close
Nuga Travel

Design Penayong Udah Naik ke Langit

 

Sebelas hari sudah berlalu usai saya menulis “gemilang”nya kuliner penayong aminullah.”

Sebuah tulisan “mehambo” yang sempat di “bully” oleh seorang kawan lewat pesat whatsappp dengan nada tanya. “Abang marah ya?”

Saya hanya menjawab pesan itu dengan dehem wk..wk..  Sang kawan nun di seberang sana  langsung maklum dan membalas wk..wk.. saya,. “Lanjut.”

Kata “lanjut” itu  saya artikan sebagai kata menantang. Wuih..menantang wartawan gaek.

Hari itu juga saya kembali berburu lewat senjata “investigasi.” Investigasi yang jadi milik para jurnalis beneran. Bukan senjatanya wartawan  ecek-ecek yang skala jurnalistik di angka jongkok.

Dan di bakda asar jalan investigasi  terhubung kembali ke gemilangnya kuliner penayong aminullah”

Saya tersenyum. Kata gemilang yang tak pernah ketemu di utak atik google search dan raib di memori banyak pejabat yang pikun usai saya sapa  lewat tarian jempol jemari  cula calo eh..eh. ketemu lagi.

“”Tak ada road map yang namanya kota gemilang. Seharusnya penayong di design sesuai dengan sejarah bertema kota tua. Atau pecinaan. Keberagaman.”

“Jadi desaign kota dengan water front city  yang dulu udah di desaign masa Mawardy Nurdin…… jadi menguap alias hilang. Dispparance,” bunyi kalimat di pesan whatsapp saya.

Saya sangat kenal dengan orang yang mengirim pesan itu. Yang pasti, saya tak mau menulis dan menyebut namanya. Itu off the record. Anda tahulah kata “off the record,” yang menjadi acuan seorang wartawan

Saya tahu apa arti kata design. Rencana atau gambar yang dibuat untuk memperlihatkan tampilan dan fungsi dari bangunan dan banyak objek lainnya sebelum benar-benar dibuat”.

Bisa juga  berarti “corak dekoratif”.

Lantas saya menerawang. Mengingat  “blue print” yang pernah diperlihatkan seorang pejabat di era kepemimpinan Mawardy Nurdin. “Blue print,” atau cetak biru, revitalisasi Peunayong untuk dikembalikan kekhitah “kota tua”nya.

Kota keberagaman. Pecinaan yang heterogen untuk mengembalikan kepikunan orang terhadap eksistensi Penayong seutuhnya. Eksistensi yang dipoles dengan pergantian zaman dan generasi.

Saya tahu persis design yang dirancang Mawardy Nurdin untuk Peunayong. Rancangan yang tidak hanya belepotan buncahan bernama proyek seperti gemilangnya kuliner….

Rancangan yang memberi ruang bagi si Akek, si Akuang, si Acun dan si Alok untuk bisa melanjutkan kiprah dagangnya sembari mengingat kembali trahnya yang datang dari Kwantung untuk bertanah jirat di kota metropole bernama Peumayong.

Setengah berbisik saya menerbangkan pesan ke jirat si Anyen bahwa tanah Peumayong akan bersalin rupa.  Si Anyen yang dulu menjadi kawan sepermainan saya di bioskop Tum Pang.

Bioskop yang bersalin nama menjadi “Merpati” usai gejolak amarah demonstran merobek-robek Toko Pelangi milik si Anyi di pertengahan tahun enam puluhan. Toko Pelangi yang menjadi simbol dominasi ekonomi pecinaan itu.

Si Anyen yang menjadi pelempar bola terbaik ketika kami masih satu tim basket di lapangan perbasi. Lapangan yang pasti kalian tak tahu dimana lokasinya.

Kepada si Anyen saya juga berbisik, kini ada gaduh proyek yang akan memberangus negeri kelahiran mu. Memberangus peumayong untuk proyek “gemilang”

Selain ke si Anyen, saya menjulurkan tangan ke Lo King Hwa. King Hwa yang menjadi teman dalam berselancar bagaimana komunitas perkampungan cina itu terbentuk.

Ia mendapatkan cerita bersambung dari kakek hingga ayahnya, untuk kemudian ditebarnya dengan antusias lewat pertanyaan pada tetua perkampungan.

Lo King Hwa, yang lebih akrab di panggil Ba Cai itu, termasuk anak “kek” langka.

