Untuk teman : basri emka…..
Setahu saya sejak kanak-kanak ia sangat aktif.
Ia tidak kesulitan ketika berkata-kata; ia menyukai bahasa; ia bisa menjelaskan secara fasih proses kreatif yang rumit untuk menghasilkan larik-larik yang tampak sederhana.
Bakatnya sudah muncul ketika masih di sekolah rakyat. Sekolah kampung yang hanya sepelemparan dari rumahnya. Ia sudah terampil merangkai kata di pelajaran mengarang.
Era itu mata pelajaran mengarang disejajarkan dengan pelajaran berhitung. olahraga, kesenian dan lainnya. Urutannya ada dalam rapor yang menyertakan angka-angka.
Di sekolah menengah atas ia pernah di dapuk jadi penulis skenario tonil remaja. Panggung sandiwara ala remaja di sekolahannya. Panggung tonil diakhir masa kegiatan sekolah.
Bahkan ketika lanjut kuliah dengan memilih fakultas pertanian sebagai kiprahnya ia masih mampu melarung kegiatan itu. Kegiatan proses kreatif.
Proses seorang sebagai penulis puisi, pemain tonil bahkan menjadi penyiar di sebuah stasiun radio. Radio milik sebuah pangkalan angkatan laut bernama arafuru. Stasiun radio di kawasan simpang lima.
Stasiun radio yang sangat terkenal dengan acara pilihan pendengarnya. Pilihan pendengar yang narasinya saling berpilin dalam bait-bait monolognya yang bak puisi itu.
Pilihan pendengar asuhannya itu menjadi lawan tanding dari acara serupa di sebuah stasion lain: ekspo 70. Ekspo yang milik teman saya yang dipancarkan dari sebuah toko tua. Di jalan perdagangan.
Saya tahu dari banyak komunitas remaja setengah tua kala itun acara ini menembus ke relung hati mereka di masa itu. Lagu pilihan pendengar yang dia sendiri pengasuh sekaligus penyiarnya.
Pilihan pendengar untuk sebuah daftar lagu yang tayang lewat warkat. Warkat yang dikirim untuk dibacakan. Warkat yang disertai pesan dan sapa uutuk si dia atau siapa saja…
Ia termasuk penyiar foavoritt. Penyiar bersuara gembur khas nada bariton. Sserak-serak basah.
Penyiar yang sempat di ledek dua gadis remaja di sebuah pagi tentang tampangnya yang tidak se bariton dan gembur yang hinggap di imaji penggemarnya.
Ledekan khas abege yang hambo ketika ia masih berbalut sarung belel dan mendengar percakapan dari teras kost-nya di kampung keuramat. Percakapan tentang kepenyiarannya.
Tentang balutan dan rajang pilihan kata yang ia semburkan untuk memancing antusiasme anak baru gede.
Dan cerita ledekan itu sering ia ulang setiap kali saya bertemu dengannya.
Hingga di pertumuan terakhir ketika saya bersilaturahmi dan ia harus menenteng tongkat kaki empat untuk bisa jalan beringsut.
Ledekan tentang ketidakpercayaan dua remaja perempuan itu terhadap face-nya yang “meugampong” di banding narasi yang mereka dengar bakda maghrib ketika acara itu tayang sangat dandy.
Ia sempat menyempal dipercakapan dua hi nyi itu dengan mengatakan, dirinyalah si penyiar acara pilihan pendengar di stasion radio arafuru itu.
Jawaban yang datang dari dua remaja itu sempat menerjangnya. “Ah gak… si penyiar itu pasti ganteng dan gagah. Bukan abang yang…..”, ujar salah satu si abege.
Ledekan itu diiringi tawa berderai kedua remaja dengan mencibir dan mengibaskan tangan serra berlalu sembari menggelengkan kepala sebagai ketidak percayaan mereka terhadap si penyiar.
Ia masih ingat kata-kata dari kedua perempuan itu: kami gak percaya. Si penyiar itu pasti lebih gagah dan ganteng. Kalau situ jelek ahhh….”
