Sepenggal Episode untuk H M Dahlan Sulaiman
————
Hari itu minggu. Di penanggalan hari kesebelas bulan september.
Angka waktu di handphone saya menunjukkan jam tiga lewat satu menit ketika pesan itu datang lewat bunyi tring…di aplikasi facebook.
Di langit “dago bawah” saat bunyi tring itu..awan hitam sedang menggelantung. Saya sedang berkutat menelisik sebuah rumah makan yang selalu jadi persinggahan, “nasi bancakan”
Saya ngah. Membiarkan si bunyi tring. Dan fokus mengatasi kesumpekan. Kendaraan yang saling berhimpitan ketika renyai gerimis mulai berjatuhan.
Parkiran menjadi rebutan di “jalan terunojoyo” tempat makan favourit saya.
Saya bersiasat. Memperlambat laju kendaraan karena ada celah sempit disudut belokan rumah makan “nasi bancakan” itu yang tersisa.
Plas… Saya bisa menepi. Parkir lewat panduan “pak ogah.”
Lantas?
Masih di belakang kemudi, sang handphone yang membunyikan suara tring saya rogoh dari kantong celana. Saya menemukan kata: pertemanan diterima.
Selanjutnya muncul profil keluarga dari sebuah nama : h m dahlan sulaiman.
Sembari melangkah keundukan rumah makan “nasi bancakan” itu saya memainkan jemari memencet fitur pesan. Menulis: terima kasih bang .. salam sehat..
Langsung ada balasan: alhamdulillah salam sehat juga…
Selanjutnya bla…bla…bla… Pertukaran pesan di aplikasi facebook. Saling mendahului. Belum habis tarian ibu jari saya merangkai kata, blas… muncrat pesan dahlan sulaiman.
Begitu seterus. Berkejaran pesan. Saling mendahului.
Sangat akrab pertukaran pesan ini. Diawalnya.
Ketika saling pesan itu menjalar di di pertengahan bla…bla..mencuat keraguan dari remang-remangnya memori dahlan terhadap sosok utuh diri saya
Persambungan akar memori h.m.dahlan sulaiman sepertinya belum cun
Ia masih meraba lewat kalimat tanya . “Maaf saya lupa. Kalau nama saya ingat tapi belum bisa membayangkan phisik dan wajah adinda.”
Saya membalas dengan cuek. “pasti ingat”- Menyebut nama- sembari menambahkan rumah persinggahan yang pernah saya tapaki.
“Saya pernah singgah di ,,,, dan ,,, dengan modal awal di “berjuang”
Saya sengaja nggak menulis tempat yang berisi titik-titik itu. Saya ingin menuliskan “modal awal.” Menyebut sepenggal kata: “Berjuang.”
“Berjuang,” sebuan nama koran mingguan yang dilahirkan anak muda atas nama perjuangan. Perjuangan aksi pelajar di ujung era orde lama. Era “ganyang pe-ka-i”
Yang nama pemulanya didahului dengan “kappi”. “Kappi Berjuang.” Yang entah bagaimana metamorfosanya, akhirnya sang koran menyandang nama satu kata, “berjuang.”
Saya tahu, “berjuang” itu adalah sebuah pakem histori. Pakem ganyang. Sebuah kata yang amat popular di tahun enam puluh enam.
Nama yang dilekatkan ke sebuah angkatan. Bukan angkatan di ketentaraan.
Angkatan anak muda yang memporakporandakan sebuah toko serba ada milik toke A Nyie di kawasan jalan sisingamangaraja, peunayong. Ganyang di era yang serba “chaos.”
Dan dahlan sulaiman ada dalam putaran “chaos” itu dan mengambil jalan brilliant. Menyuarakan aspirasi pelajar lewat media.
Media yang disana ada nama-nama tenar di zamannya. Sayed mudhahar achmad dan teuku syarief alamuddin untuk menyebut sedikit nama. Yang juga ada nama lainnya, hasbi dan syofyan Ibrahim tiba.
“Berjuang” memang identik dengan dahlan sulaiman. Identik dengan sayed mudhahar ahmad. Plus teuku syraief alamuddin. “Berjuang” yang keras, kenyal dan aspiratif, Malah bisa disebut garang.
Kegarangan ini tercermin dari “bombas”nya judul dan isi beritanya.
Judul dan isi berita yang pernah menyeret sang koran ke ranah hukum lewat pertanggungjawaban pemimpin redaksinya sayed mudahar ahmad sebagai terdakwa di pengadilan negeri kutaradja.
