close
Nuga Tokoh

Dia “Mutiara” Birokrat Yang Entrepreneur

 

Lagu itu milik Ernie Djohan.

“Mutiara yang Hilang.”

Berirama “slowly.” Sering saya gumamkan dengan memelesetkan dua kata di bagian tengah syairnya

Kata “dulu” dan “lagi”

“Mutiara yang hilang ….

Jumpa …. ”

Kata “…yang hilang itu “dulu” dan ” lagi”  sengaja saya dendangkan denga kata …”nanti.”

Lagu itu, bukan hanya karena syairnya yang menyentuh. Tapi makna hakiki dari kehidupan saya dengannya. Dengan lelaki, itu. Yang tak pernah  tergerus oleh waktu

Lelaki itu memang “mutiara” bagi saya. Karena ia telah mengisi lebih dari separuh perjalanaan kefanaan duniawi saya. Kefanaan yang saya maknakan sebagai mutiara kehidupan.

Tiga puluh tiga tahun sejak saya disuntingnya.

Mutiara yang telah lama kucari…jumpa lagi…dan … pisah lagi.

Pisah dikematian ragawi. Tidak dikematian hati. Karena ia masih hidup dihati saya. Diingatan saya, dan dikenangan saya. Serta, .terus menyertai kehidupan saya. Hari ini dan nanti.

Lelaki itu, Haji Azwir.

Namanya dalam satu sebutan  kata.

Sepanjang saya tahu ia tidak pernah menuliskan nama trahnya. Cukup satu kata dan selesai.

Sama dengan personafikasi dirinya yang menganggap selesai semua masalah, kalau ada yang membelit pikirannya. Ia seorang humble. Terbuka dan nggak neko-neko.

Dia suami saya. Yang telah dipanggil-Nya” di awal Desember dua tahun lalu di Singapura. Pasnya di tahun 2019. 2 Desember.

Ia pergi dalam pelukan saya. Dalam ketenangan tanpa beban “hutang” pikiran.

Azwir dalam posisi suami saya paripurna. Dan saya juga tahu ia  paripurna dalam entitas karir birokrasinya. Karir birokrasi  yang panjang dengan meninggalkan jejak yang bisa ditestimoni secara personal.

Tanyakanlah kepada tapak-tapak rumah karir birokrasinya. Pakailah ukuran baku tentang fungsi dan tugas yang pernah diembannya. Saya tidak mengatakan ia sempurna. Ia juga makhluk.

Namun begitu, ukuran keteladanannya  bisa dihamparkan untuk mendapatkan plus minus seseorang dalam perjalanan karirnya.

Saya. dalam menulis episode lelaki ini, semula, kesulitan dalam merangkai kata untuk sebuah judul. Banyak kata yang saya sambungkun. Tak pernah utuh. Terjadi sengkarut yang berulang-ulang.

Kalau pun, akhirnya, saya mendapatkan  rangkaian kata dengan judul ; ” Dia “Mutiara Birokrat  Yang Entrepreneur,” Itu adalah hasil perenungan panjang saya setelah menelusuri bentangan jalan yang pernah ia lewati.

Anda nggak usah menanya tentang kata “dia” dan “mutiara” dalam judul itu. Anda pasti sudah mafhum.

Tentang kata “birokrat” sendiri, rasanya tak usahlah saya detilkan secara harfiah

Sebab, kata “birokrat” siapapun tahu.

Kata pasaran yang  berarti  pekerja di lembaga pemerintah, yang kini lebh populer dengan sebutan aparatur sipil negara. Rasanya, untuk terjemahan lanjutannya Andalah yang paling tahu.

Tapi, untuk kata “entrepreneur” perlu sedikit ada penjelasan. Tak banyak orang yang tahu tentang kata ini. Dan kalau diterjemahkan kedalam bahasa baku sehari-hari ia bisa diidentikkan dengan pengusaha

Dan saya tak ingin merumitkan Anda dengan kata ini.

