close
Nuga Tokoh

Pram, “Si Nyanyian” Sunyi di Rumah Kaca

Sebuah hari, di akhir Desember tiga puluh tujuh tahun silam.

Di penjaea Salemba, Jakarta.

Pram, begitu lelaki tua yang kelelahan itu di panggil, sedang menanti detik-detik pembebasan.

Ya, Pramoedya Ananta Toer, sang lelaki itu, memang sebuah sosok yang kelelahan.

Dan hari itu ia hanya bisa menatap hampa.

Kosong.

Di pagi menjelang “dhuha,” hari itu, merupakan kali terakhir ia sebagai “tahanan” tanpa proses hukum.

Hari itu pula ia baru saja menjalani proses panjang “cuci otak,: setelah di “buang” ke Pulau Buru.

Masih dalam kondisi nanar, Pram, heran pada remaja-remaja yang berbaris di hadapannya.

Dari barisan itu hanya satu yang Pram kenali.

Seorang perempuan paruh baya yang kelihatan memendam rindu, sang istri

Dalam kebingungannya, sebuah teriakan datang dari arah barisan penjemput.

“Papi, papi.”

Lantas bagaimana reaksi Pram?

Bergeming.

Sang peneriak, seorang gadis bermata bening mengulang teriakan dengan ucapan lain, “Ayahanda!”

Pram belum juga fokus.

Ia masih bingung.

Dan tak bereaksi.

Akhirnya, sang gadis semampai, yang kemudian diketahui bernama Astuti, berteriak lantang, “Ayah, ayah, ini aku, anakmu!”

Sang penulis “Bumi Manusia” itu akhirnya tersentak.

Ia baru sadar, para remaja yang dari tadi berdiri di hadapannya, dan lama ia tatap dengan bengong, adalah anak-anaknya.

Saat itulah Pram bereaksi.

Memeluknya.

Apakah wajar seorang Pram Bingunga?

Kebingunan itu adalah wajar. Sebab saat ia dibawa secara paksa ke Pulau Buru pada tiga belas tahun sebelum hari itu, usia Astuti, anak ke-empatnya itu masih sepuluh tahun.

Dan saat pertemuan itu, Astuti sudah berusia dua puluh tiga tahun.

Mereka tak pernah bertemu selama belasan tahun.

Sebenarnya keluarga boleh menjenguk, namun Pram memilih melarang istri dan anak-anaknya datang. Sebab ia khawatir, mereka tidak akan bisa kembali.

Jika keluarganya datang di Pulau Buru, Pram khawatir akan ada instruksi dadakan untuk menahan mereka sekalian.

“Di dalam suratnya ayah saya pernah berjanji menggendong saya kalau keluar. Mungkin saya dibayangkannya masih kecil. Jadi saya tanya, ‘Apa kuat?’ Dia bilang pasti kuat,” ceritanya.

Namun saat ternyata didapatinya anak-anaknya sudah beranjak dewasa, Pram tetap menepati janjinya tanpa ragu.

Dengan tubuh lebih berisi karena banyak bekerja di Pulau Buru, ia menggendong Astuti.

Rantang dan tikar yang ia bawa dari Pulau Buru, diletakkan begitu saja. Sementara barang-barang lainnya, kata Pram, lebih banyak dititipkan ke kawan. Salah satunya kapten kapal yang membawanya ke Jakarta.

Selama Pram di Pulau Buru, Astuti dan saudara-saudaranya memang “tak punya” ayah secara fisik.
Namun mereka tak kehilangan sosoknya.

Sang ibu tetap memasang foto Pram di setiap kamar anak-anak sehingga mereka merasa ayahnya tetap dekat.

“Secara finansial, ibu dari keluarga berada. Tapi ibu tetap menolak pemberian keluarganya. Ibu berusaha sendiri dengan jualan kue macam-macam,” cerita Astuti.