Pertanggungjawaban terhadap berita headlinenya: “tangan besi danramil samatiga menyebabkan tewasnya seorang penduduk.”
Saya sendiri tahu duduk soal pemberitaan itu. Masih sebagai mahasiswa di fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat. Saya salut dengan “Berjuang” yang bisa garang dengan institusi tentara.
Yang menyebabkan seorang panglima kodam, brigadir jenderal teuku hamzah bendahara, marah dan menggugat.
“Berjuang” tak dibreidel. Cukup dengan keputusan pengadilan negeri yang menjatuhkan hukuman percobaan terhadap sang pemimpin redaksi.
Hakim ketuanya yang menghunjam palu vonis saya ingat. Din muhamad. Anak keturunan india. Adik dokter nek muhammad.
Ah… sedikit melenceng dari topik utama, Nggak apa. Maaf!
Saya sendiri pernah singgah di rumah “berjuang.” Ketika memulai karir sebagai wartawan ecek-ecek. Wartawan ecek-ecek dari koran perjuangan di rubrik sastra. Ketika sang koran mingguan berkantor di jalan teuku nyak arief.
Persisnya depan gedung megah de-pe-er. Yang sekarang sudah berganti bangunan sebagai bank tabungan pensiunan negara.
Pesan tentang rumah persinggahan inilah yang menyebabkan akar serabut memori bang Dahlan-begitu saya selalu menyapanya- dari dulu hingga hari itu, tersambung lewat blasss.. jawaban: “Kalau itu saya ingat”
Kemudiannya, ia meminta nomor ponsel saya dan berjanji akan menelepon hari berikutnya.
Saya mengiyakan. Dan menutup pertukaran pesan ketika sedang menikmati nasi pecal kaderok khas sunda milik warung _nasi bancakan.”
Belum usai disuapan kelima kaderok itu handphone saya menggemakan suara kriing… Saya lirik. Wuahh … dari bang dahlan. Ya sudah. ….Kaderok terpinggirkan. Saling ha..hi..hu .. ramai.
Lanjutannya bla..bla..bla panjang.
Panjang sekali. Dengan tema liar. Yang terkadang out fokus. Ngelantur. Khas pembicaraan awak jurnalis. Dan saya tahu dahlan adalah seorang jurnalis sebelum jadi “toke.”
Yang setelah berstatus jadi “toke” saya tak tahu apa ia masih seorang jurnalis. Hanya bang Dahlan yang bisa menjawabnya : apakah masih bagian jurnalis itu
Sebab yang saya tahu “journalism a never die.” Wartawan tak pernah mati.
Sebagai seorang toke pun, dulunya, di penghujung tahun seribu sembilan ratus tujuh puluhan, seingat saya, dahlan masih jurnalis.
Jurnalis plus toke yang menerbitkan sebuah koran bernama “palapa”
“Palapa” yang menjadi lanjutan metamorfosa “berjuang” Yang kantornya di sebuah jalan mohd jam. Yang kawan saya, abang saya, hasyim ks pernah berumah disana.
Saya tak tahu kenapa harus “palapa.” Saya belum menanyakan ke dahlan. Dan ingin menanyakan sampai ke akarnya. Untuk saya tulis.
Sebagai wareh seorang penulis terhadap eksistensi media di nanggroe indatu.
Karena kehadiran “palapa” saya anggap fenomenalnya sebuah koran harian. Walaupun dicetak di medan. Fenomenal juga bagi saya karena menjelang hari “kematiannya” pernah di-iklankan.
Saya sendiri mengingat “palapa” itu dikeramangan. Sebab, kala itu, saya sudah kecemplung sebagai wartawan benaran di media sangat prestise di Jakarta.
Media dengan jargon “enak dibaca dan perlu.” Media yang memiliki catatan pinggir sebagai puncak tulisan kritis bergaya essai. Anda pasti tahulah nama majalahnya beserta penulis catatan pinggirnya.
Sebagai seorang toke Dahlan pernah memimpin Kadin Aceh. Kadin yang menjadi “rumoh” para toke berhimpun. Toke benaran. Bukan toke kelas “bangku” pasar penayong.
Selain itu saya tak ingat perjalanan Dahlan sebagai toke.Saya hanya pernah mendengar ia seorang pengusaha. Bukan saudagar. Nggak ingat hingga bla..bla itu berhenti akibat sinyal jongkok.
Entah jongkoknya di dago bawah atau pun di nanggroe indatu sana.