close
Nuga News

Pj Pasar Malam

Baru kali ini saya melihat kembali “pasar malam.”

Bukan “pasar malam” hiburan

Pasar malam berita. Menyemak. Berjejer. Saling memberi judul jadul dan lead berkalimat menjalar. Di google. Online dan medsos. Yang mainan orkestranya satu nada. Nada tunggal. Pejabat gubernur.

Dan tentu saja pasar malam ini bukan seperti yang setiap kali kita berkunjung. Ces dan plang. Terhibur. Ramainya ya ampun.  Berdesakan. Ada panggung tonil dan panggung nyanyian.

Bisa pilih. Panggung Oesman Gumanti yang sandiwara atau panggung Said Efendi. Panggung Said Effendi ini tidak hanya di isi lagu “Tinggi Gunung Seribu Janji,” Tapi bisa juga dilengkapi nyanyian “Patah-patah” Elvi Sukaesih. Asooyy…..

Dua-duanya sulit untuk diabaikan. Masih ada barisan kios-kios untuk jualan. Bisa tekstil, penganan atau warung kopi sekalian. Dan bisa juga galery pelukis lokal.

Pokoknya, yang namanya pasar malam itu lengkap isiannya.

Kalau, dulu, di Banda Aceh, pasar malamnya nggak pernah pindah lokasi dari lapangan Blang Padang yang masih ada Stadion Aceh-nya,

Kalau pasar malam sekarang kan sudah bermetamorfosa ke fair. Jakarta Fair atau apalah. Atau bisa juga bermutasi ke mall. Kan bukan hanya virus saja bisa mutasi. Pasar malam juga bisa mutasi.

Bahkan mutasi barunya bisa ke berita. Seperti yang saya klik pagi tadi. Mutasi “pasar malam”nya pindah ke telapak tangan. Buncah di google. Ke online. Ke youtube. Yang isiannya bisa kalimat cas cis  cus dengan paragrap panjang.

Pusiiing…..

Lebih pusing lagi kalau nonton youtube yang podcast. Yang isian pewawancaranya jongkok dan nara sumbernya ngawur. Atau mungkin saja saya yang ngawur karena nggak “now.”

Maklumlah old journalis yang cas baterey masih pakai air. Kan baterey sekarang sudah kering.

Apalagi yang terbaru pakai bahan baku nikel lithium. Listrik. Macam mobil Tesla produk Elon Musk yang kayanya ampun…

Untuk tidak jadi tanya panjang saya ungkap saja “pasar malam”  berita yang isian tulisan maupun podcast dan televisi ini.

Pasar  malam besar  berita di Aceh. Yang beritanya mengenai siapa yang akan menjadi pejabat gubernur usai Nova Iriansyah berakhir di bulan-bulan mendatang.

Pasar malam yang berebut untuk menjajakan nama-nama untuk jualan. Laku atau nggak laku bukan urusan. Yang Anda lebih tahu dari saya siapa nama dan tampangnya.

Ada yang berisi, ramping serta setengah gemuk.  Ada berambut gelombang, cepak dan sedikit…..

Namanya begitu juga. Bisa satu kata. Dua kata.

Dan kata lainnya ada embel titel kesarjanaan. Lainnya? Anda dengar, lihat dan baca sendiri.

Isian berita yang bak pasar malam itu bisa angkat telur, setengah angkat atau. angkat penuh…… Anda dan saya pasti tahu kepentingannya angkat mengangkat ini. Angkat mengangkat yang sebenarnya hak Jokowi.

Kepentingan media bisa terhubung dengan si pejabat. Lahannya bisa iklan atau … entahlah. Bisa juga diajak ngopi sebagai jualan kedekatan.

Lantas Anda tentu menuduh tentang tulisan saya ini juga sebagai jualan. Saya tak membantah. Jualan untuk dibaca. Sebab, kalau pun ingin dekat, saya udah dekat sejak lama dengan banyak pejabat yang lebih tinggi.

Bukan pejabat puncak. Kalau pejabat di pucuk harus screning dulu.

Dan terhadap heboh berita pasar malam ini pagi kemarin saya ditelepon seorang teman di Banda Aceh. Ia sedang takziah ke rumah seorang temannya yang berpulang hari itu.

Pembicaraan kami juga menusuk ke berita pasar malam. Lantas ia mengusik saya lewat tanya : Nggak ikut main bang?

Langsung saya jawab: kalau main bisa kejang. Nggak kuat urat penopang otot.

Sang teman ketawa ngakak. Yang kemudian sadar ia ada di rumah duka. Dan berujar: astaghfirullah.

Lantas, apa bedanya dengan media dulu. Bedalah. Ketika saya di media dulu.

Media yang sekarang udah bangkrut. Media cetak. Koran atau majalah. Yang harus punya izin terbit dan izin cetak. Yang bisa dibreidel lantas koit. Koitnya karena kostnya besar dan pembacanya menyusut.

Berita mudah dipindahkan ke online.

Kalau sekarang saya banyak nggak tahu prosesnya. Yang saya tahu izin itu mudah. Tak punya izin juga boleh. Media sosial kan tak perlu izin. Tulis sendiri  baca sendiri.  Seperti medianya para buzzer.

Beda juga dalam mencari seorang pejabat atau gubernur defenitif di masa itu. Tak perlu pasar malam berita. Cukup prediksi. Cari sumber yang layak. Lantas sebutkan nama. Langsung jadi. Mudahkan!

Kalau dulunya itu saya punya pengelaman mencari seorang pejabat atau gubernur definitif. Pengalaman betulan. Pengalaman tingkat seorang apit awe.

