close
Nuga Life

Bisik Ayah untuk Seorang Ayah

Tak banyak diantara orang tua yang tahu bagaimana seharusnya menjadi ayah.

Pakar psikologi, sekelas Dr Mark Borg Jr, selalu mengingatkan: hati-hatilah menjadi ayah.

“Anak Anda yang masih kecil pasti memperhatikan Anda. Diam-diam. Lalu merekam semua itu dalam kesadaran kecilnya,” kata psikolog sekelas Sarlito Wirawan

Anak akan tumbuh dengan obsesi: ingin seperti ayah!

Dr. Borg psikolog klinis itu memberi tekanan, obsesi anak biasanya mengambil campuran emosi dan antisipatif dan mengalihkannya ke dalam pemikiran.

Dalam obsesi ada ikatan komitmen

Jadi ia bukan sebuah linggis untuk menggali sebuah lobang yang cara memakainya selalu diajarkan. Ia beda dengan cinta. Yang mendekap.

Obsesi adalah kunci inggris yang nggak perlu diajarkan cara memakainya. Dan, yang pasti, apa pun pekerjaan sang Ayah, si anak punya keinginan mengikutinya.

Termasuk kalau ayahnya hanya merenung. Duduk di warung kopi. Perokok. Dan entah apalah saya tak ingin menyebut deretan kerjaan seorang ayah yang direkam oleh si anak.

Tak terkecuali anak saya. Muhammad Fikri.

Yang kini menjadi ayah dari anaknya Muhammad Alfin.

Anak lelaki dari perkawinannya dengan Laras Hening Basuki, Yang lahir di hari Selasa dua puluh enam April tahun dua ribu dua puluh dua. Di Hospital Brawijaya, jalan Sahardjo, Tebet, Jakarta.

Fikri yang ayahnya, dulu, seorang profesional. Bekerja sebagai jurnalis. Wartawan. Pekerja media.

Pekerja yang dijungkirbalikkan oleh waktu. Dijungkirbalikkan oleh sanjungan dan cacian. Juga jungkir balik dalam mengisi rongga hidup.

Saya tahu Fikri pasti punya rekaman terhadap semuanya, Mengalahkan saya yang rekamannya banyak yang terkelupas.

Untuk itulah Fikri, seperti ditulis Borg dalam sebuah tesisnya, punya obsesi untuk mengalahkan ayahnya, Mengalahkan semuanya dan menyalin semuanya. Tentu yang baiknya.

Sebab banyak hal yang tak baik dari ayahnya yang tidak tahu. Ahahah……

Sejak kecil Fikri bercita-cita:  saya harus bisa seperti ayah bekerja sebagai prefesional. Profesional yang tidak harus seperti ayahnya.

Profesi apa saja.

Tidak harus sebagai aparat yang sering disangkakan ayahnya sebagai …. entah apalah.

Dan ia tidak pernah punya cita-cita untuk itu. Mengatur-ngatur dan menunjuk-nunjuk.

Itu kata batin yang menjalar ke otak Fikri ketika ia lebih memilih pendidikan akuntansi usai menjajal pelajaran berhitung,  matematik dan matematik sebagai soko guru pilihannya di awal sekolahnya.

Tidak cukup disekolah. Ia menambah cas batereynya di kursus. Ia pilih kursus terbaik. Kursus terbaik yang pengajarnya galak nya, ya ampun. Seorang Cina. Yang tak peduli dengan anak siapa, Yang ia “hayau” untuk jadi.

Saya sebagai ayah tak pernah membikin pagar pembatas terhadap pilihannya.

Fikri bebas untuk memantulkan obsesinya. Memantulkan untuk menjadi yang terbaik melompati apa yang pernah didapat ayahnya.

Terus terang, saya tidak pernah ingin tahu apa yang menjadi jalan hidupnya, Yang nggak boleh bagi saya ia memilih jalan pintas. Kalau jalan pintas tentu Anda dan saya tahu kemana muaranya. Hanyut..

Untuk itu, ketika ia menyelesaikan sekolah menengah atasnya, yang prestise ia menggenggam tawaran bea siswa ke sebuah negara di batas Eropa. Ia menolak.

Menolak tanpa minta pendapat dari saya. Saya membiarkan.

Membiarkan juga ketika ia memilih kerja di sebuah perusahaan consultan ternama di Jakarta. Padahal saya tahu kehidupan Jakarta adalah belantara. Belantara persaingan. Persaingan kerja keras.

Saya tahu itu karena pernah menjalaninya disebuah fase kehidupan.

Fase kehidupan datang pagi dan pulang pagi. Dan tak ada jadwal untuk sebuah penugasan. Bisa siang, malam, tengah malam tanpa pernah membantah karena ada kebanggan yang ikut terbawa dalam penugasan itu sendiri.

Sama dengan bangganya ketika harus tidur di bawah kolong meja ketika hari dan jam deadline. Yang kemudian berlari mengejar deadline minggu dan hari berikutnya.

Itu rotasi kerja yang menjadi bagian hidup saya.

Dan Fikri juga tahu itu dari bisik yang saya dengar dari ibunya. “Ma… kehidupan Jakarta itu ganas. Kejam. Saya hidup disini dan kerja disini. Saya nggak mau terjerumus. Saya tahu doa Mama untuk saya,” katanya disebuah malam.

