close
Nuga News

Landing-Take Off

Ditahun ini, hingga Desember, ada dua puluh bupati dan walikota defenitif di Aceh yang resend. Mundur dari jabatannya.

Bahkan, di Juli saja, sepuluh diantaranya harus “out.”

Dimulai dari walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, di ujung pekan pertama Juli lalu,  hingga bupati Tamiang Mursil di akhir Desember mendatang.

Hingga tahun depan hanya tinggal tiga bupati dan walikota dari stok lama.

Saya termasuk orang yang masgul dengan soh-nya para bupati dan walikota ini. Masgul bukan karena ada sesuatu janji tersembunyi yang tak sipenuhi. Tapi repot mengeja  prediiksi calon yang disodorkan “panitia” mencari penjabat baru.

Sekarang kan banyak “panitia” yang menyamar sebagai tokoh dengan menyebut nama untuk menggantikan si bupati dan walikota yang soh. Entah disodorkan kemana saya nggak hafal tembusannya.

Yang saya tahu tembusannya bisa  ke Tito yang mendagri untuk penjabat bupati dan walikota. Dan Jokowi yang presiden untuk jpenjabat gubernur.

Penjabat gubernur yang ternyata nggak tembus juga. Dan tembusan itu hanya tembus ke media. Ramai. Dengan kop surat, tanda tangan plus stempel.

“Resmi,” tulis media tentang tembusan itu. Tentang tembusan yang tembus itu.

Ah.. saya nggak punya urusan dengan tembusan itu.

Urusan saya paling mencari “footnote” prestasi yang disisakan oleh para bupati dan walikota yang soh itu. “Footnote” yang catatan kaki apa yang bisa ditulis sebagai “wareh”nya untuk nanggroe.

Bolak balik saya unggah untuk mendapatkannya tak ketemu. Saya tak ingin bertanya dalam pencarian ini. Takut kepentok dengan komen benci dan rindu. Seperti case kepergian Nova dari jabatan gubernur. Saya tak mau mengulang kisah itu.

Saya berdamai saja dengan pencarian  yang ikut soh untuk menulis “wareh” sejarah ini.

Wareh sejarah seperti meletusnya uap angin gelembung investasi resort di Pulau Banyak. Yang mengantarkan kepergian bupati Aceh Singkil Mursid.

Investasi murban energy yang memorandum of understanding-nya masih berada di lipatan map feasible study yang mencantum nilai investasinya sebesar tujuh triliun rupiah. Lima ratus juta dolar. Sebuah angka sebesar gajah bengkak.

Yang ketika saya tanyakan keseorang kawan di kementerian parawisata dan ekonomi kreatif hanya dijawabnya dengan senyum. Saya maklum senyumnya. Bukan tupoksinya. Dan ia juga cuma mendengar.

Yang sudah. Saya ikhlas sajalah dengan semua pencarian ini. Toh pencarian lain bisa didapat ketika wikipedia nantinya menambah daftar panjang tambahan nama mereka di “box”nya kelak.

Sebelumnya saya sempat mengutarakan kemasygulan ini ke seorang teman pejabat di kementerian dalam negeri. Sang teman hanya terdiam. Saya tahu ia juga punya perasaan sama. Tapi ia kan pejabat.

Ada etika diantara pejabat. Nggak boleh memberi komen terhadap sesama kawan profesi. Yang bisa komen itu kan pengamat, kritikus, peneliti dan entah siapalah.

Wartawan?

Nggak juga. Sebab ia hanya bisa memuat komen. Bisa baik bisa juga jelek. Maklum, ukuran baik jelek bagi jurnalis sekarang Anda tahu sendiri. Kecuali jurnalis medsos yang ukurannya milik mereka sendiri.

Habisnya masa jabatan lima tahunan para bupati dan walokota  seabreg ini yang satu periode. Dan ada pula untuk dua periode.

Khusus untuk bupati dan walkot  satu periode bisa saja lanjut. Kalau ada birahi. Siapkan saja siasat mengatur pinangan.

Sediakan setoran usai parkir selama dua tahun lebih. Dan tunggu guliran pilkada serentak awal tahun dua ribu dua puluh empat. Pilkada aturan baru.

Pilkada yang sempat menyentak ketika ia disahkan Menyentak dalam bentuk protes karena nggak bisa langsung start bagi mereka yang berminat untuk dua periode.

