close

Sakit psikis dan sakit fisik ternyata berkaitan erat bagi pemilik gen sakit hati.

Pernah mendengarkan keluhan seorang perempuan muda yang dilanda sakit hati?

Ya, lihatlah ekspresi wajahnya begitu sedih dan tertekan, cenderung sangat emosional.

Kalimat-kalimat yang dikeluarkan begitu tajam, bahkan seperti menyimpan dendam sekian lama.

“Kalau saya sampai sakit hati, seumur hidup enggak bakal lupa!” wajahnya tampak mengeras.

Kemudian keluar lagi kalimat lain, “Dia tuh sudah berkali-kali nyakitin hati saya!

Kata-katanya nyelekit!

Kalau saya gelap mata sudah saya bunuh!

“Saya enggak mau lagi lihat wajah dia!

Benci!”

Masih banyak kalimat lain berhamburan dari mulutnya dengan penuh emosi, seperti air meluncur deras dari keran.

Selanjutnya, perempuan muda ini tak pernah mau menyapa dan disapa lagi oleh orang yang telah menyakitinya.

Kalaupun disapa, tak ada respons, bahkan wajahnya tampak dingin.

Semakin hari perasaan perempuan muda ini semakin sensitif. Setiap perempuan ini mendengar percakapan atau kalimat tertentu, yang dirasa menyinggung dirinya, maka langsung berpikiran negatif, “Pasti ngomongin saya nih!”

Selain itu, satu hal yang paling menyedihkan dari perempuan muda ini, yaitu “terikat pada masa lalu” yang membuat dirinya tersakiti!

Perempuan ini selalu ingat dan tetap akan mengingat setiap perkataan, atau sikap, apalagi perbuatan dari siapa saja yang telah melukai hatinya, baik kekasih yang meninggalkan dirinya, atau saudara dan teman yang telah menyinggung perasaannya.

Seandainya tahun lalu tersakiti sebanyak lima puluh kali dan tahun ini sebanyak tiga puluh  kali, maka jumlah delapan puluh ini akan semakin bertambah pada tahun berikutnya!

Akhirnya, jumlah beban sakit hati semakin bertumpuk seperti puluhan koper. Repotnya, puluhan koper ini selalu dibawa ke mana-mana, entah dipikul atau diseret-seret, pokoknya tidak lepas dari dirinya!

Uniknya, perempuan muda ini sangat hafal isi setiap koper. Apabila ia kembali disakiti oleh orang yang sama, maka ia akan mengeluarkan isi koper tertentu yang isinya “dosa-dosa” orang tersebut.

“Gua masih ingat, dulu lu ngomong bla-bla-bla…”

Pencetus sakit hati sangat banyak, bisa bersifat verbal bisa nonverbal.

Di antaranya, akibat ditinggal atau dikhianati kekasih, ditinggal pergi suami atau istri tercinta, disakiti teman, mengalami kekerasan fisik atau seksual, dianiaya oleh orang yang paling dekat, misalnya saudara atau orangtua sendiri.

Sakit hati pun bisa timbul dari ucapan atau kalimat seseorang yang menyinggung perasaan, menghina, sikap atau bahasa tubuh yang melecehkan, janji-janji yang tidak pernah ditepati, kena tipu, dibohongi.

Atau hal-hal lain yang mungkin biasa bagi kebanyakan orang, tetapi bisa menyinggung perasaan pada orang tertentu.

Kadar sakit hati pada setiap orang pun pada dasarnya berbeda. Ada yang menyimpannya rapat-rapat dalam hati yang kelak bisa menjadi dendam atau kebencian yang akut.

Ada juga yang langsung melampiaskan berupa tindakan destruktif, yaitu memukul, melukai, atau membunuh.

Tetapi ada juga yang tidak mau berlarut-larut dalam sakit hati. Ia mau rekonsiliasi atau memberi pengampunan kepada orang yang menyakitinya.
Sakit hati yang berlarut akan menjadi akar pahit atau kepahitan yang bisa berujung depresi.