Kalimat itu diucapkan Fikri karena Mamanya membujuknya pulang saja ke Aceh setelah bujukan yang sama nggak mempan di cerewetkan ke saya.

Saya dituduh terlalu liberal bersikap dengan anak. Terlalu membiarkan.

Membiarkan juga ketika ia memilih jodoh dengan seorang gadis di Bekasi.

Ah…nggaklah. Bukan memilih jodoh. Tapi mendapatkan jodoh. Sebab masalah jodoh ini kan sakral. Di sana ada unsur takdir.

Mendapat jodoh bernama Laras Hening Basuki. Yang saya nggak tahu asal trahnya.

Siapa ayahnya dan ibunya.

Dan yang pernah saya dengar dari ibunya gadis bernama Laras itu pernah menelepon. Minta restu hubungan mereka. Dan Mama si Laras, yang kini jadi besan kami, juga pernah meneleponnya. Tapi saya ngeh,

Tak peduli.  Sebab saya tahu Fikri belum jadi apa-apa, Belum bisa mandiri, Itu saya tahu dari slip penghasilannya yang pernah saya utak atik. Yang berkasnya tercecer ketika ia takziah ke rumah masa kecilnya.

Saya ingin ia mapan dulu. Untuk kemudiannya bertanya apa dan siapa yang dimaunya sebagai jodohnya. Soal ini Fikri pun nggak pernah mengutarakan kepada saya. Ia tahu saya sangat keras dalam hal-hal prinsip.

Ia tahu kalau ayahnya mengatakan tidak, tak ada kata abu-abu sebagai lanjutannya. Final.

Bahkan ketika saya sudah “welcome” terhadap calonnya, Laras, ia tak berani mengutarakan lewat telepon, “Saya ingin pulang mengatakan kepada ayah,” katanya pada suatu hari kepada Ibunya.

Tentang jodoh ini saya ingin menulis dalam sebuah episode yang lain.

Ya,  ketika ayah menjadi sesuatu disebuah media lokal terkenal Fikri merekam semuanya. Merekam sedetil-detilnya.

Merekam dari karyawan tentang apa yang dikerjakan ayahnya. Karena dia saya bawa ke “belangong” tempat kerja.

Ia juga mendengar tentang ayahnya yang naik pangkat menjadi sesuatu. Saat itu ia merasa jabatan ayahnya itulah yang tertinggi di dunia.

Di dalam hatinya terpatri seperti tidak ada jabatan yang lebih hebat dari jabatan sesuatu yang dijalani ayahnya.

Maka Fikri memilih sekolah sekolah lanjutan terbaik.

Cita-citanya menjadi profesional seperti di depan mata ketika Fikri diterima sebagai mahasiswa jurusan akuntansi di presiden university, Cikarang, Jawa Barat.

Ketika menjadi mahasiswa ia mengorbankan perasaan sebagai anak tunggal yang biasanya berada dibawah jepitan ketiak mamaknya.

Ia mengorbankan statusnya sebagai anak tunggal. Dan mamaknya juga mengorban ……. Entahlah… Saya seperti nggak sanggup menuliskan bagaimana ibunya mohon agar Fikri terus berada dalam dekapannya.

Sebagai suami saya terus mendamaikan hatinya. Kegundahannya. Semuanya. Saya minta ia berkorban melepas Fikri mengejar mimpi, Mewujudkan obsesi yang ada dialiri nadinya,

Saya sendiri juga sering tergoda untuk mengembalikannya. Tapi sesaat. Saya tahu itu pilihannya. Saya telah berjanji dengan dirinya saya apa pun pilihannya saya sih oke….

Sering saya menepis godaan banyak orang. Entah itu saudara atau teman. “Anak satu kok dilepas jauh.”

Dalam menjalani di pendidkan tingginya Fikri memang habis-habisan. Ketika teman satu kamar asramanya wobaksot di pertengahan masa pendidikan ia tak peduli.

Begitu juga juga kalau digoda untuk pindah jurusan ia menampik.

Ia juga menjalani magang di divisi finansial ka-ka-ge. Kelompok kompas gramedia di Pal Merah, Jakarta. Ia mendapat jatah magang di grup media paling hebat itu lewat dispensasi khusus.

Sebab grup media itu membatasi kegiatan magang yang banyak diajukan

Keseriusan ayahnya bekerja di sebuah media membuat Fikri bekerja keras seperti bukan sedang magang.

Begitu pula saat magang lagi untuk yang kedua, di consultan yang kini menjadi tempat kerjanya. di Sebuah apartemen Kasablanca, Jakarta.

Fikri pun menjadi anak magang favorit di consultan itu. Maka begitu menyelesaiakan masa magangnya Fikri langsung diterima untuk bekerja di situ.

Ayah Fikri kini sudah pensiun. Fikri  tahu jiwa-raga ada ada di bengkel penulisan. Maka ia tawarkan laptop baru untuk menggantikan laptop butut sebagai kerjaan ayahnya di rumahnya.

Rumah hijrah sementara ayahnya…. ah tumpangan … di Summarecon, Bekasi, Jawa Barat.

Tiap pagi sang ayah menekuni hobi di rumah anaknya. Apalagi Fikri sudah memberinya satu cucu.

Saya tidak habis pikir: apa jadinya kalau waktu kecil Fikril hanya melihat ayahnya menganggur duduk-duduk melamun di emperan rumah sambil merokok.

Atau Fikri kecil hanya melihat bapaknya tidur melulu sepanjang hari!