close
Nuga Tekno

Akun Media Sosial Bisa Memicu Depresi

Coba cek, berapa banyak situs media sosial yang Anda miliki di ponsel Anda. Apakah Anda hanya aktif dan selalu aktif di Facebook — atau aktif di semua platform, mulai dari Facebook, Instagram, Snapchat, dan juga Twitter secara bersamaan?

Psstt..

Jawaban Anda bisa mengungkapkan banyak tentang kesehatan mental Anda.

Rupanya, semakin banyak akun media sosial yang Anda miliki, semakin besar peluang Anda untuk mengalami depresi dan kecemasan. Waduh!

Tim peneliti asal University of Pittsburgh menemukan bahwa orang-orang yang terlibat aktif dalam tujuh dari sebelas situs media sosial paling populer — Facebook, YouTube, Twitter, Google Plus, Instagram, Snapchat, Reddit, Tumblr, Pinterest, Vine, dan LinkedIn — dikaitkan dengan tiga kali peningkatan risiko terhadap depresi dan kecemasan, dibandingkan mereka yang menggunakan hanya satu-dua media sosial atau tidak sama sekali, bahkan setelah penggunaan medsos telah disesuaikan dengan total waktu yang dihabiskan di masing-masing situs.

Para peneliti tidak menutup kemungkinan bahwa hubungan antara menggunakan banyak akun medsos dan gejala kecemasan dan depresi adalah hubungan sebab-akibat langsung.

Di satu sisi, bisa jadi bahwa orang yang menderita depresi atau kecemasan, cenderung terlibat dalam lebih banyak pilihan situs media sosial.

Menggunakan banyak platform sekaligus dapat menjadi cara untuk mencari tahu saluran mana yang paling terasa nyaman untuknya berekspresi dan juga membuat mereka merasa diterima oleh komunitas pengguna di dalamnya.

Namun keterkaitan ini juga bisa muncul pada orang-orang sehat yang jumpalitan berusaha keras mempertahankan eksistensinya di beberapa platform berbeda, dan kemudian tekanan ini memicu gejala depresi dan kecemasan.

Misalnya, seorang selebgram dengan ribuan followers yang harus berurusan dengan celaan dan komentar negatif, tapi di saat yang bersamaan ia harus tetap menampilkan persona diri yang profesional di mata publik.

Beralih antara platform medsos berbeda, alias multitasking, bisa berdampak pada kesehatan mental penggunanya.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Stanford University menemukan multitasking terbukti sebagai metode penyelesaian tugas yang kurang produktif daripada menyelesaikannya satu demi satu.

Selain itu, orang yang menerima beberapa aliran informasi elektronik, seperti notifikasi, cenderung tidak mampu memperhatikan, mengingat informasi, atau beralih dari satu tugas ke yang lain sebaik orang-orang yang menangani satu hal pada suatu waktu. Multitasking diketahui terkait dengan hasil kesehatan kognitif dan mental yang buruk.

Di sisi lain, setiap situs media sodial memiliki satu aturan tak tertulis, asumsi budaya, dan keistimewaannya masing-masing.

Ini dapat semakin mewalahkan penggunanya untuk mengurus dan mengelola profil dunia mayanya ketika penggunaan akun situs media sosialnya semakin bertambah. Hal ini bisa mengakibatkan suasana hati yang negatif dan emosi.

Ada juga lebih banyak kesempatan untuk melakukan blunder di media sosial, yang bisa dijadikan isu viral yang berujung pada rasa malu yang berulang — semakin banyak blunder Anda di-share dan diperbincangkan, semakin sering Anda harus mengalami flashback kenangan buruk, dan juga (mungkin) penyesalan.

Stres mental ini bisa mengganggu kesehatan kognitif.

Tentu saja, seperti dua sisi mata uang, kita juga tahu bahwa media sosial tidak selalu semuanya berdampak negatif.

Menjadi netizen aktif dalam berbagai platform media sosial bisa memberikan manfaat positif dalam cara memberikan individu rasa keterlibatan dalam masyarakat, membantu orang untuk merasa tidak sendirian, lebih merasa didukung, dan memiliki harapan.

Memahami arah kaitan antara sosial media dan depresi penting untuk ke depannya.

Jika penggunaan media sosial dapat menyebabkan atau memperburuk depresi, ada pekerjaan besar yang harus dilakukan untuk meneliti apa alasan di baliknya sehingga berpotensi membimbing pengguna yang berisiko tinggi untuk menjauh dari situs-situs tersebut.

Di sisi lain, jika orang-orang yang depresi beralih ke media sosial untuk mencari dukungan emosional — dan jika terbukti bahwa hal itu dapat membantu — maka kita mungkin benar-benar ingin mendorong penggunaan media sosial di antara pasien depresi.

Di penghujung hari, semua ini akan kembali lagi kepada pentingnya menemukan keseimbangan yang sehat dalam berinteraksi di dunia maya — dan dengan mengingat bahwa apa yang biasanya selebram unggah ke lamannya hanya versi realita yang telah melalui proses editing njelimet.