Pram dikenal sebagai penulis. Sastrawan kenamaan yang karyanya diterjemahkan ke banyak bahasa itu dianggap komunis dan berkali-kali ditahan sejak masa kolonial.

Astuti bercerita, penahanan terakhirnya yang sampai membawa Pram ke Pulau Buru selama belasan tahun lamanya, berawal dari kliping koran pertama yang didokumentasikan sang ayah. Lewat itu, Pram bermimpi meluruskan sejarah.

“Ada intel datang, meminta dokumen ditukar sama mobil terbagus di Indonesia zaman itu,” kata Astuti. Namun sampai tiga kali, Pram menolak.

Orang itu lantas berbicara, “Pram ibarat tikus, dan saya itu kucing. Saya bisa dengan mudah memangsa Pram.”

Benar saja. Tak lama kemudian, sekitar pertengahan Oktober di tahun prahara itu, terjadilah penangkapan di rumah Pram di kawasan Rawamangun, Jakarta.

Pada Oktober itu, Astuti terakhir bertemu ayahnya. Ia diambil dari rumah saudara di Batu Tulis Raya. Sempat terjadi perebutan, namun akhirnya Pram “menang.”

Ia pun tidur sambil memeluk erat Astuti malam itu.

“Sehari setelahnya dia diangkut, rumah dilempari batu,” cerita Astuti.

Militer menyerbu. Selain menangkap Pram, mereka juga bertanya, “Mana anak laki-lakimu?”

Pram pun menjawab, “Bersama ibunya.” Sang putra memang saat itu baru dilahirkan istrinya di rumah orang tuanya.

Anak laki-laki adalah impian Pram sejak lama. Sebelumnya, anak-anaknya perempuan. Karena itulah militer ingin membawa anak laki-laki Pram yang sudah diidamkan dari dulu.

Mereka menodong dan memukul telinga Pram dengan popor senapan. “Makanya Pram itu tuli,” tutur Astuti kembali melanjutkan.

Astuti ingat betul, penangkapan itu terjadi di rumah keluarganya yang sampai kini tak pernah dikembalikan.

“Malah dijadikan mess militer,” tuturnya.

Pram pernah menulis di sebuah catatan yang hingga kini belum juga diterbitkan, “Rumah yang diserang itu adalah rumah pertama yang kudirikan di Jakarta sebagai pengarang, pengarang doang. Anak-anak kubesarkan di sini.”

Pram mengaku tak pernah mendapat kembali rumahnya..

Keluarga Pram bak merayakan pesta setiap hari saat orang kebanggaan mereka kembali pulang. Setiap hari, ada saja tamu berdatangan.

“Kami menyiapkan makanan buat puluhan sampai ratusan orang tiap hari.”

Pram sendiri terus berkarya. Ia masih menulis, membuat buku, berusaha menuntaskan ensiklopedia yang menjadi mimpinya sampai ke akhir hayat.

Sebelum meninggal 30 April 2006, kepada Astuti ia sempat berpesan, “Semua ini saya serahkan ke engkau, Nduk. Tapi kalau itu membebani engkau, kau buang saja.”

Sampai kini, Astuti meninggali rumah peristirahatan Pram di usia senjanya itu

Siapa yang tak kenal Pram, panggilan akrab Paramudya Anantur.

Karya-karyanya dikenal dan bahkan dipelajari di sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia.

Dalam wawancara dengan majalah online The Progressive, pada tujuh belas tahun silam, Pram mengaku nyaman dengan perannya sebagai penulis yang selamanya tetap menulis, sama sekali tak melirik profesi lain.

“Saya merasa nyaman berada di tempat yang saya pilih bagi diri saya sepanjang hidup. Saya merasa tempat ini lebih tepat bagi saya saat ini dibanding menjadi anggota parlemen atau perdana menteri atau presiden.”

Kecintaan Pram pada bidang tulis menulis direfleksikan dalam Bumi Manusia, lewat pernyataan salah satu karakternya, “Tanpa kecintaan terhadap literatur, kamu bakal disamakan seperti kebanyakan hewan pintar.”

