close
Nuga Sehat

Kurang Tidur Bisa Menghilangkan Kalori

Lantas merasa lapar dan melahap berbagai makanan dengan rakus?

Ya. Para ahli setuju dengan kondisi ini.

Dan  membuktikannya  bahwa kekurangan tidur menyebabkan hilangnya banyak kalori dan memerlukan asupan tambahan ketika Anda terjaga.

Dalam sebuah studi yang diterbitkan di European Journal of Clinical Nutrition, periset menghitung jumlah tambahan kalori yang dimakan oleh mereka yang kelelahan akibat kurang tidur.

Untuk melakukan riset tersebut, peneliti mengumpulkan hasil dari sebelas studi sebelumnya yang meneliti “kurang tidur parsial” dan konsumsi kalori.

Kurang tidur parsial berarti seseorang tidur hanya sebagian tidak sepanjang malam.

“Tidur tidak sepanjang malam ini dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur,” kata peneliti Gerda Pot, PhD.

Studi-studi itu, pria dan wanita yang tak hanya berberat badan normal, tapi juga yang kelebihan berat dan obesitas.

Periset menemukan orang yang kurang tidur mengonsumsi rata-rata ekstra tiga ratus delapan puluh lima kalori sehari.

“Ini setara dengan empat setengah potong roti,” kata Pot.

“Tambahan lagi, mereka mengonsumsi lebih banyak lemak dan lebih sedikit protein,” tambah Pot. Konsumsi karbohidrat secara kasar kurang lebih sama.

Periset lain berspekulasi kurang tidur mungkin mempengaruhi hormon yang berhubungan dengan rasa lapar seperti leptin dan ghrelin.

Tetapi Pot dan rekan-rekannya percaya pejelasannya mungkin “hedonis”, artinya makan berlebihan saat kurang tidur karena mereka mencari kesenangan.

Sharon Zarabi, RD, direktur program bariatrik di Lenox Hill Hospital New York City berbagi dugaan yang sama. Keinginan makan berlebihan mungkin karena mereka gelisah dan tak dapat memuaskan kecemasan mereka dengan makan. Zarabi tak terlibat dalam studi baru tersebut.

Peneliti pun menemukan terjaga di malam hari sebenarnya tak membakar kalori ekstra. Ini membuktikan tak cukup tidur dalam jangka panjang adalah resep untuk mengalami kenaikan berat badan.

Tetapi, tak satu pun dari studi yang diikutsertakan berlangsung tak lebih dari dua minggu sehingga tak mungkin mengetahui jika tambahan kalori itu juga menambah berat badan pula.

Peneliti saat ini melakukan riset pada orang yang tak tidur cukup.

“Kami perlu melakukan riset tambahan terhadap tidur sebagai faktor risiko yang dapat diperbaiki untuk obesitas dan mungkin juga penyakit kardio-metabolik seperti diabetes, khususnya di tengah masyarakat saat ini yang cenderung kurang tidur,” kata Pot.

Selain memakan kalori, kekurangan tidur, termasuk terlalu lama atau kurang tidur, bisa berdampak pada kesehatan jantung.

Oleh karena itu, upayakan untuk tidur dalam durasi waktu yang tepat.

Menurut para ahli dari Asosiasi jantung Amerika, durasi tidur yang tepat sama pentingnya seperti pola makan yang sehat dan olahraga rutin, untuk menjaga kesehatan jantung.

Setiap malam, kita direkomendasikan untuk tidur sekitar tujuh hingga delapan jam. Kurang tidur atau tidur kurang dari tujuh  jam setiap malam, serta jam tidur lebih dari sembilan jam di malam hari, meningkatkan risiko penyakit jantung.

Sudah banyak penelitian yang mengungkap efek kurang tidur, terutama insomnia dan sleep apnea  terhadap terjadinya penyakit diabetes tipe dua dan obesitas.

Penelitian juga masih dilakukan untuk mengetahui dengan jelas apakah gangguan tidur akan berpengaruh pada kadar Kolesterol, trigliserida, dan tanda-tanda inflamasi, yang juga mengakibatkan penyakit stroke, tekanan darah tinggi, dan jantung.

Marie-Pierre St.Onge, ahli kedokteran gizi dari Universitas Columbia, merekomendasikan agar dokter juga menanyakan pada pasiennya durasi tidur dan apakah mereka mengorok.

“Pasien yang kegemukan dan mengorok juga sebaiknya berkonsultasi dengan dokter ahli tidur. Durasi tidur yang tepat sangat penting bagi kesehatan,” katanya.

Sebuah studi kecil mendapatkan penemuan menarik mengenai stimulasi otak. Stimulasi otak non invasif ini dapat menurunkan konsumsi kalori yang berujung penurunan berat badan pada sejumlah kecil orang dewasa.

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Obesity, peneliti dari National Institute of Health mengikuti sembilan orang dewasa obesitas. Dalam tahap pertama penelitian, pria dan wanita diberi pola makan pengelolaan berat badan lima hari.

Selama tiga hari berikutnya, mereka mendapatkan transcarnial direct current stimulation (tDCS) asli atau palsu, arus rendah yang tak menyakitkan langsung ke area otak lewat elektroda kecil.

Setelah itu, mereka dibolehkan makan dan minum sebanyak diinginkan dari mesin penjual. Eksperimen delapan hari ini terjadi dua kali.

Ukuran studi ini sangat kecil sehingga diperlukan riset lagi sebelum menarik kesimpulan yang solid dari studi.

Tetapi riset tersebut menemukan pria dan wanita yang mendapatkan stimulasi otak sungguhan mengonsumsi kalori lebih sedikit setiap hari, kalori yang benar-benar lebih sedikit dari soda dan lebih sedikit kalori dari lemak.

Mereka juga mengalami penurunan berat badan. Sementara mereka yang mendapatkan stimulasi palsu makan kalori yang sama dan tak mengalami penurunan berat badan.

Studi sebelumnya membuktikan aktivitas otak tingkat rendah di daerah otak yang disebut dorsolateral prefrontal cortex bagian kiri(LDLPFC) di kalangan orang gemuk dibandingkan dengan orang langsing.

Daerah otak itu ada hubungannya dengan rasa, pemrosesan reward dan pengaturan perilaku. Periset percaya bahwa ganggungan  LDLPFC pada orang obesitas mungkin mempengaruhi perilaku dan pilihan makannya.

“Tujuan dari studi ini adalah melihat bila peningkatan aktiviasi LDLPFC akan menurunkan asupan makanan dan minuman yang akan mengakibatkan penurunan berat badan,” kata penulis penelitian Marci E. Gluck.

“Karena kemampuan tDCS untuk meningkatkan rangsangan cortical, kami berpendapat hal itu bakal membantu masyarakat mengontrol makan,” katanya.