Apit awe dari tokoh hebat dimasanya. Masa jayanya. Yang saya hanya diberi peran melihat, mendengar dan tak boleh banyak tanya.

Tokoh yang dimasanya punya jabatan macam-macam. Yang kerena ketokohannya namanya dipajang untuk sebuah stadion di kawasan Lampineung.

Nama yang saya protes bersama anak lelakinya karena salah ejaan.

Di Moerthala ditulis Dimurthala. Protes yang tidak didengar karena untuk mengubah ejaannya perlu ongkos. Perlu anggaran yang dianggarkan.

Ya… sudahlah.

Sebagai apit awe saya pernah diajak Di Moer, begitu kami menyapanya dengan panggilan bang di depan namanya. Di ajak ke rumah Madjid Ibrahim. yang kala itu masih menjadi deputi bidang pembangunan regional di bappenas.

Pak Madjid yang telah menuntaskan tugas berjenjang sebagai dosen, dekan, rektor plus ketua bappeda provinsi di masa kegubernuran Muzzakir Walad.

Di Moer tak memberitahu untuk keperluan apa ke rumah Pak Madjid. Maklum aja, kala itu saya kan reporter di sebuah media Jakarta. Nyinyir dan banyak tanya. Kalau istilah ambyarnya “bocor.”

Untuk itu Di Moer tak memberitahu. Dalam perjalanan dia juga tak bicara mau kemana. Saya ikut aja. percaya aja. Kan dia pawangnya.

Setiba di rumah Pak Madjid kami tekan bell lantas keluar Ibu Rohani. Ia mengingatkan Di Moer. Bapak nggak mau diganggu. Saya nguping. Naluri jurnalis saya menjalar. Wuih ada yang nggak beres nih.

Betul aja. Di Moer ngotot untuk bertemu.  Lantas duduk di ruang tamu dan Pak Madjid keluar dari lantai kamar atas sembari berujar: Udah lah Moer.

Mukanya cemberut. Serius. dalam balutan kimono.  Nggak dalam kondisi on saja Pak Majid serius apalagi di kondisi tidak on. Tak ada dialog lanjutan. Diam. Dan untuk kemudian Pak Madjid turun dan berkata: Terserahlah.

Di Moer menyalami. Minta pamit.

Diperjalanan kembali ke hotel Brobudur ia baru bicara entah untuk siapa. “Beliau setuju jadi gubernur”

Saya tak gembira-gembira amat dengan berita ini. Sebab media tempat saya bekerja tak akan menurunkan berita macam begini. Sebab “nggak enak di baca dan nggak ada perlunya.”

Yang saya tahu kemudian Pak Madjid Ibrahim jadi gubernur di Aceh. Jabatannya ringkas. Karena sakit usai kunjungan kerja ke Sabang dan “berpulang.”

Cesplengkan.

Kalau ada beritanya yang bocor atau  dibocorkan dari koran lokal tak akan bisa bergegas memuatnya. Kalau pun dimuat itu pun seminggu kemudian. Atau sebulan lagi.

Habis koran lokal terbitnya “senen-kamis.” Bukan hari senin dan kamis. Anda tahulah arti ejekan itu. Ejekan yang juga berlanjut kalau ada duitnya bayar ongkos cetak. Bisa dipercetakan negara Banda Aceh dan bisa ke Medan

Dan koran yang bisa memberitakan secara cepat paling harian milik provinsi tetangga. Waspada atau analisa yang terbit di Medan,

Yang saya juga pernah jadi wartawan disalah satu media itu.

Nggak seperti berita yang tadi pagi saya telusuri. Yang bak “pasar berita.” Banyak judul. Banyak sumber, Banyak nama yang digadang-gadang.

Malah ada datang ke Jakarta menyambangi sang calon. Menyiarkan lewat televisi miliknya yang wawancaranya tersendat tak tahu apa yang harus ditanyakan.

Tidak hanya sampai disitu ada juga media yang memperbaharui beritanya agar lebih instan dengan mengganti judul. Padahal news-nya sudah kedaluarsa..

Saya cuma tertawa menelusuri pasar berita ini.

Usulannya belum diajukan dan eska-nya masih di langit tapi beritanya pada sudah jadi. Selain itu konsepnya oleh Pak Praktinyo yang Sekneg juga belum dibubuhi paraf.

Kalau pun itu sudah beres baru diteken Jokowi sebelum di tiup permukaan stempel tanda sahnya.

Bahkan, untuk siang ini, ketika saya kembali berkunjung ke google, baik online maupun medsos yang dilengkapi dengan youtube, arahannya sudah ke satu nama.

Arahan yang kalau dalam media televisi  dikendalikan pengarah acara.

Yang pasar berita ini saya tak tahu siapa pengarah acaranya. Mungkin otak kiri pembuatnya. Mungkin juga otak kanan. Yang belum nyambung dari otak kanan ke otak kiri.

Kalau udah nyambung kan klop. Sebab memori itu adalah persambungan kedua sisi otak itu. Persambungan kedua pucuknya.

Apalagi persambungan ke satu nama. Yang Anda pasti sudah baca.

Satu nama yang bikin saya terkejut karena data dari tokoh yang disapa  “doto.”

“Doto” yang pernah jadi gubernur. Yang juga tokoh dari syedara pejuang. Yang kini jarang berkomentar karena ingin menjalani hidup damai di ujung usianya.

Satu nama yang saya dehemkan,”jadi juga ngon ini ya.”

Hahaha…….

Tags : slide