close
Nuga Life

Tungku, Balango dan Kuali Umak Saya

Pagi itu ada bau yang terbang dan menyusup lewat celah jerejak pintu kamar saya. Bau akrab dan bersahabat dengan penciuman saya. Persahabatan bau sepanjang usia.

Dari bau yang terbang itu saya bisa memastikan ia adalah gulai. Bau dari gulai yang datang dari ruang dapur kami.

Gulai yang sehari sebelumnya sempat menjadi diskusi antara saya dan istri. Tentang bahan serta rempahnya  Juga cara menanaknya,

Saya hafal semua bahannya. Takzim cara merajangnya. Dan tahu teknik menanaknya.

Gulai itu bernama tauco santan. Gulai tauco santan yang mencemplungkan kepala ikan gabau untuk berenang bersama lado mudo dan kacang panjang.

Lado mudo dan kancang panjang yang dirajang serong untuk menambah keindahan penampilannya.

Gulau tauco yang lewat proses penumisan. Gulai tauco yang pasti bersantan kental dan encer dengan tauco framentasi kacang kedelai plus rajang bawang merah dan bawah putih.

Gulau tauco yang beda dengan tauco tumis di warung nasi padang.

Gulai tauco yang hari itu baunya terbang ke kamar saya setelah di-angek-kan. Yang enaknya wuahh…

Gulau tauco warisan umak saya. Gulai tauco yang dulunya datang dari kuali besi dan tungku semen berkayu api.

Tungku kayu api yang berbagi panggang dengan mandeh saya bernama Rosmidar. Rosmidar yang bagala  si “gadih.” Si “gadih” yang pancaran kecantikannya masih tersisa di usianya yang delapan puluh lima tahun.

Umur yang masih membuatnya coga. Coga dari sikap humble-nya nrimo paruntungan. Paruntungan ketika si Tahir suaminya yang merangkak dari tempat tidur karena mati badan sabalah.

Penyakit yang hari dinamai dengan stroke.

Si “gadih” yang berdapur dan berbagi tungku dengan umak saya. Si Midjah.  Si Midjah yang dipanggil oleh adik-adik “kak acu.” Kak acu yang Hamidjah.

Kak acu yang nggak pernah talantuang kuali basi dan balango tanahnya dengan si Gadih.  Kak acu yang sulit tergantikan kesederhanaanya. walau pun oleh anak-anaknya sekalipun.

Kak acu umak si linar, umak, si daman, umak si upiak lantiak, umak si oyok, umak si tayat, umak si emi dan umak si nimar.

Dan umak untuk semua trah keluarga saya . Umak siapa saja yang pernah mengenalnya.

Umak yang kala menanak gulai tauco sering saya dampingi dari atas bangku bernama kudo-kudo. Kudo-kudo yang sering mengejek saya kapadusian karena acok duduk di dapur bersama si Mijah.

Kudo-kudo yang membuat si Linar, kakak yang saya sapa si Upo,  sering menitikkan air mata sewaktu membersih akar tauge. Air mata yang digalak-an oleh si Lida.

Galak karena ayah kami Wan Japa nggak makan tauge yang ada bulunya.

Si Lida yang kakak sepupu kami. Yang begitu lahir ditimang dan dibedung si Mijah. Di bedung karena si Mijah terlambat dapat momongan,

Padahal si Mijah jauh lebih duluan menikah di banding umak si Lida, Si Pipah. Nurafifah. Yang kami panggil dengan Ibuk. Ibuk yang sering baculete tapi hatinya putih terhadap dusanak.

Si Pipah yang penyakit bawaannya sasak angok. Sasak angok yang kini populer dengan asma. Asma juga yang menjadi penyakit si Licak bini si Usup Pakan. Si Licak yang umak si Asfimar, umak si Nadik, si Is dan si Absar.

Si Licak yang baganti tika jadi bini si Usup setelah si Raudah umak si Jumah, umak si Aidar dan umak si Yuh berpulang. Si Raudah nenek si Erni, nenek si Tuti maupun nenek si Nila dan si Erman.

Itulah tombo ka ateh dan tombo kabawah dari keluarga Tisah Ani dan Umar. Tombo Mak Tunih, Mak Salih, Mak Tua Piah dan si Boca yang tidak meninggalkan keturunan.