Menyentak juga bagi provinsi Aceh karena menyerempet keistimewaan otonomi khusus miliknya. Otonomi tanpa daya. Karena otoritas senayan lebih istimewa dan istimewa.

Otoritas ini pula yang ikut menggerus sebuatn petahana. Sebuah kosakata yang menguntungkan bagi mereka yang ingin lanjut ke periode kedua. Periode yang bisa murah meriah karena cost promosinya gratis Karena prudknya itu juga.

Sudah dikenal. Paling dipoles untuk mengiklankan yang baiknya atau mengelupaskan yang buruknya. Setelah itu  terserah dengan user. Anda. Pemilih. Pemakai.

Namun begitu, karena adanya tenggang waktu atau interfal yang panjang, dua setengah tahun, bagi mereka yang ingin lanjut bisa bahaya.

Bahaya terjadinya pembusukan popularitas  bila para penjabat bupati atau walikota pemegang eska bisa bekerja lebih bagus.

Saya sering mengistilahkan resend untuk jabatan publik ini dengan “landing.” Mendarat usai terbang. Ada yang mendarat langsung parkir Terus blass..habis. Itu untuk mereka yang udah dua periode.

Tapi ada ada juga resend lantas kembali “take off.”  Saya nggak berprasangka siapa mereka yang ingin kembali terbang dalam pilkada dua tahun mendatang itu.

Yang parkir blasss itu adalah mereka sudah dua kali take off. Dua kali masa jabatan. Baik secara berurutan maupun interfal.

Seperti Irwandi Yusuf yang resend – parkir – interfal dan “teke off” lagi. Berhasil. Tapi sayang grounded akibat  crossing dan langsung di giring kapeka.

Anda kan tahu kasus crossing-nya. Dan Anda pasti tahu dimana ia kini bermukim.  Suka Miskin. Sehabis suka kaya dengan duit haram dan  menunggu datangnya remisi.

Resend model Irwandi ini juga pernah menjadi jalan “take off” seorang Akmal Ibrahim. Saya berharap ia tak  grounded hingga Agustus mendatang akibat “cross” Itu harapan seorang sahabat. Entah ya…

Dan siapa yang bisa “take off” lagi sebagai sample. Sebut saja  sahabat saya Aminullah Usman. Walikota Banda Aceh. Yang landing tanggal tujuh Juli, Kamis sore, kemarin.

Saya tak tahu apakah ia ingin lagi atau cukup. Terserah dia..

Sebab ada kalimat klise lama yang masih laku untuk dikemukakan Mempertahankan lebih susah daripada memenangkan untuk kali pertama.

Ada tambahannya: Mengakhiri dengan indah jauh lebih sulit daripada memenangi kali pertama dan mempertahankannya bertahun-tahun.

What goes up, must come down. Apa yang naik, pasti harus turun. Tinggal landing-nya enak atau amblas hancur.

Kalau di dunia bisnis profesional, mungkin ada mekanisme yang bisa membuat situasi itu tidak terjadi. Ada mekanisme evaluasi per tahun yang bisa memaksakan perubahan, supaya proses pembusukan tidak berlangsung terlalu lama.

Segera dipangkas sejak awal, supaya bisa segera mengoreksi diri, belok, dan kembali melejit.

Setahu saya di pemerintahan mekanisme evaluasi lebih dari cukup. Berjenjang dan berlapis. Tapi, setahu saya juga,  semuanya busuk dan saling membusukkan. Karena yang mengevaluasi tidak punya visi

Bahkan yang mengevaluasi itu jadi pokok dari masalahnya.

Saya tahu di dunia politik. Mekanismenya tidak bisa seperti di dunia profesional. Terlalu berat kalau harus evaluasi keras dan memaksakan perubahan setiap tahun.

Jadi kadang kita memang tidak bisa berbuat apa-apa hingga masa jabatan itu berakhir. Sering juga tidak bisa berbuat apa-apa hingga masa jabatan itu berakhir dua kali.

Karena itu, yang bisa dilakukan kadang hanya elus-elus dada.

Kalau di dunia bisnis dan profesional, pimpinan yang parah bisa segera diganti lewat mekanisme tahunan. Supaya masalahnya tidak “overstay.” Di dunia politik, kadang pemimpin yang “overstay” tidak terelakkan.

Jabatan politik kan sudah ditetapkan masanya. Jadi, kalau memang belum habis, ya sebenarnya tidak bisa dibilang “overstay.”