close
Nuga Tekno

Ada Orang yang Gemar Sebarkan Hoaks

Adanya media sosial tak hanya memudahkan Anda untuk memperoleh berita secara real time dari berbagai penjuru dunia, tapi juga begitu mudahnya penyebaran berita atau kabar palsu alias hoaks.

Seluruh dunia, termasuk di Indonesia, tak luput dari penyebaran hoaks.

Sebuah studi dari Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat, yang baru-baru ini dipublikasikan di jurnal Science, melaporkan bahwa hoaks di Twitter—baik itu merupakan kesalahan informasi yang tidak disengaja atau bentuk dari propaganda—menyebar lebih cepat dibandingkan dengan berita berisi fakta yang sebenarnya.

Penyebaran ini pun kemungkinan besar ulah manusia alias pengguna Twitter, bukan bots

Lewat hasil studi ini, timbul pertanyaan seperti: “Kenapa manusia menyebarkan berita bohong tanpa melakukan verifikasi terlebih dulu?” atau “Kenapa banyak sekali orang yang percaya berita bohong?”

Hoaks atau disebut juga sebagai berita bohong atau palsu (fake news atau false news) adalah informasi yang salah, sering kali hanya bersifat sensasional maupun propaganda, dan biasa disebarkan dalam kedok laporan berita.

Lantas, mengapa penyebaran hoaks ini, seperti hasil studi yang disebutkan di atas, dapat menyebar secara cepat dan ‘ganas’?

Dikutip dari laman Independent, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa hoaks dapat dengan cepat beredar atau viral.

Dr. Jens Binder, dosen senior psikologi di Nottingham Trent University, Inggris, percaya bahwa berbagi di media sosial dilakukan karena alasan emosional, termasuk menyebarluaskan berita bohong.

Seseorang membaca berita bukan hanya karena adanya fakta di sana, tapi juga untuk memahami apa yang terjadi di dunia, serta mengonfirmasi gagasan tentang bagaimana dunia bekerja di luar sana.

Menurutnya lagi, bias yang dirasakan divalidasi lewat konfirmasi dengan pola pikir: “Semakin banyak orang yang berbagi pemahaman yang sama dengan saya, maka semakin saya yakin bahwa pemahaman saya ini benar.”

Biasanya, berita yang dramatis dan emosional akan menyedot lebih banyak perhatian.

Sayangnya, jenis-jenis berita bohong ini dapat mengonfirmasi suatu pandangan atau kekhawatiran seseorang, yang dapat berujung pada kemarahan terhadap kelompok tertentu, atau dengan menyalahkan pihak-pihak yang menjadi target.

Antrolog digital Nik Pollinger, yang mempelajari hubungan antara manusia dan teknologi digital, percaya bahwa kebenaran objektif bisa menjadi nomor dua dalam dunia yang mana informasi bertindak sebagai mata uang sosial.

Katanya lagi, sebagai individu, Anda mendambakan konfirmasi tentang pandangan Anda terhadap dunia.

Asalkan Anda merasa sepaham atau percaya buta dengan sumber informasi, kebenaran objektifnya tak lagi menjadi prioritas. Informasi tersebut digunakan untuk membangun sebuah hubungan interkoneksi  atau informasi yang lewat sebuah asosiasi akan menunjukkan sebuah indentitas dan afiliasi kelompok.

Dr. Jens juga percaya bahwa banyak orang dengan sengaja memilih informasi untuk dibagikan (share) di media sosial untuk memengaruhi pendapat umum. Namun, pada dasarnya orang menyukai informasi yang bersifat gosip atau desas-desus.

Beberapa orang suka berbagai hoaks untuk alasan strategis, untuk memengaruhi atau ‘menggoyangkan’ pendapat. Ada yang untuk tujuan pribadi, ada juga yang ingin menyematkan agenda politik tertentu.

Meski demikian, kebanyakan orang yang berbagi hoaks di media sosial menyukai informasi yang masih bersifat desas-desus karena faktanya sehari-hari pun mereka melakukannya di dunia nyata: bergosip.