Tombo yang kalau saya tuliskan disini bisa meuhambo.  Padahal saya ingin fokus menulis tentang si Mijah. Si Mijah umak kami. Si Mijah yang tidak banyak kecek. Tapi kalau sakali mangecek bisa sangap majelis dusanak.

Majelis yang tagalak dalam hati kalau ia mengeluarkan unek-unek  si umbiak mudo. Umbiak mudo yang menjadi bacaannya kalau melucu.

Dalam perjalanan hidup di usia tujuh puluh dua tahun panuah dan masuk tujuh puluh tiga sulit bagi saya untuk mencari personifikasi seorang Hamidjah.

Personifikasi posturnya yang tinggi semampai bertaik lalat  dan tak pernah mengeluh terhadap kehidupan, bagaimana pun pahitnya.

Personifikasi tingkahnya yang tak pernah meninggikan suara sepanjang hidupnya. Sepanjang ia yang jadi panutan saya.

Tanyakanlah kepada si Linar. Apakah umaknya pernah mengubah ekspresi wajahnya kala ada kejengkelan yang mengganjal di sudut hatinya?

Ah… nggak sanggup saya rasanya menuliskan naskah ini kalau harus bersentuhan dengan kesederhanaan seorang si Mijah.

Kesederhanaan Ka Acu si “Gadih.” Kesederhanaan yang selalu dikenang Mandeh saya itu ketika saya silaturahmi dengannya di bokmah. Bokmah rumah tuo.

Bokmah rumoh tuo kala si Usup, Wan Japa, Alimuddin dan Syamsuddin mengambil petak kamarnya masing-masing. Petak kamar yang kalau malam hanya dibatasi oleh tirai kain.

Rumah tuo yang kala kami sudah balita pindah menghadap ke jalan gadang. Jalan tempat Syamsuddin, Wan Japa dan si Alimuddin mengambil  tempat tinggal masing-masing.

“Kak Acu tu man ndak banyak kecek. Ndak banyak minta dan ndak banyak macam-macam,” bisik Mandeh saya ketika saya bertanya bagaimana ia melihat kakaknya itu.

Saya tahu itu. Tahu juga kala si Mijah dijodohkan dengan ayah saya Wan Japa. Jakfar Amany. Jakfar anak si Aman dan Nursiah. Dijodohkan lewat perkawinan ala dusanak.

Saya juga tahu ayah pemuda parlente. Penjaga gudang minyak. Jago main galombang, pesilat, dan berteman dengan anak-anak ule balang.

Berteman dengan Teuku Mahyidin, Cut Mamat, Teuku M Yunan untuk menyebut sedikit dari pergaulannya yang begitu luas di Tapaktuan,

Sebagai seorang parlente atau pemuda now kalau diibaratkan dengan era sekarang, ayah saya tak sepenuh hati menerima perjodohan dengan umak.

Saya pernah mendengar lentingan perjodohan ini dari teman karibnya Teuku M Yunan. Ayah dokter Cut Hayuzar. Suami  Dasmara Sukma. Yang anaknya si Diar. Kini menjadi dokter kepala sebuah puskesmas di Pandeglang, Banten.

Secara sahih saya memang tak tahu persis. Sebab setelah jadi wartawan saya sadar kenapa nggak cross check semasa saya hidup. Sayangnya saya memilih jadi wartawan setelah ia berpulang.

Namun begitu, kepada umak saya pernah bertanya tentang kabar selentingan ini. Umak pun nggak memberikan jawaban tuntas. hanya penggalan-penggalan yang ia desiskan ke telinga saya.

Penggalan ketika ayah sering tidur ke cerocok dengan menggulung bantal ke dalam tikar. Gulungan bantal yang tak pernah ditanyakan oleh Umak kepadanya.

Gulungan  bantal yang diharfiahkan oleh Umak sebagai hobinya untuk kumpul bersama kawan-kawannya sesama parlente.

Kan di zaman itu anak lajang yang akil baliq tabu, atau pantang, tidur di rumah. Mereka memilih masjid atau mundasah sebagai tempat bagolek.

