close
Nuga Tekno

VR Pilihan Realita Indera Manusia?

Virtual Reality atau lebih akrab disebut VR adalah teknologi yang mampu menghidupkan realita alternatif bagi indera manusia.

Tak heran produsen dan pengembang game berbondong-bondong memanfaatkan teknologi VR untuk memberi pengalaman baru bagi pemain.

Di tempat lain, sejumlah peneliti, jurnalis, seniman, serta aktivis mengambil perspektif berbeda dari teknologi VR.

Mereka melihat VR sebagai alat yang dapat menggugah empati seseorang. Misalnya seperti melihat kehidupan warga terjangkit Ebola atau merasakan kehidupan masyarakat di Gaza.

VR bukan lagi tentang video game. Jeremy Bailenson, peneliti di Stanford, terpana dengan teknologi VR untuk pertama kalinya sewaktu duduk di bangku kuliah.

Namun ia bukan lagi mahasiswa. Bagi Balienson VR adalah alat yang berpotensi membuat dunia jauh lebih baik.

Lebih dari satu dekade, Balienson mempelajari VR agar manfaatnya dirasakan lebih banyak orang. Beragam eksperimen dilakukan bersama relawan.

Misal dengan menjadikan pengguna VR sebagai Superman, peneliti dapat melihat apakah mereka akan jadi lebih penolong.

Contoh lain menjadikan mereka sapi, untuk melihat apakah mereka akan mengurangi konsumsi daging.

Metode ini tak hanya menarik empati. Pada masa depan alat ini bisa menjadi medium yang dibutuhkan biro periklanan dan pemerintahan dalam membuat kampanye yang lebih efektif.

Tak kalah penting, semua hal tadi bisa dilakukan tanpa kertas yang mana kabar baik bagi lingkungan hidup manusia.

Sebuah studi oleh Bailenson yang melibatkan mahasiswa, menempatkan mereka bertatapan dengan diri mereka yang telah berusia tujuh puluh tahun. Setelah eksperimen itu mereka ditanya apa yang akan mereka lakukan jika mendapat uang kaget  dalam sebuah kuesioner.

Satu eksperimen lain adalah menempatkan partisipan menebangi pohon dengan mesin gergaji.

Pada akhir eksperimen, partisipan yang telah menebang pohon terbukti lebih sedikit menghabiskan tisu ketimbang partisipan yang hanya membaca tentang proses penebangan.

Meski terlihat menjanjikan, eksperimen itu memiliki masalah. Partisipan yang terlibat sekadar mencakup mahasiswa di kampus yang bersifat homogen dan eksklusif.

Sedangkan Bailenson ingin VR sebagai alat penggugah empati bagi semua kalangan. Itu sebabnya ia memutuskan memperluas eksperimen ini dengan seribuan partisipan dengan latar belakang beragam.

“Kami tak yakin VR bisa berhasil di semua orang,” ujar Bailenson.

Dengan latar belakang beragam seperti etnis, dan umur, penelitian berikutnya akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Oleh karenanya, ia dan tim berkeliling ke mall, museum, dan perpustakaan, mencari orang-orang yang pernah mencoba VR.

Tantangan berikutnya adalah seberapa lama efek positif dari VR ini dapat bertahan menggugah empati seseorang. Akan sangat percuma bila mereka yang sadar menggunakan tisu berlebih akan kembali lagi ke pasar untuk membeli tisu.

Untuk mengatasinya, penelitian mendatang akan dirancang hingga enam bulan ke depan setelah eksperimen dengan VR.

Peneliti bertujuan melihat apakah perubahan perilaku yang terjadi bisa bertahan selama periode tersebut.

“Tak ada yang tahu apa yang terjadi dalam periode tersebut. Penelitian jangka panjang ini sangat penting,” ujar Mel Slater peneliti VR di University of Barcelona dan University College of London.

Eksperimen berniat mulia ini akan menghadapi tantangan terbesarnya dalam menangani potensi kerusakan yang diakibatkan VR.

Bailenson bahkan menyebut potensi VR sama seperti uranium. “VR seperti uranium, bisa menghangatkan rumah dan bisa menghancurkan dunia.”

Menurutnya segala sesuatu yang punya kekuatan memengaruhi perilaku lebih baik selalu bisa diselewengkan.

Sebuah studi lain dari Bailenson pada tujuh tahun lalu membuktikannya.

Alih-alih menimbulkan empati, eksperimen membuatkan avatar partisipan dengan kulit lebih gelap justru menimbulkan stereotipe negatif terhadap orang kulit hitam.

Meski studi ini belum menggunakan VR, hasil tersebut cukup membuatnya khawatir.

“Kita ada di persimpangan waktu di mana VR relatif baru dan sekadar alat bersenang-senang. Lebih lama kita melihatnya, akan lebih kecil dampak yang dihasilkan,” ucap Hal E. Hershfield, profesor di UCLA.

Apa yang ditawarkan oleh kecanggihan VR merupakan pengulangan yang terjadi tiap teknologi baru datang.

Film, komputer, hingga nuklir pernah mengundang kekhawatiran pada masanya. Hanya lewat penelitian lebih lanjut, impian Bailenson terhadap VR akan terwujud seperti halnya film, komputer, dan nuklir.

Sementara itu SpaceVR, perusahaan asal San Francisco, Amerika Serikat, akan segera meluncurkan satelit kamera untuk menyajikan wisata luar angkasa lewat teknologi virtual reality.

Menurut pernyataan pers yang dimuat di laman resminya, Overview 1 akan dikirimkan ke stasiun luar angkasa internasional  bersamaan dengan misi CRS-12 SpaceX.

Dari sana, satelit kemudian ditempatkan di orbit rendah bumi lewat NanoRacks Cubesat Deployer.

“Mimpi saya, ketika saya pertama kali mendapatkan ide ini di hackathon,  adalah meluncurkan satelit VR dengan NanoRacks.

Dia menyebut kesepakatan ini adalah pencapaian terpenting sepanjang perjalanan perusahaannya.

“Kami sangat senang perusahaan luar angkasa lain telah memilih NanoRacks untuk merealisasikan mimpinya.

SpaceVR menjanjikan era baru dalam menghubungkan konsumen di seluruh dunia denga kecantikan luar angkasa,” kata CEO NanoRacks Jeffrey Manber