close
Nuga Tokoh

Video Deepfake Ancam Wanita di Internet

Perkembangan teknologi tak pernah lepas dari mudarat meski mulanya selalu diciptakan untuk mendatangkan manfaat.

Sama halnya dengan teknologi kecerdasan buatan  atau AI yang sejatinya dirancang untuk mempermudah kehidupan sehari-hari di berbagai sektor.

Belakangan, AI dimanfaatkan oknum tertentu untuk mengembangkan video palsu atau “ deepfake”.

Istilah yang merupakan gabungan dari proses AI deep learning dan fake alias palsu ini mengacu pada wajah seseorang yang “ditempel” ke tubuh orang lain ala modifikasi foto, tapi diterapkan pada video.

Hasilnya bisa sangat halus dan realistis dengan penggunaan AI, termasuk segala macam ekspresi wajah dan pencahayaan, sehingga tampak meyakinkan.

Dalam konteks pornografi, oknum pembuat video deepfake mencaplok wajah perempuan di internet, lalu memasangnya pada video yang memperlihatkan badan orang lain tanpa busana.

Hal itu dilakukan sewenang-wenang, tanpa meminta izin ke si empunya wajah. Alhasil, korban tampak seakan-akan memainkan aksi porno yang tak pernah ia lakukan sama sekali.

Sejumlah selebriti Hollywood menjadi sasaran video deepfake, tapi video palsu ini bisa menyasar siapa saja.

Jadi, deepfake tak cuma bisa memanipulasi video porno, tetapi juga wawancara tokoh politik dan hal-hal lainnya yang mendatangkan kontroversi.

Kekerasan seksual terhadap perempuandi era AI Kembali lagi dalam konteks industri porno, seorang perempuan yang tak mau identitasnya diumbar mengaku telah menjadi korban.

Ia tanpa sengaja melihat sebuah video yang mencantumkan wajahnya, tetapi bukan badannya.

Di video tersebut, ia berbalut baju pink yang memamerkan bagian bahu, berbaring di atas kasur, dan melempar senyum menggoda.

Hal yang paling ditakutkan sang korban adalah ketika rekan kerja, keluarga, kerabat, dan pasangannya melihat video tersebut.

“Saya merasa dizalimi. Saya ingin merobek semua hal di internet, tetapi saya tahu itu tak mungkin,” kata sang korban, seorang perempuan berusia empat puluh tahun, sebagaimana dirangkum  dari Washington Post

Artis kawakan Scarlett Johansson khawatir tren deepfake di industri pornografi nantinya akan menarget semua perempuan yang wajahnya berseliweran di internet.

Ini merupakan bentuk kekerasan seksual dan bulibaru di era AI. Baca juga: Instagram Bisa Saring Komentar “Bullying”, Begini

Caranya Scarlett Johansson sendiri merupakan selebritas yang cukup sering menjadi korban konten pornografi palsu. Dulu, Photoshop menjadi andalan bagi para oknum untuk memanipulasi fotonya.

Baru-baru ini muncul pula satu video porno palsu yang menampakkan wajah Scarlett Johansson dan telah ditonton satu setengah  juta kali. Ia meminta kejahatan semacam ini cepat ditindak, jangan sampai terlambat untuk melindungi perempuan lain dan anak-anak kecil.

“Tak ada yang bisa menghentikan seseorang memotong dan menempelkan foto wajah saya ke tubuh orang lain dan membuatnya realistis,” kata Scarlett Johansson.

“Faktanya, upaya melindungi diri di internet tak ada gunanya. Internet adalah lubang kegelapan yang dalam dan akan memakan dirinya sendiri,” ia menambahkan.

Bentuk balas dendam Bukan cuma untuk memuaskan imajinasi visual liar lelaki, deepfake juga menjadi bentuk balas dendam kaum adam ke perempuan tertentu.

Misalnya saja pada kasus aktivis feminisme, Anita Sarkeesian. Ia telah lama dikucilkan dari internet karena kritik feminisnya terkait budaya populer dan video games.

Belakangan beredar deepfake yang memperlihatkan wajahnya tengah beradegan panas di situs dewasa Pornhub.

Lebih dari tiga puluh ribu kali video itu ditonton. Dalam forum deepfake, poster soal video itu tersebar dan dijadikan meme. Para anggota anonimnya pun saling melontar pernyataan bengis.

“Ini adalah deepfake yang kita butuhkan dan layak kita semua terima. Dia (Anita Sarkeesian) lebih dulu menyerang kita. Sekarang dia hanya butuh membuka mulut lebar-lebar,” kata seorang anonim.

Anita Sarkeesian angkat bicara soal deepfake dirinya.

Menurut dia, ini merupakan bukti bahwa internet adalah tempat yang menyeramkan bagi perempuan, sebab banyak lelaki yang semakin merasa berhak atas tubuh perempuan secara virtual.

“Untuk perempuan yang bukan figur publik, ini bisa merugikan prospek kerja masa depan, relasi interpersonal, reputasi, dan kesehatan mental,” ia menuturkan. Belum ada solusi September lalu,

Google menambahkan “citra foto pornografi yang tak disengaja” ke daftar konten yang dilarang

Artinya, para korban deepfake bisa meminta mesin pencari untuk memblokir hasil penelusuran yang secara keliru menggambarkan mereka sedang telanjang atau dalam situasi seksual yang eksplisit.

Namun, solusi ini belum benar-benar menyelesaikan masalah. Jumlah deepfake sudah terlalu banyak dan menargetkan perempuan-perempuan biasa yang tak dikenal publik.

Korban deepfake kerap tak sadar telah menjadi korban, sebab video mereka tak menjadi viral dan hanya dikonsumsi segelintir orang tertentu.

Dalam diskusi deepfake, para pembuat video palsu  jika ada yang meminta dibuatkan deepfake atas wajah rekan kerja, teman sekelas, atau kerabat mereka pada umumnya.

Pada kasus sang perempuan berbalut baju pink tadi, orang yang meminta video itu dibuat (requester) mengumpulkan  empat ratus sembilan puluh satu kali  foto yang menampilkan wajah sang korban. Kebanyakan ia himpun dari akun Facebook korban.

Requester kemudian masuk ke situs deepfake dan minta dibikinkan video atas korban.

“Saya bersedia bayar mahal untuk hasil yang memuaskan”, begitu deskripsi dari permintaan yang ia ajukan. Hanya butuh dua hari bagi pembuat deepfake yang melabeli diri sebagai “creator” untuk menyelesaikan permintaan deepfake sang perempuan berbalut baju pink.

Video diunggah di situs deepfake, lalu ditonton bersama oleh audiens yang sama-sama anonim. “Awal yang bagus,” komentar dari sang requester. Lalu video itu pun beredar.