Umak pun nggak harus ngotot bertanya tentang itu. Tentang masih tersisanya kesukaan ayah tidur ke masjid atau carocok.

Tidak hanya di era ayah saya. Di era saya pun banyak lajang tanggung yang menggulung bantal untuk takziah malam ke mundasah dan masjid untuk menjuahkan sorak ” udah baliq tidur di bawah katiak umak.”

Umak saya memang perempuan paripurna sejak remajanya. Ia perempuan rumahan. Bukan perempuan lesek yang kerjanya marawah.

Menurut Mandeh yang si Gadih itu Kak Acu-nya tak pernah pergi malalak. Ia lebih suka menggulung banang dan mamuta mesin jahit di rumah. Ia senang memasak mengawankan nenek kami Tisahani.

Masih menurut Mandeh, Ka Acu Mijah nggak pernah mencuritokan pilooh orang lain. Apalagi pilooh kakak dan adik-adiknya.

“Inyo ndak mau maupek urang. Nggak mancaraco. Ndak mau ikut urusan suaminya, man,” kata si Gadih  kepada saya.

Apo yang diceritakan Mandeh ini saya menganggukkan. Mengangguk seratus persen. Mengangguk karena tahu dalam perjalanan hidup saya dengannya.

Tahu ketika suaminya menjadi keuchik dalam masa yang panjang. Keuchik kampung hilir. Keuchik hebat yang selalu di puji Teuku Mahyidin camat Tapaktuan.

Tapi Umak saya selalu menjauh dari kata “bu keuchik.”

Bahkan ketika ayah terpilih menjadi anggota  de-pe-er dalam pemilihan umum pertama di negeri ini mewakili partai nahdlatul ulama Umak saya tak peduli dengan keterpilihan itu.

Umak saya nggak mau dikaitkan dengan sebutan bini anggota de-pe-er seperti banyak istri di masa ini. Ia tetap suami dan umak bagi anak-anaknya.

Ketika ayah menjadi ketua front nasional dan ditabalkan menjadi pantja tunggal, muspida atau fokorpimda untuk sebutan sekarang, Umak tak pernah mau datang ke kongkow jabatan ayah saya.

Umak juga nggak pernah mau tahu kala menyandang status istri asisten wedana, Istri camat. Ia nggak pernah punya pakaian khusus untuk hadir di acara sang ayah.

Saya tak punya ingatan apakah Umak pernah hadir di acara sang ayah. Entahlah.

Entahlah juga ketika ayah saya berpulang dalam jabatan camat dan Umak menata hidup keluarganya dari uang pensiun. Uang pensiun yang nggak cukup untuk mencukupi kebutuhan tujuh anaknya.

Saya miris mengingat masa itu. Masa umak harus mencari tambahan biaya hidup yang mengikhlaskan anak-anaknya mengais rezeki dengan jualan rujak, jualan kacang asin dan sebagainya.

Untuk semua itu Umak orang yang kuat. Kuat ketika mengikhlaskan saya kembali kuliah ke Banda Aceh. Ikhlas menggenggamkan sebuah kalung emasnya untuk sekadar bekal saya kalau mendapat hambatan hidup.

Kalung emas yang saya nggak tahu berapa jumlah mayamnya. Kalung emas yang saya nggak ingat apa saya jual atau tidak untuk biaya hidup.

Umak saya memang perempuan sejati. Perempuan yang bisa melepas lima anak perempuannya untuk menjadi seorang istri.

Saya tahu bagaimana Umak akan menghadapi semua ini. Menghadapi beban untuk melepaskan anak-anak ke pelaminan. Beban macam-macam.

Sebagai satu-satunya anak lelaki disebuah hari saya membisikkan ketelinganya. “Kita jual saja tanah di Lhok Bengkuang ya Mak.”

Ia tersenyum dan berkata pendek,”terserah waang lah.”

Saya tahu arti kata terserah waang imi. Kata  waang sebagai pemegang wareh.

Kata yang juga pernah Umak ikhlaskan, walau pun tak terucapkan dari mulutnya, ketika ayah saya menyerahkan kadai yang ia bangun untuk keponakan anak-anak si Puliah yang kami sapa dengan Mak Itam.