Mari kita kutip saja dari ahlinya. Yoseph Schumpeter, seorang ahli ekonomi dari Austria, mendefinisikan entrepreneur sebagai  seseorang yang ingin dan mampu untuk melakukan perombakan sistem, mengubah ide baru atau penemuan baru menjadi sebuah inovasi yang sukses.

Mengisi jiwa seseorang dengan entrepreneur  tidak mudah Sebab  penghalang terbesarnya, adalah,  apakah ia mampu  memuliakan usaha. tanpa takut akan resiko  yang di hadapi

Banyak yang berhenti di tengah jalan dalam menjalani ritual ini. Dan banyak juga di antara mereka yang mundur dalam mengisi jiwa  entrepreneur tersebut.

Saya tak mengatakan seorang Azwir berhasil sepenuhnya mengisi jiwa entrepreneurship dalam seluruh kehidupannya. Tapi saya merasakan roh itu ada  kala ia berkarir.

Berkarir di cabang birokrasi dan menempatkan diri sebagai entrepreneur. Dan saya tahu kenapa “roh” ini ada dalam dirinya.

Untuk Anda tahu, Azwir ini datang ke birokrasi dengan latar “panggaleh.”

Latar belakang pedagang. Latar yang menempatkan tataran  untung rugi dikepalanya Latar yang kemudian dikuatkan oleh jenjang pendidikanya

Pendidikan sekolah menengah pertama ekonomi. Kala itu bernama smep. Untuk kemudian ia melanjutkannya di alur yang sama, ke-smea.  Di Kutaraja.

Dalam kesehariannya selama menempuh pendidikan di sekolah ekonomi di Kutaraja, ia tak melepas profesi “panggaleh”nya.

Ia bekerja part time, paruh waktu, sebagai pengumpul “boh dan bungong” pala di  jalan Bakongan.

Jalan yang kini telah menjadi bagian pekarangan belakang Masjid Raya Baiturrahman.

Pilihannya sebagai “penggaleh” pala pas dengan kultur gampong kelahirannya, Meukek di Aceh “Ketelatan” eehh ehh, aceh Selatan. Gampong penghasil pala.

Gampong dimana pergulatan ekonomi keluarganya menyatu dengan komoditas ini.

Perjalanan hidupnya sebagai “panggaleh” ini ia sinkronkan dengan ritme pendidikannya. Ia surprise sebagai “pangaleh” dan mampu menuntaskan pendidikannya.

Kala menempuh pendidikan di apdn, akademi pendidikan dalam negeri, ia tetap menjadi “panggaleh.” Berdagang di panglung kayu. Di Gampong Baru.

Jiwa dagang yang dimiliki adalah warisan sejarah tanah kelahirannya. Tanah yang menghasilkan “panggaleh” hebat.

Anda mungkin tidak tahu siapa seorang Amran Zamzami, Amelz, toke Nyakman.

Anda juga  harus tahu juga siapa Syahim Hasmi atau pun Marzuki Nyakman

Carilah nama-nama ini di search google dan Anda akan menemukan jati diri mereka.

Mereka ini merupakan anak-anak Meukek yang sukses mengawinkan jiwa entrepreneur dengan birokrasi dan politik di zamannya.

Suami saya Azwir adalah produk negeri itu.

Produk ketika  usai menjalani ritual “panggaleh” dan pendidikan tingginya di Kutaraja untuk kemudian memilih jalur birokrasi guna melanjutkan kiprah kehidupannya.

Untuk itulah, kemudiannya, ia memilih pulang ke Tapaktuan untuk memulai karir kepegawaiannya hingga mengakhiri sebagai bupati.

Kepulangan yang unik kala ia, entah kebetulan, bersama abang saya Darmansyah, yang sedang memulai pergulatan hidupnya sebagai  wartawan, mengantarkan Teuku Ridwansyah sebagai calon tunggal terpilih bupati Aceh Selatan menggantikan Sukardi Is.

Entah kebetulan juga,  kepulangan mereka,  Ridwansyah, abang saya dan Azwir, yang kemudiannya menjadi suami saya,  langsung menempati pendopo kabupaten di kampung Hilir.