Padahal ia sudah menjelaskan kalau nama si penyiar itu dirinya.
Hahahah….. Kami selalu tertawa berderai kalau cerita ini terangkat kembali dari memorinya dalam setiap percakapan.
Ya … dengan si penyiar itu saya berteman sebagai sesama orang “asi lhok” Lhok tapaktuan. Negeri di pucuk selatan donya. Saya dan dia pernah sepantaranhidup. Bukan hanya sepantaran umur.
Sepantaran hidup ketika melata, merengkak untuk kemudian berlari dari sebuah asrama di kawasang blang pineung.
Usai lulus dari fakultas pertanian dan menjadi pegawai negeri sipil ia mundur dari kegiatan bicara. Ia memilih sesuatu yang lebih sunyi, yaitu membaca dan menulis.
Saya dan dia pernah menulis hura-hura piasan negeri kami dalam sebuah buku berisi kumpulan cerita sampah” kapa pasuak kapindiang beba”
Dari kesukaan membaca inilah ia dipertemukannya dengan kesunyian : puisi. Melahirkan beberapa antologi dan menularkan kegiatan berkesenian ini kepada banyak orang.
Apa yang disampaikan oleh puisi itu bisa ia jumpai sewaktu-waktu dalam kehidupan sehari-hari. Pada setiap kematian, misalnya, orang terbiasa merayakan kehilangan dengan sebuah melankoli:
“Kamu hidup selamanya dalam hatiku,” seolah-olah mereka sedang berbisik di telinga jenazah, seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan karena itu mereka mengatakan “selamanya”.
Bertahun-tahun, setelah ia sendiri menulis puisi, ia akan mempersembahkan banyak catatan dalam puisi-puisinya. Ia mempersembahkan ilusi, kefanaan, duka yang abadi, dan nasib yang getir.
Saya tahu jawaban kehidupan itu dari semua yang tampak, adalah ilusi.
Yang nyata, dan satu-satunya yang bermakna dalam kehidupan manusia, adalah kematian. Orang mematut diri, berdandan, mencari-cari celana terbaik—untuk menuju kuburan.
Saya gak ingin masuk kepembahasan karakter-karakter dalam puisinya. Bisa saja sebuah wisata, bisa berarti tempat kencan “kutunggu di kuburan,…. ya”
Saya sendiri tahu persis tentang tempat untuk menyelamatkan diri dari hidup, dari ilusi, dari duka yang abadi.
Ia berangkat sebagai seorang kreatif dari bakat. Bakat warisan dari ayahnya, seorang guru di di pucuk-pucuk negeri. Guru yang menginginkan anak menjadi orang cerdas.
Guru yang tahu tentang apa itu cerdas/ Cerdas memahami arti kehidupan.
Setelah melalui berbagai pekerjaan—menjadi aparat sipil dengan penjenjengan karir yang baku iia a memutuskan kembali kepada fitrahnya mencintai puisi.
Ia terus belajar, dari siapa saja, sebab ia yang suka membaca, sebab dengan cara itulah ia mencintai puisi, mencintai bahasa, dan mencintai orang-orang yang memikul duka abadi,
Dan karena ia mencintai, ia menjadi orang yang dicintai. Dan terus menikmatin larik-larik hidup tentang dari mana frase-frase itu berasal.
Ia memiliki bakat alami, ia memiliki ketekunan dengan bahasa, dan ia memiliki bahan yang berlimpah, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Ada kegetiran di dalam dirinya, kuat dan seringkali menekan, ada kegetiran di sekitarnya, dan ia menertawai dua-duanya dengan puisi.
Puisi yang tertawa merdu.
Puisi merdu yang serupa burung camar dalam sonata. Burung camar yang muncul pada saat fajar dari bumi yang murung dan bernyanyi di gerbang surga
Burung camar yang membawakan lagu tentang mereka dan untuk mereka yang bahkan tidak pernah mendengar namanya.
Burung camar itu bernama basri emka. Basri yang teman dalam kesejarahan hidup saya yang kini terkulai dalam pelukan waktu meniti hari-hari kesepian……