close
Nuga Tekno

Google dan Tren Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan?

Ya, tren teknologi kini mengarah pada persaingan menghadirkan kecerdasan buatan.

Sebut saja anak perusahaan teknologi raksasa  Google yang bernama Deep Mind

Mereka  baru saja mengumumkan  telah mulai membangun kecerdasan buatan yang bisa memprediksikan masa depan.

Namun, jangan salah paham.

Kemampuan tersebut bukan menerawang bak paranormal, melainkan menimbang beberapa keputusan dan membuat rencana untuk masa depan tanpa instruksi dari manusia.

Bagi Anda, hal tersebut mungkin terdengar biasa saja, tetapi mengimajinasikan konsekuensi dari suatu aksi adalah tugas yang sulit bagi robot.

Seperti ditulis di situs resminya, Deep Mind, salah seorang peneliti mengilustrasikannya demikian: “Ketika meletakkan gelas di pingir meja, misalnya, kita akan berhenti sebentar untuk menilai seberapa stabil gelas dan akankah ia jatuh. Dengan basis konsekuensi yang diimajinasikan ini, kita mungkin akan menata ulang gelas tersebut agar tidak jatuh dan pecah.”

Dia melanjutkan, jika alogaritme kita dapat mengembangkan perilaku yang sama canggihnya, maka mereka juga akan memiliki kemampuan untuk berimajinasi dan memikirkan masa depan. Setelah itu, mereka pasti bisa menciptakan sebuah rencana berdasarkan pengetahuan ini.

Untuk menciptakan kecerdasan buatan dengan kemampuan tersebut, para peneliti DeepMind menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus.

Dua di antaranya adalah reinforcement learning yang berarti belajar melalui percobaan dan deep learning yang meniru cara otak manusia menyimpan informasi raksasa dalam bentuk jaringan.

Hasilnya adalah sebuah sistem yang menggabungkan percobaan dengan simulasi sehingga ia dapat mempelajari lingkungannya dan berpikir sebelum mengambil keputusan.

Alogaritme ini kemudian diuji menggunakan Sokoban, sebuah permainan video puzzle yang dirilis pada tiga puluh enam tahun silam

Permainan ini mengharuskan pemain untuk membuat perencanaan terlebih dahulu sebelum mengerjakannya, tetapi kecerdasan buatan Deep Mind tidak diberitahu mengenai aturan tersebut maupun cara bermainnya.

Ternyata, kecerdasan buatan dengan kemampuan berimajinasi ini mampu menyelesaikan delapan puluh lima persen dari semua level Sokoban, dua puluh lima persen lebih tinggi dari kecerdasan buatan dengan pendekatan lama.

Para peneliti melaporkan bahwa alogaritme yang baru membuat kecerdasan buatan menjadi lebih mampu mengatasi kekurangan dalam pengetahuan mereka, lebih pintar dalam memilih informasi yang berguna untuk simulasi, dan bisa mempelajari berbagai strategi untuk membuat perencanaan.

Walaupun demikian, para peneliti setuju bahwa kini masih terlalu pagi untuk melemparkan teknologi ini ke dunia nyata yang jauh lebih kompleks daripada Sokoban.

Namun, ini adalah awal yang baik untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mampu berimajinasi dan membuat rencana layaknya manusia

Seiring dengan perkembangan teknologi, robot pun semakin menyerupai manusia. Akan tetapi, perkembangan sesuatu yang tidak pasti menciptakan ketakutan tersendiri bagi banyak orang.

Meski belum terjadi, kisah-kisah kecerdasan buatan yang tak lagi bersahabat dengan manusia telah diimajinasikan berkali-kali.

Dalam serial film Terminator, misalnya, virus skynet mengambil alih sistem pertahanan Amerika Serikat dan menyebabkan perang nuklir yang berujung pada pemusnahan massal manusia.

Arend Hintze, Asisten Profesor Biologi Integratif dan Ilmu Komputer dan Teknik di Michigan State University mengatakan, dalam banyak sistem yang kompleks seperti wahana luar angkasa milik NASA dan pembangkit listrik Chernobyl, terjadi kerjasama sistem yang kompleks dan tidak akan pernah bisa dipahami sepenuhnya.