Keponakannya yang bernama si Udin, si Khaidir, si Nasrun dan si Radi. Kadai yang dibangun ayah saya untuk dikelola keponakannya. Kadai yang dijanjikan si Udin untuk memberi beras setiap bulan kepada Umak.

Janji yang sering menjadi keluhan Upo, kakak saya, tentang janji si Udin yang pas-pas sekali.

Kalau kalian nggak percaya tanyakan dengan si Upo bagaimana ia menagih janji setiap bulannya dengan membawa ampang bareh.

Tidak hanya kadai ka si Udin untuk keikhlasan Umak. Ia juga tak pernah meupek ketika ayah punya rezeki berlebih dan membagi untuk kakak, adiak sepupu dan penokannya.

Tanyakan juga dengan Mak Azis atau Mak Muis bagaimana ayah berbagi dengan mereka. Tak ada datuih kecek yang terdengar dari mulut Umak saya.

Untuk itu ketika saya mengulum kata terserah waang dari Umak untuk menjual tanah wareh di Lhok Bengkuang saya bertambah tahu siapa dia seutuhnya.

Tahu seorang si Mijah yang hatinya seputih kapas. Si Mijah umak saya yang sulit mencari tandingan kesederhanaan sikapnya sebagai insan. Kesederhanaan bak malaikat.

Kesederhanaan yang coba saya salin tapi nggak pernah hadir seutuhnya. Salinan yang yang naik turun. Bukan kesederhanaan milik si Mijah yang nggak pernah lekang pahatannya.

Terhadap wareh ini saya nggak mau mencederai Umak. Hasilnya saya serahkan semua kepadanya dengan mengenyampingkan hukom wareh. Hukum waris yang bagi membagi antara anak lelaki dan perempuan.

Semuanya saya serahkan ke Umak. Menyerahkan juga cara membaginya ke beliau. Menyerahkan juga petak tanah baru di kampung payo dari uang penjualan tanah Lhok Bengkuang. Tanah kampung payo yang menjadi rumah adik saya si Nimar,

Tanah yang di beli si Nimar dan menyerahkan semua kepiangnya ke Umak. Yang kemudian dibagikan sendiri ke kakak dan adiak-adiak.

Terhadap wareh ini ia pernah mengusap bahu saya dan berkata,”Kan waang anak laki-laki ambiak la saketek”

Saya menggeleng. Menggeleng karena kehidupan saya kala itu mulai mendaki. Menggeleng juga karena tahu bagaimana pengorbanannya terhadap kehidupan. Terhadap suami, anak-anak dan dan entah apalagi.

Umak memang insan paripurna. Paripurna menerima siapa pun yang menjadi jodoh anaknya. Ia tak peduli dengan kecek keda dan kecek kanan tentang menantunya. Ia menerima semuanya.

Menerima ketika saya membisikkan kata ingin babini. Bisikan disebuah hari. Bisikan yang dijawabnya. “Iyolah. Waang kan alah baumua,” katanya dalam kalimat pendek.

Kalimat pendek yang harfiahnya sangat panjang karena sayalah satu-satunya anak lelakinya. Anak lelaki yang alah baumua.

Dan ia ikhlas siapa pun istri pilihan saya.

Ia tidak pernah menanyakan bagaimana pilooh perempuan yang saya pilih sebagai istri. Hanya satu kata yang bisa saya ingat kala itu. “Yang rancak yo.”

Kata rancak ini banyak artinya. Bisa cantik rupa, cantik hati dan cantik kelakuan.

Sampai disini saya sepertinya tak ingin memanjangkan tulisan. Sebab ini hanya episode. Episode pendek dari menghadirkan kembali sosok Umak.

Episode sangat pendek. Karena episode lain dari Hamidjah bisa  menjadi milik si Linar, si Tayat, si Emi dan si Nimar.  Milik si Upiak Lantiak dan si Oyok yang telah berjirat. Dan milik adik si Gadih.

Atau milik siapapun yang menyapanya dengan Umak.

Sosok Umak yang di hari-hari, bulan-bulan dan  tahun-tahun ujung kehidupannya tak mau membebani kehidupan anak-anaknya. Kehidupan hari tuanya di sebuah kamar. Di rumah adik saya si Tayat.

Kehidupan yang kami sambangi dengan hati.

Tags : slide