close
Nuga Kolom

Testimoni Perjalanan si Krempeng

Kata Pengantar dari

Darmansyah….

Perjalanan si Krempeng.

Setelah Ba La Ap.

Dua buku himpunan “perjalanan” penulisnya. Penulis yang menamakan dirinya sendiri dalam buku terbarunya ini, si Krempeng. Perjalanan Medan-Banda Aceh-Meulaboh.

Perjalanan suka duka Arminsyah. Yang dalam perjalanan panjang itu masih bisa menertawakan dirinya.  Tertawaan yang menarik. Bukan tertawa terbahak. Tertawa yang tersenyum dan terkulum.

Tersenyum kala kita bertemu dengan ilmu nujum yang bisa ditembakkan sebagai obat “pekasih” Atau terkulum kala rengek Cut Yus harus dibuang kesamping. Dan menjadikannya sebagai perjalanan indah.

Perjalanan bergelimang ayakan pikap yang menyatu dengan kenangan rakit penyebaran plus kenikmatan puncak geurute yang berbatu cadas dengan kanvas Tuhan sebagai gambar keindahannya.

Perjalanan yang dihimpun sang penulis dalam lima puluh enam episode. Tiga ratus halaman. Bermula dari episode Berakit-rakit ke Meulaboh dan ditutup dengan episode Poligami Party.

Episode pertama dengan gambar si Krempeng disertai modal penulisan mobil mini colt T 120. Modal udara cerah Banda Aceh tahun 1978. Modal tentang pertanyaan yang memerlukan jawaban tentang kemampuan si Krempeng menjinakkan perjalanan dua ratus kilometer Banda Aceh-Meulaboh.

Banda Aceh – Meulaboh yang dihempas lumpur, lobang dan debu jalanan. Plus rakit-pelayangan-yang bisa menunda jam dan hari untuk sampai ketujuan.

Sebuah kisah yang baurannya menjelmakan si penulisnya tampil sebagai si Krempeng yang utuh.

Kisah inilah yang mengisi episode-episode awal kumpulan tulisan ini. Kisah Bersama si Wahed yang menjadi apit awenya.

Episode ini, untuk kemudiannya, di tutup dengan senyum Cut Yus di judul Poligami Party.

Buku ini sendiri sebelumnya merupakan tulisan bersambung di facebook Arminsyah. Ayah Armin sang Krempeng. Tulisan yang banyak dikerumuni komentar tanya dan mengundang tawa karena menggelitik perasaan.

Saya sendiri mengikuti tulisan ini secara terputus-putus. Walau pun terputus-putus saya bisa menyambungnya di memori. Karena memori saya sama isiannya dengan si Krempeng untuk perjalanan itu sendiri.

Perjalanan anak-anak yang diplesetkan “aceh ketelatan.” Anak-anak Aceh Barat-Selatan yang mobil kopenya-bus-bernama PMABS. Sebelum adanya ASCO, PMTOH, KMB dan ALS.

Arminsyah memang seorang penulis kreatif. Penulis yang dibentuk oleh alam pengalaman. Alam pertemanan. Bukan oleh alam pendidikan.

Saya mengenal Arminsyah sudah sejak lama. Lama.. sekali. Ketika masih melata di jalan Bakongan-Perdagangan dan Diponegoro Banda Aceh. Ketika saya sudah jadi wartawan ecek-ecek dan dia salesman di sebuah perusahaan dagang,

Untuk itulah ketika dia “memaksa” menulis pengantar tulisan ini saya terdiam. Terdiam karena saya sendiri seharusnya jadi penulisnya. Terdiam karena saya ada dalam tulisan ini. Yang secara kasatmata ada di foto ilustrasinya.

Untuk itu saya bergumam ketika ia menanyakan alamat terakhir untuk mengirim kopian buku si “Krempeng”  Kopian buku yang belum tertata penampilannya. Tapi sudah utuh isinya.

Guman ini juga merupakan jawaban dari “dosa” saya terdahulu karena tidak memenuhi janji menulis resensi buku Ba La Ap. Padahal Arminsyah sudah mengirim hasil cetakan buku bersampul gambar harimau dengan latar hitam itu.

Postur tulisan saya sebenarnya nggak pas untuk menulis pengantar. Saya tak biasa dengan memuji tulisan orang. Siapa pun. Ini watak wartawan. Kritis.

Tapi untuk himpunan si Krempeng saya harus berdamai. Karena di buku ini saya ada di dalamnya. Di dalamnya sekali. Di dalam bathin Arminsyah sendiri.

Bahkan ia juga menatahkan nama saya disudut foto ilustrasinya. Menatahkan juga lewat langit memori disetiap kali ber”say hello” baik di dering whatsapp maupun dering halo. Diskusi untuk saling mengingatkan sisa kenangan. Yang terkadang telah mengelupas dimemori.

Saya senang dengan terbitnya buku himpunan perjalanan ini. Perjalanan si Krempeng Medan-Banda Aceh-Meulaboh. Senang karena Arminsyah masih mengingat banyak detil. Detil yang sudah berumur empat puluh empat tahun.

Detil yang dimemori saya yang menjalani sejarah itu sendiri sudah mulai buram. Apalagi dimemori anak-anak sekarang. Ketika si Krempeng menyalinnya ke tulisan masih berada di langit mahfud.

Makanya, sebelum menutup kata pengantar ini saya ingin berterima kasih kepada penulisnya. Terima kasih telah mengembalikan tidak hanya ingatan saya ke sebuah masa kelabu yang menyenangkan. Tapi juga memberi tahu kepada anak cucunya lewat testimoni kisah.

Kisah yang bukan fiktif. Tapi bernada reportase. Reportase dengan narasi terjaga.

Terima kasih penulis…..