Nyinyir bertanya, “nakal” sepanjang usia dan gigih menjalani hidup. Ba Cai berani mematok tahun cikal dari komunitas pecinan Penayong.

“Sebelumnya,” kata Ba Cai alias Ayah Kojek 88,” warga cina sudah berdatangan ke Koetaradja sebagai koeli di awal penaklukan Aceh dan hidup terpencar dari Uleue Lheue hingga Merduati.”

Menurut catatan lepas Paul van’t Veer dalam de Atjeh-Oorlog, Perang Belanda di Aceh, komunitas cina di Koetaradja, di awal penaklukan, memang sudah terbentuk dari koeli hingga pedagang kelontong.

Di Ulee Lheue saja, catat van’t Veer, terdapat tujuh ratus orang cina yang mendiami gubuk-gubuk sepanjang tanah pinggirian “neheun” Deah Geulumpang hingga ke pinggirian Meuraxa.

Bahkan F. Janfruchte, seorang zending kristen, yang menyinggahi Ulee Lheue dalam perjalanannya dari Rotterdam ke Batavia di ujung abad sembilan belas menuliskan cuplikannya tentang komunitas cina di Koetaradja.

Mereka sudah membentuk “perkampungan” sendiri dan bergaul di pasar Meuraxa dengan penduduk setempat.

Sebagian kecil dari warga cina itu saya temui sebagai pembantu di rumah-rumah orang Belanda atau buruh angkut di stasion kereta api dan kuli bongkar muat di “boom,” catat van’t Veer.

“Saya juga melihat banyak cina bekerja di sebuah rumah pelesir milik seorang Jepang sebagai pelayan di Ulee Lheue. Mereka dengan rambut di kuncir, bercelana komprang hitam berdiri di pintu masuk,” tulis Janfruchte.

anyak juga di antara cina kek dan hongfu ini bekerja ke Kutaradja dengan menggunakan “spoor.”

Menurut Janfruchte, ia pernah mendatangi sebuah toko kelontong cina di samping stasion kota. “Dan itulah cina terkaya yang ada di Kutaradja,” tulis zending itu dalam catatannya yang diterjemahkan oleh Aboebakar, almarhum, kepala PDIA.

Untuk itu rujukan Ba Cai pada kedatangan kakeknya dari Kwang Tung untuk bekerja di toko mas Bandung di jalan Ujung Kalak, sekarang, sangat valid.

Sang kakek yang bernama Lo Nang, kata Ba Cai, datang dengan istri di usia dua puluh  tahun dan menetap di Uleue Lheue. Ia naik “spoor” ke Koetaradja, waktu itu jaraknya lima kilometer.

Catatan di keluarganya mengungkapkan, sang kakek didatangkan sebagai kuli.

Ia memulai kehidupan sebagai pembantu rumah tangga di toko mas itu.

Ba Cai mencatat, awal kedatangan orang kek maupun hongfu serta hokian ke Koetaradja, untuk bekerja sebagai tenaga lepas dengan Belanda.

“Belanda butuh koeli lepas di awal penaklukan Aceh,” katanya.

Sebagai pekerja keras dan mampu menyimpan rahasia, Belanda memilih mendatangkannya dari cina.

Pilihan tinggal di Uleue Lheue, di awal kedatangannya, karena kawasan itu sudah steril dari gangguan pejuang. “Kebanyakan koeli cina tinggal di Uleue Lheue, waktu itu,” catat Ba Cai. Lo Nang, contohnya.

Setelah lima tahun di Uleue Lheue Lo Nang dibelikan tanah oleh majikannya, di ujung Penayong, bekas perkantoran PT Fajar Baizury sekarang.

“Itu tanah keluarga kami. Setahu saya tahun-tahun itulah awal pembentukan komunitas pecinan Penayong,” ujar Ba Cai.

Pendapat Ba Cai ini diperkuat oleh A Kiau,  cina tua yang tinggal di Jalan Teluk Betung. Pedagang asinan, yang hidup dengan istrinya ini, memastikan lahir di toko tempat jualannya sekarang.

“Dulu ayah saya jualan kelontong;” katanya acuh. Menurutnya, lima belas tahun sebelum lahir, ayahnya sudah tinggal di toko itu. A Kiau berasal dari suku “kek.”