Oleh karena itu, kegagalan dengan cara yang tidak terduga, seperti tenggelamnya kapal di samudera dan meledaknya dua pesawat terbang yang menyebarkan kontaminiasi radioaktif ke seluruh Eropa dan Asia, masih mungkin untuk terjadi.

“Saya dapat melihat bagaimana kita bisa jatuh ke dalam perangkap yang sama dalam penelitian kecerdasan buatan,” kata Hintze seperti yang dikutip dari artikelnya untuk The Conversation.

Dia melanjutkan, kita melihat penelitian terbaru dari ilmu kognitif, menerjemahkannya ke dalam algoritma, dan menambahkannya ke sistem yang ada. Kita mencoba menciptakan kecerdasan buatan tanpa memahami kecerdasan atau kognisi terlebih dahulu.

Dua sistem kecerdasan buatan, Watson dari IBM dan Alpha dari Google, telah berhasil membuktikan kemampuannya.

Watson menang terhadap dua manusia dalam kuis populer AS, Jeopardy!, sedangkan AlphaGo mengalahkan pemain legendaris Go.

Namun, seandainya kedua sistem itu melakukan kesalahan dan kalah dari manusia sekalipun, Hintze menilai tidak akan ada konsekuensi yang berarti.

Dalam dua permainan itu, kata Heintze, yang terburuk adalah kehilangan uang akibat kalah taruhan.

Nyatanya, desain kecerdasan buatan semakin rumit dan prosesor komputer menjadi semakin cepat. Lantas, manusia memberi mereka tangung jawab lebih, walaupun risikonya pun meningkat.

“Melakukan kesalahan adalah bagian dari menjadi manusia, jadi bisa dibilang mustahil bagi kita untuk menciptakan sistem yang benar-benar aman,” ujar Hintze.

Untuk itu, Hintze menyaranakn untuk menggunakan pendekatan neuroevolution, yakni menciptakan lingkungan virtual di mana otak dan etika makhluk digital dapat dikembangkan untuk menyelesaikan tugas yang semakin kompleks.

Dengan demikian, para peneliti kecerdasan buatan dapat menangkap konsekuensi yang tidak diinginkan sebelum meluncurkannya ke dunia nyata.

“Kita juga bisa membangun lingkungan virtual untuk memberi keuntungan evolusioner pada mesin yang menunjukkan kebaikan, kejujuran, dan empati. Ini mungkin merupakan cara untuk memastikan bahwa kita mengembangkan pelayan yang lebih patuh atau teman yang dapat dipercaya dan lebih sedikit robot pembunuh yang kejam,” ujar Hintze.

Perhatian terbesar terhadap kecerdasan buatan berada di lapangan pekerjaan. Otomatisasi industri menggantikan peran manusia dengan robot.

Alih-alih menggunakan manusia yang berpotensi kelelahan, robot lebih dapat diandalkan.

Bila pada saat ini robot hanya berfungsi untuk melakukan pekerjaan fisik, tidak menutup kemungkinan bila di masa depan mereka akan mengambil alih pekerjaan kognitif dan kreatif seperti taksi tanpa pengemudi atau bahkan mesin peneliti kecerdasan buatan yang tidak berhenti menciptakan robot yang lebih canggih.

“Ini bukan masalah ilmiah. Ini adalah masalah politik dan sosioekonomi yang harus diselesaikan oleh masyarakat,” ujar Hintze.

Dia pun menuturkan, penelitian saya tidak akan bisa mengubah masalah ini, meskipun jiwa politik saya -bersama dengan manusia-manusia lainnya- mungkin dapat menciptakan keadaan di mana kecerdasan buatan menjadi bermanfaat secara luas dan tidak meningkatkan perbedaan  antara satu persen dan sisanya.

Kemudian, yang tak kalah penting, akankan manusia pada akhinya tak lagi diperlukan? Saat kecerdasan buatan telah melampaui manusia, baik dari segi fisik dan emosi, dimanakah posisi ‘si pencipta’?

Bukan tak mungkin bila kecerdasan buatan merasa tak lagi membutuhkan tuannya.

“Namun, terlepas dari ancaman fisik, kecerdasan super dapat hadir dan menimbulkan bahaya politik dan ekonomi. Jika kita tidak menemukan cara untuk mendistribusikan kekayaan kita dengan lebih baik, kita akan memicu kapitalisme di mana kecerdasan buatan hanya melayani sedikit populasi yang memiliki semua alat produksi,” ucap Heintze.