Pendopo bupati sekarang.  Pendopo baru. Yang sebelumnya berada di depan Polsek Tapaktuan. Di kawasan muara krueng selurah

Dari pendopo inilah ia memulai kiprah birokratnya.

Untuk itulah, ketika ia memulai masa jabatannya sebagai bupati, saya dibawanya dengan perasaan ringan. Ia seperti  kembali ke “rumah” lamanya. “Rumah” tempat ia menapak karir pejabatnya.

Bukan hanya kembali ke”rumah” lamanya itu, ia juga melangkah ringan kala mendapatkan jabatan prestise itu.

Ia tidak terobsesi dengan simbol kemegahan jabatan itu karena ia pernah menjalani sebagai pejabat di posisi yang sama. Walaupun dalam status yang berbeda

Kala ia ditunjuk sebagai pejabat Bupati di Nagan.

Entahlah…. dengus saya dalam satu tarikan nafas mengenang hari-hari ia membawa saya kembali ke “rumah” karirnya.

Hari-hari yang sering membuat saya nelangsa ke masa-masa awal saya hidup satu atap dengannya.

Kala ia bukan siapa-siapa di alur birokrasi. Kala ia  hanya menenteng tas milik Ridwansyah, sang bupati,   sebagai pegawai pemula.

Saya tahu jalan awalnya ini. Walau ia tak pernah bercerita secara spesifik sepanjang perkawinan kami. Saya hanya bersikap tawaduk terhadapnya. Tawaduknya seorang istri.

Dan dalam perjalanan kami selanjutnya, saya berupaya untuk terus berbagi kasih dengannya. Berbagi untuk saling melengkapi. Saling mengisi kekurangan.

Saya tidak ingin berada di latar depan karirnya. Saya hanya melangkah kalau ia sudah memulainya. Saya menjaga jarak dengan jabatan yang emban.

Ia pun tahu  memposisikan tempat saya disisinya. Posisi dengan garis batas yang tidak boleh dilampui.

Sepanjang saya mendampinginya, secara tersirat, kami memang membuat garis demarkasi permanen. Garis untuk menghindari kebebasannya untuk berkiprah.

Namun begitu, dalam posisinya sebagai suami saya punya kewajiban untuk mengisi dan mengingatkannya tentang hakekat hidup keduniawaan

Dengan latar belakang saya sebagai pengajar  berbasis pendidikan agama saya secara santun dan terus menerus menjadi tempatnya bertanya tentang maknawi kesalehan.

Makna keampuhan doa dan makna  menuju bentangan jalan Illahi.

Semua ini saya lakukan dengan cara mengabari. Cara berbagi. Bukan mengajari. Sebab saya bukan guru kehidupannya. Saya adalah pasangan hidupnya. Karena ialah pemimpin. Karena dialah pengayom.

Dan itulah yang secara konsisten saya lakukan. Saya lakukan ketika ia berangkat dari satu jabatan ke jabatan lain. Dari satu organisasi ke organisasi lain.

Saya tak ingin mengurut jabatan dan posisi apa yang pernah diembannya. Terlalu panjang untuk dirangkai dan saya tidak ingin masuk ke perangkap ria sembari mengumbar kehebatannya.

Sebab, sebagai muslimah,  saya tahu semua jabatan dan posisi yang ia dapatkan adalah amanah.

Amanah untuk kebaikan.

Sampai dipenghujung tulisan ini saya terpana dalam senggukan.

Bulir-bulir air mata menggenang di pelupuk mata saya. Dan saya tak sanggup lagi memanjangkan taklimat tentang “mutiara” ku yang telah “pergi” keharibaan-Mu.

Saya hanya mampu berrgumam lirih,”damailah engkau suamiku, Azwir. Damailah roh mu dipangkuan Illahi. Saya akan menyusul kelak di kedamaianmu itu.”

Ya Rab… berilah tempat terbaik untuknya……

Penulis      :  Sang Istri, Jafnimar Jakfar