasi untuk mendukung mobilitas pasukan, logistik sekaligus membangun kantong-kantong pertahanan untuk basis perluasan penaklukan.

Untuk itu, menurut artikel “de Atjeh Oorlog,” jaringan d pantai timur menyusur garis pantai dan bersisian dengan jalan raya dan banyak melintasi “blang” sebagai upaya menghindari perkampungan yang banyak “Atjeh moorden”nya.

Selama ditangani kembali oleh zenie, jalur Koetaradja-Sigli ini bisa dirampungkan, untuk kemudian tahun 1898 dirancang pembangunan rel dari Keude Breuh, Pidie, ke Kuala Langsa. Pekerjaan ini dilaksanakan secara bertahap. Sigli – Idi, misalnya, rampung 1904. dan Idi – Kuala Langsa 1908.

Menurutalmarhum Ridwan Azwad, pemerhati sejarah perkereta-apian Aceh yang pernah bekerja di PDIA, pembanguan rel “spoor” Aceh tidak selamanya dikerjakan dari satu arah. Ia mendapatkan catatan sahih tentang pekerjaan pembangunan rel yang dikerjakan dari tiga titik.

Umpamanya, pekerjaan rel Sigli-Idi-Kuala Langsa dimulai dari tiga lokasi berbeda. Begitu juga antara Langsa-Kuala Simpang diselesaikan tahun 1910, dan bersamaan dengan itu pekerjaan dari Kuala Simpang-Sungai Liput diresmikan 1914.

Dalam rentang waktu panjang, hampir 41 tahun, pekerjaan pembagunan rel “spoor,” dari Koetaradja-Besitang tak pernah sepi dari gangguan pejuang Aceh. Gangguan paling sering, menurut sebuah catatan yang dipublikasikan adalah lintasan Koetaradja-Lhokseumawe.

“Intensitas gangguannya bisa sangat tinggi hingga pekerjaan ditelantarkan berbulan-bulan,” kata Ridwan yang rajin membaca literatur sejarah perkereta-apian Aceh.

Intensitas gangguan paling rendah adalah dipenghujung penyelesaiannya, dari Langsa-Perbatasan Sumut. “Ini dimungkin karena konsentrasi pejuang tidak berada di sana.

Apalagi kawasan itu relatif jarang pemukiman, dan kalaupun ada gangguan mudah diatasi karena jalur mobilitas pasukan maupun logistik bisa segera didatangkan dari Medan.

Secara keseluruhan jalur rel kereta api Aceh yang membentang dari Ulee Lheue di Koetaradja hingga Besitang, di perbatasan dengan Sumatera Utara, selesai tahun 1916.

Itulah sebuah kerja raksasa, zaman itu, dalam suasana perang yang terus berkecamuk. Jalur yang bermula dari “spoor prang,” kemudian menghidupkan kenangan disepanjang lintasan tahun eksistensinya dan menjadikannya moda angkutan paling popular dengan ribuan kisah sukses masyarakat yang menyertai perjalanannya di berbagai stasion kecil di gampong-gampong udik maupun stasion lansir di kota-kota singgahannya.

“Spoor” negara di Aceh adalah sebuah sejarah moda transportasi modern, waktu itu, yang membelah isolasi “gampong,” mengundang tamasya keramaian di stasion dan mendorong rotasi ekonomi antara udik dan kota.

Sebuah “kegaduhan” yang menjadikan jarak antara satu kota dengan kota lain semakin pendek dan sekaligus memperkenalkan dusun Lambaro, Sibreh, Seulimeum, Padangtiji, Beureueneun atau pun Idi hingga Peureulak dan Kuala Langsa menjadi “gampong” setengah kota.

Ia juga menjadikan Sigli, Bireuen, Lhokseumawe , Langsa dan Kuala Simpang menjadi kota glamor dengan keramaian kehidupan malam di stasion-stasion. Bahkan ia juga telah mengantarkan anak-anak udik menjadi “orang” dan memperkenalkan “kemewahan” perjalanan ke Medan dengan melintasi onderneming milik tuan tuan kebun mulai dari Se Liput, Langkat hingga ke Deli.