Dengan media sosial yang seakan mendorong Anda lewat kemudahannya berbagi informasi, Anda tak akan buang waktu untuk memverifikasi isi konten, asalkan topik informasi terkait relevan dengan kontak atau grup Anda di media sosial.

Menurut Dr. Francisco Perez-Reche dari Universitas Aberdeen, Skotlandia, berita sensasional yang beredar secara viral di media sosial serupa dengan virus yang dapat menyebabkan epidemi.

Sering ditemukan adanya fenomena sosial yang diterima banyak orang hanya dalam waktu semalam, khususnya pada zaman media sosial seperti sekarang ini.

Hal ini sangat relevan dengan konteks sosial yang mana seorang individu merasa ragu untuk bergabung dengan sebuah gerakan kolektif. Misalnya seperti demonstrasi, karena takut akan menjadi bagian dari minoritas yang nantinya bisa mendapatkan hukuman.

Menurut Dr. Francisco, ketika seseorang mulai menerima sebuah ide, terlepas dari apakah itu fakta atau bohong.

Hal tersebut menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘transmisi’ yang cukup kuat untuk menghilangkan ‘keraguan’ dalam berbagi, yang mengakibatkan terjadinya ‘penularan yang eksplosif’ dari informasi yang beredar.

Dr. Philip Seargent, penulis buku Language of Social Media, mengatakan bahwa algoritme yang digunakan di Facebook dan media sosial berpengaruh terhadap berbagai informasi yang diunggah atau di-share oleh lingkaran teman-temannya yang memiliki pemahaman yang sama.

Selain itu juga adanya aksi seperti menyembunyikan atau memfilter informasi yang tidak disukai atau tidak disetujui.

Dalam kondisi ini, seseorang cenderung tak ingin terlibat dalam berbagai macam ide atau berita, dan lebih memilih untuk membaca berita dari perspektif yang ia yakini. Dokter Philip menyebutkan ini sebagai sebuah filter bubble.

Bicara lagi mengenai algoritme Facebook, karena banyak orang yang membaca berita atau mendapatkan informasi lewat Facebook.

Dan karena Facebook sendiri tidak punya aturan editorial yang ketat, faktanya banyak orang yang ‘terlindung’ dari berita yang mengandung pandangan yang tak mereka setujui, yang berarti informasi yang salah dapat menyebar secara mudah dan cepat, bahkan hanya dengan satu kali klik.

Menurut Dr. Paul Elmer, dosen urama di Lancashire School of Business and Enterprise, Inggris, munculnya hoaks sebagian besar dipengaruhi oleh pihak-pihak politisi pada iklim politik tertentu. Seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, dan lain-lain.

Menurutnya, politisi bisa saja marah dengan beredarnya hoaks. Tapi banyak juga yang bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan di mana hoaks dapat berkembang.

Iklim politik tertentu yang dikombinasikan dengan aksi para politisi dapat menjadi lahan sumbur bagi hoaks untuk tumbuh subur.

Dan ini merupakan keuntungan bagi para penyalur berita bohong yang dapat dengan mudah dan cepat menjadikannya viral.

Jika hoaks mengindikasikan sesuatu, Dr. Paul menyebutnya sebagai jurnalisme yang kasar.

Bahayanya adalah jurnalis yang profesional dapat tergoda untuk beralih ke sensasionalisme, yang hanya termotivasi pada penyebaran informasi yang tidak akurat, bahkan bohong.

Banyaknya berita hoaks yang beredar di media sosial kadang membuat para warganet bingung untuk melakukan identifikasi.

Beredarnya hoaks dapat memberikan dampak negatif bagi siapa saja. Kontennya biasanya berisi hal negatif, yang tak jarang bersifat menghasut dan fitnah.

Hoaks biasanya menyasar emosi masyarakat dan menimbulkan opini negatif yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa atau bully terhadap pihak yang menjadi objek hoaks.

Hoaks juga dapat memberikan provokasi yang menyulut kebencian, kemarahan, pemberontakan, dan lain-lain untuk memengaruhi massa.

Karena itu, untuk menghindari adanya dampak negatif hoaks yang dapat memecah belah persatuan, mari mulai menjadi pembaca yang cerdas.