“Saya tak bisa melakukan hal lain, selain menulis,” kata Pram kepada The Progressive.

“Awalnya saya tak punya tendensi untuk menulis. Tapi saya gagal mencoba pekerjaan lain, jadi saya memutuskan menjadi penulis.”

Pram lahir di Blora, 6 Februari 1925, kala cengkeram kolonial Belanda di Indonesia masih kuat. Menurut laman Notable Biographies, Pram remaja menamatkan sekolah pada 1941, seiring meletusnya Perang Dunia II.

Walau hidup di zaman susah, tak melunturkan kecintaan Pram pada ilmu pengetahuan. Apalagi sang ayah, Mastoer Imam Badjoeri, adalah pendidik dan anggota Budi Utomo. Pram diwarisi kepintaran dan keteguhan hati.

Dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram menyebut Mastoer sebagai “orang Jawa yang memiliki sedikit rasa mistik terhadap kata-kata.” Katanya, nama Pramoedya merupakan silabel dari “Yang Pertama di Medan Perang.”

Demi melanjutkan studi di Surabaya, Pram menabung penghasilan selama membantu ibunya, Saidah, berjualan beras. Tapi perang keburu pecah. Semasa kolonial Jepang menguasai Indonesia, Pram bekerja di agensi berita Domei.

Ia pernah ditahan di awal kemerdekaan. Di dalam penjara, Pram membaca kopi novel epik Of Mice and Men karya John Steinbeck yang diberikan oleh sipir penjara. Ia juga tetap menulis untuk meretas tekanan batin sebagai orang yang terbelenggu kebebasannya.

Hasilnya, novel pertama Perburuan. Sejak itu, Pram aktif menulis novel, dari Keluarga Gerilya sampai Cerita dari Blora.

Tapi kemudian ia ditahan rezim Orde Lama Setelah bebas, ia berkiprah di media massa sayap kiri Bintang Timur Orde Lama tumbang oleh dan Panglima Kostrad, Soeharto, mengambil alih kekuasaan dan memimpin Orde Baru.

Pram, lagi-lagi, ditangkap dan dipenjara, pada Oktober 1965. Empat tahun kemudian dipindahkan ke penjara Pulau Buru.

Dalam penjara, Pram tetap menulis, walau tak mudah.

“Sebelum mendapat izin, saya harus menulis di balik punggung penjaga. Lama sekali saya tidak diizinkan menulis, jadi saya berlisan,” kata Pram kepada The Progressive.

Pada 1979, Pram dibebaskan dari penjara berkat campur tangan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, dan menjadi tahanan rumah di Jakarta.

Beruntung, ia diperbolehkan tetap menulis, dan lahirlah tetralogi Pulau Buru.

Keempat buku itu: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Begitu akhirnya dicetak, keempat buku ini menjadi mahakarya yang dikenal di berbagai belahan dunia dan diterjemahkan ke dalam dua puluh bahasa.

Awalnya Pramoedya Ananta Toer sempat pesimistis karyanya yang ditulis di Pulau Buru bisa keluar, dicetak dan dibaca banyak orang.

Saat diasingkan, Pram memang dibolehkan mengarang, bahkan difasilitasi mesin tik dan kertas.

Namun naskahnya tak boleh keluar dari pulau pengasingan di Provinsi Maluku itu.

Naskah tersebut bisa keluar dibawa oleh Tumiso, tahanan politik Pulau Buru sekaligus orang dekat Pram.

Padahal menurut Tumiso, awalnya Pram tak percaya orang-orang dekatnya saat di Pulau Buru bisa membawa pulang naskah yang diketiknya itu.

Tumiso menuturkan, Pram saat mengetik naskah tak hanya rangkap satu, tapi enam lembar.

Tujuannya untuk meminta bantuan orang-orang yang dipercayanya itu mengoreksi naskahnya itu.

