close
Nuga News

Penyebab Rasa Benci Makanan Tertentu

Sebagian orang bisa muntah saat makan brokoli atau kol. Sebagian lain justru bisa makan semua jenis makanan tanpa perlu takut.

Ketidaksukaan pada makanan, terutama sayuran, tidak muncul begitu saja. Studi terbaru dari University of Kentucky, Amerika Serikat menunjukkan, ketidaksukaan pada makanan dapat muncul karena gen.

Kecenderungan genetik tertentu dapat membuat seseorang lebih sensitif terhadap rasa pahit dari sebuah makanan, sehingga dapat memunculkan perasaan tak suka pada makanan tersebut.

“Kami ingin tahu apakah genetika memengaruhi kemampuan orang yang perlu makan makanan sehat untuk jantung. Kami tidak melihat hasil dalam gen untuk natrium, gula atau lemak jenuh. Kami melihat perbedaan pada sayuran,” kata peneliti Jennifer Smith

Saat makan sayuran, orang dengan kecenderungan genetik tersebut sensitif terhadap rasa pahit sehingga dapat menimbulkan mual bahkan muntah. Alhasil, orang-orang dengan kecenderungan tersebut memilih untuk tidak mengonsumsi sayuran atau makanan pahit.

Studi ini menunjukkan, orang dengan ‘gen pahit’ tersebut du koma enam kali makan lebih sedikit sayuran daripada orang yang tidak memiliki gen tersebut. Studi ini menyebut, indra perasa bergantung pada lebih dari satu atau dua gen, yang sudah diteliti adalah AVI dan PAV.

Sekitar lima puluh  persen orang di dunia memiliki keduanya, sehingga bisa merasakan pahit dan manis, walaupun tidak sensitif.

Sekitar dua puluh lima persen di antaranya memiliki AVI lebih banyak, sehingga sama sekali tidak sensitif terhadap pahit, bahkan menganggapnya manis. Sebanyak dua puluh lima persen lainnya memiliki PAV lebih banyak, sehingga sangat sensitif terhadap rasa pahit.

“Orang yang memiliki kecenderungan genetik tersebut merasakan lebih banyak rasa belerang, misalnya saat memakan pada kubis Brussel, terutama jika mereka sudah terlalu matang,” kata ahli studi rasa makanan dari University of Connecticut, Profesor Valerie Duffy.

“Sehingga sayuran [pahit] tidak disukai, dan karena orang menyamaratakan, jadi semua sayuran tidak disukai,” kata Duffy.

Beberapa jenis sayuran yang memiliki rasa pahit diantaranya adalah brokoli, kangkung, pakcoy, selada, dan kembang kol.

Menurut Duffy, kini para ahli tengah mencoba untuk mengurangi rasa pahit dari sayuran agar orang tetap memakannya karena kaya akan nutrisi penting. Beberapa percobaan terbukti berhasil, misalnya kubis yang dimakan hari ini lebih manis ketimbang kubis di masa lalu.

Orang yang sensitif terhadap rasa pahit ini dapat mengonsumsi sayuran dengan mengolahnya terlebih dahulu untuk mengurangi rasa pahit.

Ia yakin hampir semua orang pernah mengalami hal ini: tiba-tiba menyukai makanan yang sebelumnya sangat dibenci. Saya yang tadinya benci banget sama mentimun, tetapi entah sejak kapan jadi suka makan lalapan atau acar timun.

Helene Hopfer, Ph.D., seorang asisten profesor ilmu makanan, mengatakan bahwa hal tersebut hubungannya lebih dari sekadar indra perasa yang ada di lidah—karena indra tersebut bertugas hanya untuk mencicipi, tetapi tidak untuk menentukan apakah Anda menyukai suatu makanan atau tidak.

“Indra penciuman Anda juga memainkan peran dalam membantu menentukan rasa, dengan melakukan konstruksi multi-indra yang disusun oleh otak melalui berbagai sensasi, yaitu rasa, bau, suara,” Helene menjelaskan.

Robin Dando, Ph.D, direktur Cornell Sensory Evaluation Center, mengatakan bahwa setiap orang memiliki kepekaan yang serupa dengan berbagai rasa dasar.

Namun, setiap orang juga akan mengembangkan preferensi pribadi selama bertahun-tahun, tergantung pada faktor-faktor lain, seperti kebiasaan, pengasuhan, budaya, ingatan, dan konteks.

Misalnya, Anda mungkin membenci salmon karena makanan itu membuat Anda sakit perut sehingga membuat Anda mengasosiasikannya dengan ketidaksukaan. Itu juga yang menjadi alasan Anda mungkin membenci makanan tertentu, sementara kakak Anda menyukainya.

Namun, orang umumnya tidak akan membenci makanan tertentu selamanya. Otak dapat dilatih untuk menyukai rasa tertentu dengan memakannya lebih sering. Prinsipnya sama seperti menyesuaikan selera dengan sesuatu yang baru, termasuk makanan yang tadinya dibenci.

“Meski belum ada pengetahuan pasti mengenai hal ini, tetapi otak tentu saja juga dapat mengubah pikirannya, yang membuat pikiran dan persepsi Anda terhadap makanan akan terus-menerus mengalami perubahan sepanjang hidup,” ujar Helena.