A Kiau tidak hanya jernih menyebut para pemilik rumah di seputar tempat tinggalnya

Tapi juga mendapat cerita dari ayahnya, bagaimana Belanda mengkapling tanah Penayong untuk dijadikan pecinaan seusai berakhirnya status koeli kontrak untuk pendatang Kwantung.

Cerita A Kiau ini, bisa mendekatkan pada sejarah awal pembentukan komunitas hunian pecinan itu. Catatan lepas yang ia dapatkan juga menjelaskan tentang kebijakan Belanda untuk memberi hunian permanen bagi bekas cina koeli kontrak bertempat tinggal.

Menurut Ridwan, seusai penaklukan berdarah di Koetaradja, Belanda memerlukan keamanan pasokan kebutuhan pokok dengan mendorong terbentuknya komunitas cina pedagang. “Kepentingannya sederhana mutual symbiosis. Salaing memerlukan,” ujar Ridwan

Pendapat Ridwan ini dibenarkan secara realitas oleh A Kiau, yang mengutip cerita ayahnya, tentang bagaimana para cina koeli kontrak menempati kapling tanah “Peumayong.”

“Sejak itu para “kek” dan “khongfui” ramai-ramai mencari persil di Penayong dan mulai hidup berdagang dan menjadi kaya,” katanya tertawa. Ia ingat toko kelontong terbesar, sebelum perang, milik Kho Con Kie. Ia Cina paling kaya di Koetaradja.

“Tokonya persis disamping pasar sayur, barisan toko obat Mustajab lama, yang barangnya didatangkan dari Singapura dengan mencarter satu kapal KPM.  Koonijklike Paketvaart Matschapij

Dan dibongkar selama dua hari di Uleue Lheue,”kata A Kiau menunjuk barisan toko di Jalan Kartini yang sebagian penghuninya bukan Cina lagi.

Ia juga masih ingat apotik Mensana di di jalan Cut Nyak Dien, milik keluarga Con Kie, yang dibangkrut anak cucunya.

“Keluarga kami memang sudah bangkrut,” kata Subekti dulunya kepada saya.

Subekti pemilik toko Erecta di Muhammad Jam, cucu Con Kie dari garis ibu, yang keluarganya bertebaran di Medan dan Jakarta yang abu jenazahnya di larung di Penang.

Dan ia hanya ingat sedikit cerita seputar kakeknya. “Itu masa lalu,” katanya

Penayong, kini, kejayaan telah dikelupas oleh gaduhnya kepentingan kuliner.

Homogenitas cina Penayong memang telah digerus zaman. Toko dua lantai bertiang besar dengan jendela susun sirih di bagian atasnya memang masih tersisa di antara jepitan bangunan baru dengan gaya modern.

Generasi ke empat mereka tidak lagi mengais lewat semangat koeli. Mereka sadar zaman koeli telah berakhir. Semangat Kwang Tung dan liarnya ombak cina selatan yang menguburkan semangat petualangan puaknya di zaman susah dulu adalah cerita usang.

Bahkan sebagai warisan cerita para penganut fanatik fengsui itu telah punah.

Mereka tak tahu pasar ekslusif milik komunitasnya, pasar sayur sekarang, yang di topang tiang kayu dengan los memanjang.

Di ujung tulisan ini saya ingin menyebut nama Mawardy Nurdin tanpa ingin mempersanding dengan pejabat yang akan wobaksot.

Mawardy Nurdin yang rajin berbenah. Mawardy yang tak mengucapkan kata instan. Tapi selalu meminta kerapian.

Saya tahu Mawardy telah pergi.  Saya pun sadar ia ingin merapikan. Saya pun sadar siapapun pemimpinnya, pasti akan ada masalahnya. Kalau tidak ada masalah, ya tidak perlu ada pimpinan.

Namun, ada satu hal yang saya ingin ubah istilahnya.

Mohon izin, saya akan keminggris dulu.

Saya sering bercanda dengan  teman sesama jurnalis, kalau bahasa Indonesia itu terlalu sederhana. Kurang kompleks, Kurang concise  atau presisi. Bahasa aceh  lebih presisi dalam mendeskripsikan sesuatu..

Kalau sekarang kan apa saja akan diserang. Namanya juga era media sosial, dan tingkat kepercayaan media beneran sudah begitu rendah.

Saya tahu, si pejabat akan wobaksot telah bekerja keras untuk mengatasinya. Saya tahu dia bekerja jauh lebih keras dari banyak yang diucapkan orang. Dan saya juga tahu pasti ada yang mbalelo

Tags : slide