Enam lembar hasil ketikan itu masing-masing untuk Pram sendiri, pakar hukum Suprapto, seniman Oey Hay Djoen, Tumiso dan dua orang lain.

“Pak Pram mengetik dan ditunjukan untuk dikoreksi kalau ada yang salah,” kata Tumiso

Menurutnya meski karya Pram selama ini adalah murni karyanya, namun belum tentu akan seindah seperti yang dibaca publik jika tidak dibantu oleh orang-orang dekatnya.

Misalnya soal hukum Suprapto akan memberikan masukan, sementara untuk aksi tani giliran Tumiso yang memberikan sumbang saran.

Lima orang dekat Pram ini, kata Tumiso tak cuma menerima lembaran naskah, namun juga bundelan atau kumpulan naskah yang sudah berbentuk buku.

Bundelan kertas yang sudah seperti buku novel itulah yang kemudian diselundupkan Tumiso keluar Pulau Buru.

Sejak awal Tumiso yakin, karya-karya Pram adalah karya kelas dunia yang layak dibaca banyak orang.

Hal itu juga yang jadi keinginan Pram meski ia tak yakin lima orang yang selama ini dititipi naskah ini bisa menyelundupkannya.

Apalagi saat itu komandan Pulau Buru selalu mengawasi Pram dan benar-benar menjaga naskah hasil karyanya bisa keluar. Karena itu Pram, kata Tumiso sama sekali tak menyangka naskahnya bisa ikut “bebas” bersama dirinya.

Sadar sejak awal bahwa naskah karya Pram adalah karya kelas dunia, Tumiso rajin menyimpan naskah yang dibuat satrawan asal Blora itu. Saat dibebaskan pada Desember 1979, Tumiso menggabungkan naskah-naskah tersebut dengan pakaiannya yang akan dibawa pulang.

“Saya bawa biasa saja, masukan ke dalam karung urea,” ujarnya.

Ia dibebaskan dari Pulau Buru melalui Surabaya menggunakan kapal laut.

Namun dari Surabaya Tumiso tak langsung bebas. Bersama Pram dan Oey Hay Djoen dan beberapa tapol lain ia dibawa ke Magelang, Jawa Tengah untuk dipenjara lagi.

Saat akan dijebloskan ke penjara ini Tumiso digeledah. Sadar bakal bermasalah dengan naskah-naskah Pram, Tumiso pura-pura jatuh dan mengaku sakit. Karena dikira benar-benar sakit, ia tak jadi digeledah dan diperiksa kesehatannya.

Hal yang sama juga terjadi saat dipindahkan ke sebuah penjara di Semarang. Namun ia kembali pura-pura sakit dan urung digeledah. “Pram baru tahu naskahnya selamat saat sudah di Semarang ini,” kata Tumiso.

Penggeledahan terakhir dilakukan saat Tumiso benar-benar dibebaskan.

“Saya sempat dicurigai penjaga karena mengaku sakit terus,” katanya. Ia bahkan sempat dihardik petugas dan disebut pengecut. Namun ia bersyukur meski sempat dicurigai, naskah karya Pram bisa selama.

Tumiso dibebaskan di Surabaya, daerah asalnya melalui Komando Daerah Militer setempat. Tak lama di Surabaya, Tumiso segera ke Jakarta pada awal 1980 untuk menyerahkan naskah Pram tersebut.

Naskah kemudian diserahkan pada penerbit Hasta Mitra, penerbit yang didirikan Pramudya bersama dua temannya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak.

Oleh penerbit tersebut, naskah-naskah Pram kemudian dicetak dan dipublikasikan sehingga bisa dibaca khalayak ramai sampai sekarang.

Delapan naskah yang kemudian menjadi buku diantaranya Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Empat novel ini sempat dilarang peredarannya peredarannya karena dinilai mengandung paham kiri.

Selain itu ada naskah yang berjudul Mangir, Arus Balik, dan Arok Dedes yang berhasil dicetak dan dipublikasikan.

Tags : slide