close
Nugatama

“Pasir Hisap Gaza Itu Milik Hamas”

“Tidak aka nada kemenangan di sini. Pasir Gaza itu memang lembut…, tapi ia milik Hamas setelah diubah menjadi pasir hisap. Mundur saja Netanyahu…. Sudahi Protective Edge”

Penggalan kalimat di atas ditulis dengan sangat “puitis” oleh surat kabar “Haaretz” terbitan Tel Aviv, Israel, Selasa, 22 Juli 2014, dalam analisis empat harinya serangan darat Israel ke Gaza.

Ada nada getir dan nyilu dari rasa ketakutan yang mencengkeram nyali Israel menghadapi pertempuran darat “head to head,” sporadis dan mematikan itu antara mereka dengan pejuang Hamas. Rasa nyilu dari tulisan “Haaretz” itu berasal dari kematian dua puluh lima tentara Israel dalam empat hari pertempuran “door to door.”

“Sebuah angka korban yang hanya bisa disamakan dengan perlawanan Hezbollah ketika invasi Israel ke Lebanon tahun 2006, dan menyebabkan desakan dari warga negara Yahudi itu untuk menarik mundur pasukannya,” tulis “Haaretz.”

Apakah kasus serupa akan terjadi? “Mungkin,” lanjut “Haaretz.”

Israel menemukan batu karang yang liat di Gaza hari-hari setelah Hamas tidak memedulikan berapa jumlah martilnya yang terbunuh. Mereka telah menjamin harga nyawa itu memang untuk dijual bagi sekeping harga diri, atas nama “kebebasan.”

Dan pertaruhan harga diri ini pulalah yang membuat “Haaretz” menyuarakan surutnya nyali Israel untuk melanjutkan pertempuran darat di Gaza.

“Pasir Gaza lembut … tapi bisa berubah menjadi pasir hisap. Tidak akan ada kemenangan di sini. … Israel harus membatasi waktu serangan di Jalur Gaza,” ulang Haaretz” dalam tajuknya bernada miris.

Selama dua pekan menggelar operasi “Protective Edge,” Israel terlihat yakin dengan langkahnya, serta bangga dengan kemampuan “The Iron Dome,” sistem pertahanan yang meruntuhkan roket-roket “murah” Hamas dari Gaza.

Keberadaan Iron Dome menjadi alasan tak ada satu pun warga Israel tewas karena lontaran roket dari Gaza, saat dua ratusan warga Palestina kehilangan nyawa karena serangan udara dan laut Israel, pada pekan pertama dan kedua operasi tersebut.

Keyakinan dan kebanggaan itu, mendorong Israel meningkatkan operasi menjadi serangan darat, yang diumumkan pada Kamis, 17 Juli 2014. Namun, keputusan mengerahkan prajurit dan tank ini pula yang kemudian malah berbalik menyurutkan nyali Israel.

Semua berbalik menjadi keraguan di Israel, setelah serangan darat justru merenggut nyawa dua puluh orang prajuritnya. Bagi Israel, keraguan dan penghentian serangan tak pernah datang karena kematian warga Palestina sejak 08 Juli 2014.

Jumlah kematian prajurit Israel dalam waktu empat hari itu merupakan angka tertinggi sejak perang Lebanon pada 2006. “Ini buruk dan tak berjalan lancar,” kata Alon Geller.

“Tapi kami harus menyelesaikan operasi. Jika kami berhenti sekarang sebelum mencapai tujuan kita, para prajurit akan mati sia-sia,” kata Alon.

Selama ini ada semacam konsensus di Israel, untuk lebih memilih memakai serangan udara dalam menghadapi pejuang Palestina. Namun, mereka lalu melihat matinya ratusan orang Palestina dalam dua pekan serangan tak menyurutkan perlawanan kepada Israel.

Pilihan berikutnya adalah serangan darat. Baru berjalan lima hari, Pemerintah Israel dinilai sudah terlihat ragu, ketika di lapangan mereka harus kehilangan prajuritnya. Urusan ini dianggap sudah berantakan.

Bukan berhentinya perlawanan yang didapat, justru serangan balik yang menewaskan prajurit dari negara dengan sistem wajib militer ini yang terjadi.

Sementara itu, kematian di Gaza yang tak menyurutkan perlawanan pejuang Palestina, semakin memperlihatkan bahwa perlawanan yang muncul selama ini semata bertujuan menghentikan praktik blokade Israel atas tanah Palestina di Jalur Gaza.

Kematian dua puluh lima prajurit Israel itu diyakini akan mendorong warga negara itu mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghentikan operasi.

Meskipun, ada juga kemungkinan garis keras Israel mendesak langkah lebih radikal seperti pengambilalihan Jalur Gaza, sekalipun berisiko berhadapan dengan tekanan internasional yang baru mulai terusik dengan matinya ratusan orang Palestina dalam dua pekan ini.

Surutnya nyali Israel juga punya preseden, yaitu pada 2006, ketika pendahulu Netanyahu, Ehud Olmert, dipaksa warganya sendiri untuk mundur dari Perang Lebanon saat dianggap sudah terlalu banyak prajurit Israel tewas di sana.

Sebaliknya, seruan invasi total sudah mulai bermunculan di Israel, untuk mengusir Hamas dari Gaza.
Penyeru invasi total ini juga tahu betul, bila langkah itu ditempuh maka mereka terancam kembali menjadi komunitas terkucil dengan populasi hampir dua juta manusia yang miskin, seperti yang mereka alami selama empat dekade sampai mereka menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005.

“Aku benci perang. Aku terluka oleh setiap kematian,” kata seorang sopir bus di Jerusalem, Haviv Shabtai. Dia mengaku sejak awal menentang invasi darat.

Tags : slide