Ciri-ciri orang yang sakit hati, yaitu perasaannya sangat sensitif, mudah tersinggung, sinis, kasar sikapnya, tidak perduli dengan orang lain, suka menggerutu, membenci tanpa sebab, apatis, pemurung, pendendam, malas makan, sulit tidur, cenderung menjauhkan diri dari  orang lain, sukar mengatakan terima kasih, tidak punya motivasi membantu, mudah ceria sebaliknya mudah juga diam atau sedih, mudah terkena depresi.

Dengan keadaan seperti itu, maka sakit hati dikategorikan sebagai gangguan psikologis karena berhubungan dengan perasaan, emosi, dan akal. Gangguan psikologis ini apabila dibiarkan akan menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut berlebihan yang berujung depresi.

Oleh karena itu, menyimpan rasa sakit hati sekian lama akan merugikan diri sendiri.

Profesor psikologi dari Monmouth University New Jersey, Gary Lewandowski PhD mengatakan, “Satu hal yang tak boleh Anda lakukan adalah mengunci diri di dalam kamar. Mengasingkan diri sendiri hanya akan membuat semuanya bertambah buruk.”

Menurut penelitian Philippe Verduyn dan Saskia Lavrijsen dari University of Leuven, Belgia, yang dipublikasikan dalam jurnal Springer berjudul Motivation and Emotion, sedih karena patah hati, sedih ditinggal orang tersayang, dikecewakan orang terdekat, ternyata menimbulkan kesedihan hati yang sangat dalam dan sangat sulit hilang.

Dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa sedih, patah hati, ternyata dua ratus empat puluh kali lebih lama hilangnya ketimbang dua puluh tujuh emosi negatif lainnya, seperti jengkel, bosan, malu.

Ahli psikologi sosial Prof Naomi I Eisenberger, Matthew D Lieberman, dan Kipling D Williams dari University of California, Los Angeles, dalam studi penelitian berjudul Does Rejection Hurt? An fMRI Study of Social Exclusion ) mengatakan, “Jika seseorang sangat mudah sakit hati, kemungkinan memiliki gen sakit hati.

Para peneliti dari University of California, Los Angeles, ini melakukan survei terhadap 122 orang dengan tujuan ingin mengetahui seberapa sensitif seseorang apabila mengalami penolakan.

Setelah melakukan scan otak dan air liur pada partisipan tersebut, maka diketahui bahwa bagi yang mudah mengalami sakit hati diketahui memiliki penanda genetik yang sama. Mereka ternyata memiliki gen sakit hati yang menjadi penyebab sakit psikis dan sakit fisik.

Jadi sakit psikis dan sakit fisik ternyata berkaitan erat bagi pemilik gen sakit hati. Naomi Eisenberger menjelaskan bahwa otak tidak sanggup mengatasi sendirian pada saat disakiti. Misalnya, seseorang diputus oleh kekasihnya yang sangat dicintainya, maka hatinya akan remuk termasuk fisiknya menjadi melemah saking sedihnya.

Pada saat itu gen sakit hati langsung memengaruhi bagian otak yang mengontrol rasa sakit dan memberi sinyal-sinyal rasa sakit yang dikirim oleh otak tersebut pada bagian tubuh lainnya.

Jadi kerja gen sakit hati menurut Naomi Eisenberger yaitu bersumber dari pikiran yang merembet ke fisik. Proses neurologis pada saat sakit hati melibatkan anterior cingulate vortex di otak yang berstimulasi ke saraf vagus sehingga menyebabkan sakit di bagian dada. Juga terjadi keluhan lain seperti mual, lemas.

Ditambah lagi munculnya hormon kortisol penyebab stres yang membuat daya tahan tubuh melemah. Keluarnya hormon kortisol ini memengaruhi sistem pencernaan sehingga selera makan berkurang yang ujungnya terjadi gangguan pencernaan.

Di sinilah terjadi dua kejadian, sakit psikis dengan efek sakit fisik.
Catatan:  dikutip dari Kompas.Com, Tulisan Irwan Suhanda