close

Saya hanya seorang reporter.

Itu sebutan keren. Untuk seorang wartawan lapangan. Yang kerjanya nggak beda dengan buruh. Makanya dulu wartawan lapangan ini dipanggil dengan “koeli” tinta.

Entah sekarang. Saya nggak tahu. Mungkin pekerjaan ini sudah jadi orang kantoran.

Anda jangan dulu tersenyum dengan “koeli” ini. Itu bukan ejekan. Benar lho!

Saya mengalaminya. Sebagai “koeli.”  Benaran. Datang pagi pulangnya pagi. Pagi lagi dan pagi lagi. Istirahatnya? Di kolong atau di atas meja. Istirahat tidur.

Bisa juga di kolong jembatan kalau lagi banjir.

Makannya? Kapan saja, dimana saja dan apa saja.

Wartawan lapangan yang koeli tinta ini  kerjanya menulis hasil reportase. Bahasa kerennya hasil liputan. Disuruh-suruh mandor yang bernama redaktur. Disuruh tanya ini itu. Disuruh cari abecede.

Yang kemudian hasil liputannya diedit oleh editor. Istilah lainnya dipoles. Diberi bedak dan gincu agar menor supaya  laku dijual untuk menyenangkan …. Anda tahu isian titik ini.

Liputan editan inilah yang kemudian Anda baca sebagai sebuah berita. Senang atau tak senang.

Saya sendiri ketika masih berkiprah di sebuah media pernah juga menjadi redaktur. Tapi ujung katanya “pelaksana.”

Dan disebuah waktu lain pangkal katanya “senior” didepannya. Tertulis di box redaksi sebagai redaktur pelaksana dan senior editor. Tapi untuk card name saya tetap menulisnya sebagai reporter.

Padahal, dikalangan jurnalis, jabatan senior editor itu lebih prestise dari chief editor atau pemimpin redaksi walaupun kerjaannya cepek. Hanya duduk santai di rapat redaksi.

Penyebabnya saya lebih bangga sebagai reporter.

Seorang reporter itu, umumnya,  paling malas kalau harus diceramahi narasumber dengan angka-angka dan peraturan beserta turunannya. Entah kalau reporter masa kini. Untuk memanjangkan tulisan.

Karena habitat saya dari sononya maka hingga hari ini saya paling nggak suka kalau nulis angka yang sering disodorkan sumber berita. Kalau pun ketemu angka yang tak bisa dielakkan saya berdamai dengan menulisnya dalam kalimat.

Tanggal dan tahun saja saya tulis dalam kalimat. Apalagi kalau menyangkut angka pertumbuhan, persentasenya atau jumlahnya.

Begitu juga ketika saya tertarik untuk menulis tentang otonomi khusus Aceh.

Otonomi yang akan menjalani trase baru pada tahun depan setelah lima belas tahun hadir sebagai implementasi perjanjian damai antara Aceh dan Jakarta. Di Helsinki, Swedia.

Otonomi yang kami bahas disebuah keude kupi Aceh di kawasan Pasar Minggu dua hari lalu.

Disana ada guru besar, pengamat terkenal, peneliti dan reporter penganggur seperti saya.

Reporter penganggur hanya hadir sebagai pelengkap. Pasang kuping. Bisa menyimak dan bisa menuliskan. Asalkan tidak menyebut kalimat penutupnya menyertai kutipan. Seperti “katanya”…..ujarnya….ucapnya

Ini mah masing untung. Kalau mereka yang ngomong serentak minta saya untuk “off the record seperti” sering dibisikkan menteri penerangan era orde baru Harmoko, celakalah kehadiran saya.

Lebih baik “soh” dari pada menikmati segelas kopi dan dua potong timphan yang cuma lima belas ribuan rupiah. Sebab bensin dan toll ke Pasar Minggu udah mengeluarkan lembaran “peeng mirah”

Pembahasan kami nggak ada kesimpulan. Liar. Bisa kemana saja. Tapi masih dalam lingkup otonomi khusus Aceh. Tak ada hardik, pelotot dan saling memotong kata. Semuanya dalam suasana gurau.

Beda dengan rapat kerja de-pe-er. Atau seminar. Yang saling memotong kata, saling tunjuk telunjuk, saling mengeraskan suara dan tak segan-segan banting gelas ke meja.

Model pembahasan kami cuma duek pakat. Duek pakat model indatu. Apalagi kami-kami kan manula yang sering dituding: apa tahunya.

Ketika pembicaraan masuk ke topik rawan manfaat otonomi khusus dikaitkan dengan penggelontoran dana dua persen dari alokasi khusus, seorang “ngon ngopi” mengingatkan jangan simpulkan itu untuk mengejar pertumbuhan.

“Kita kan sudah tahu alokasinya di apebede. Dan kemana aliran gelontorannya paling besar,” katanya.

Kita kan sudah tahu siapa yang marah begitu alokasi dana dari pusat itu di kurangi.

Sebagai reporter yang ngiler untuk numbrung saya memotong bicara teman itu. Kok takut menyebut nama dan badannya.

Saya aja baru menulis dengan tunjuk langsung nama badan dan orang yang marah. Menyindir  Sehingga yang hadir memelototi saya. Lantas pecah tawa.

Haba ini berlanjut dengan perbandingan dengan alokasi khusus Papua. Alokasi yang nilai rupiahnya lebih tinggi Aceh  dan sudah ada  pembagian block grant-nya.

Pada saat alokasi dana khusus untuk Aceh belum muncul konsep  seperti itu.

Bagi Aceh dana alokasi khusus itu lebih untuk menjinakkan perdamaian. Menjinakkan perlawanan lebih liar dan masif di banding Papua yang dicap sebagai teror.

