close
Nuga News

Uje Itu, ‘The Legend of Da’i”

Uje itu tak terbantahkan adalah “The Legend of Da’i.” Pamornya, setelah tiada, tak bisa ditandingi oleh dai-dai kondang seusianya. Saksikan saja bagaimana ribuan orang menyesaki rumah tinggal keluarga ketika hajatan 40 hari kematiannya.

Ribuan orang datang, dan terperangkap tak bisa me3nghampiri rumahnya. Jalanan macet. Orang bertimbun. Gema takbir, tahlil dan tahmid memenuhi atap awan rumahnya.

Tidak hanya itu, puluhan pesohor negeri ini bersatu dengan ustadz-ustadz kondang serta jamaah yang yang datang dari berbagai kota, hanya dengan satu tujuan. Ingin memenjatkan doa kepadanya.

Tidak hanya itu, tahlilan empat puluh hari kematiannya ini juga di helat di empat tempat terpisah. Ada di makamnya, ada di fondasi bangunan pesantrennya, ada di rumah keluarga besar. Dan pusatnya di kediaman istri, di kawasan Rempo.

Ustadz Al Habsyi, salah seorang junior dan teman dakwahnya ketika masih hidup, mengatakan Uje adalah sosok yang melegenda. Apalagi, jika dilihat dari banyaknya masyarakat yang hadir dalam tahlilan 40 hari kematiannya.

Acara pengajian yang dilaksanakan di empat titik ini memang dipadati oleh berbagai kalangan. Itu membuktikan Uje memang sangat dihormati banyak orang. “Saya menganggap beliau sebagai Legend of Da’i. Sesuatu yang melegenda, artinya saat beliau sudah tidak ada, tapi masih banyak yang membicarakan,” kata Ustadz Ahmad Al Habsyi, usai menghadiri acara tahlilan, di kawasan Rempoa.

Ustadz Al Habsyi juga menilai, kehidupan Uje yang penuh liku merupakan pengalaman berharga yang bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang. “Kalau ingat beliau, lebih banyak kebaikannya,” tutupnya

“Subhanallah ya, ada yang dari Jogja, ada yang dari Bandung, ada juga yang dari Jepara. Dua hari naik motor, dua-duanya perempuan,” begitu kata kata Fajar, adik Uje, tentang ribuan orang yang datang menghadiri tahlilannya.

Di antara jamaah yang terdapat juga anak-anak “ounk.” Berbeda dengan jamaah lainnya yang menggunakan baju koko dan berpeci, anak “punk” ini tampil dengan rambut “mohawk.” dan tubuh penuh tato. Mereka memang band punk yang menamakan diri X-River.

“Kami band dari Bekasi, base camp di pinggir Kalimalang. Saya vokalis, John Smokers, gitaris, Farid dan Satrio. Ada dua personel lain yang ketahan, Fani dan Karin. Kami ke sini bukan tanpa sebab, Satrio ini pernah berteman baik dengan Uje,” kata John, salah seorang personilnya.

Menurut Satrio, dirinya pernah terlibat satu proyek dalam satu label musik dengan Uje pada tahun 1996. Bahkan, mereka pun sempat manggung bareng. “Sering manggung bareng sebelum jadi ustadz. Pas sudah jadi ustadz sempat main bareng di acara Gunung Merapi meletus. Itu terakhir ketemu,” kata Satrio.

Sementara itu, pasca kematian Ustadz Jeffry Al Buchory, keluarga yang ditinggalkan mendapatkan uang sumbangan dari berbagai pihak yang jumlahnya Rp 1,3 miliar.

Menurut Adik almarhum Uje, Fajar Sidik, sumbangan tersebut didapat dari berbagai pihak. Termasuk sumbangan dari kesultanan Brunai Darusalam.

“Dengar-dengar dari Sultan Brunai ada, terakhir saya cek itu terakhir untuk nominalnya saya kurang tahu. Sampai saat ini dana sumbangan yang sudah terkumpul itu kurang lebih Rp 1,5M di Uje Centre. Itu belum yang cash dari Umi Tatu dan Umi Pipik saya enggak tahu,” kata Fajar.

Menurut Fajar, sebelumnya Uje memang sempat diundang oleh pihak kesultanan Brunai. Namun, Fajar belum tahu pasti apakah Uje benar-benar memenuhi undangan itu. “Sepengetahuan saya pernah mau diundang, tapi kendala jadwal almarhum. Saya cuma sampai 2009 saya selebihnya enggak tahu,” ungkapnya.

Tags : slide