“Inikan benefit terbesarnya,” kata seorang mantan pejabat yang kini sudah pensiun dan menjalani hidup damai di Jakarta

“Ngon jangan melihat dari sisi alokasi dana. Ingat, model otsus aceh bisa mengakomodir partai politik lokal. Partai lokal untuk menjinakkan kombatan gam semacan Cagee hingga akhirnya bermetamorfosis ke dalam elite pemerintahan.

Mereka kan sudah masuk elite. Cagee saja sudah jadi anggota dewan. Lainnya? Macam-macamlah. Anda tahu sendiri. kalau pun nggak anggota dewan atau apa bisa jadi kontraktor atau titik-titiklah. Nggak usah diperpanjang.

Bagai saya sendiri yang kala konflik itu berada di pusarannya perdamaian itu sendiri bisa membuat senyum.  Bukan senyum kecut seperti dulu kala mobil angkutan kami di bakar. Rumah teman saya di ledakkan bom.

Saya nggak pernah menuduh pihak mana yang melakukan. Cukup tahu sendiri. Dan diam.

Kini? Ya aman. Paling ribut masalah bendera. hanya simbol. Dan revisi undang=undangnya pun di bahas di gedung besar, pakai jas atau batik. dan bisa dijinakkan.

Bagaimana untuk tahun depan?

Itu pergeseran bahasan kami.

“Ahh… itu kan masa transisi. Jembatani saja. Yang penting tokoh yang mampu mengakomodirnya,” lirik teman kepada saya karena ia baru malam harinya membaca tulisan saya di sebuah media online “Kan Saya Orang Yang Abang…”

Saya tertunduk. Maklum. Seperti tertuduh sebagai sponsor. Tapi nggak lama. Karena sang teman lanjut dengan kalimat lanjutannya,  harus ada  upaya dari masyarakat sipil untuk berkonsentrasi memperkuat pertumbuhan ekonomi

Ada waktu untuk belajar dengan otonomi khusus model baru. Bisa saja mengadopsi model Papua yang dana dana otsusnya dua koma dua puluh lima persen yang terbagi : satu persen block grand dan selebihnya program pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi.

Lantas bagaimana dengan Aceh yang mulai tahun depan juga satu persen? Setelah selama lima belas tahun mabok dengan angka dua persen.

Jawaban haba keude kupi kami bingung. Ya, terserah mereka saja. “Kita kan sudah peeng sioen,” guraunya yang bikin gelak kami sampai salah seorang kami mencari kamar kecil.

Walau pun sudah “peeng sioen” peserta “haba” masih “ureung kaya.” Sebab ketika datang masih naik pajero, fortuner maupun inova type terbaru.

Nun disana. Kemiskinan yang masih tinggi. Aceh masih termiskin di Sumatera berdasar rilis badan pusat statistik, Angka pengangguran juga masih tinggi.

Entahlah. Saya memang pernah menulis ini dalam tiga tulisan. Tapi malas menulis angka-angkanya. Apalagi kalau menulis pe-de-er-be yang dikaitkan dengan kontribusinya.

Namun begitu saya tergelitik juga menulis jumlah “peeng mirah” yang sudah digelontorkan selama lima belas tahun terakhir.

Tahu angkanya?

Sembilan puluh enam triliun rupiah, Angka yang kalau diberikan kepada Chairul Tanjung putaran dan tambahannya Anda sendirilah yang bisa mendehemkannya.

Duit gajah itu di Aceh hanya bisa didijawab dengan satu kata, ironis. Ironis kalau Anda datang ke Panca Kubu, desa di tapak Seulawah, yang ketika pagi ayah dan anaknya harus menyeberang arus sungai ketempat kerja dan sekolah.

Padahal di sisi lainnya sebuah jembatan mangkrak dengan kerangkanya yang belum menyentuh tebing baratnya. Ironis juga ketika saya membaca sebuah di media online petani dan dhuafa yang dijanjikan mengganti rumah doyong dan kebun sawit.

Rumah doyong yang telah hanyut kala Sampoinet meluap dan kebun sawit yang panen puncaknya di umur delapan tahun.

Ironis lagi ketika saya mendengar tujuh koma tujuh triliun rupiah dana otsus pernah dicatatkan kementerian keuangan  sebagai sisa pengelolaan.

Sisa ini terjadi karena  tidak adanya korelasi antara perencanaan anggaran dengan hasil yang diharapkan. Hal ini terulang lagi pada anggaran tahun lalu sebesar tiga koma empat puluh satu triliun rupiah.

Padahal, perencanaan yang baik seharusnya terlebih dahulu menentukan apa yang ingin dicapai di masa depan dan menetapkan langkah-langkah strategis dan taktis untuk mencapai tujuan tersebut.

Persoalan lemahnya pengelolaan dana otsus tentu bukan sekadar datang dari pemerintah, tetapi juga ditopang oleh sulitnya sektor-sektor usaha informal dan industri berkembang di Aceh.

Haba keude kopi kami memang lanjut. Tapi  saya terlalu ngeh ketika memasuki analisa. Sebab saya bukan orang analis atau peneliti. Tidak juga pengamat.

Hanya reporter lapangan. “Koeli” tinta. Nggak pandai untuk menuliskan alasan, pertimbangan dan keputusan. Sebagai reporter saya hanya bisa mengeksekusi. Tulis.

Saya hanya bisa mengatakan bangunlah pola pikir. Buang jauh mbong. Mari menjadi “koeli” seperti saya. Dan Anda akan tahu bagaimana untuk naik menjadi editor.

Ha..ha..ha….