close
Nuga Life

Tahu Bagaimana Stress Bisa Jadi Penyakit?

Setiap waktu, Anda bisa saja mengalami stres, bisa saja karena pekerjaan, masalah keuangan, masalah dengan pasangan atau keluarga, atau bisa saja hanya karena kemacetan di jalan –hal yang tidak terduga.

Hal-hal kecil yang membuat tensi Anda sedikit naik, bisa saja membuat tubuh Anda stres. Namun, sebaiknya kelola stres Anda sebisa mungkin karena dampak stres pada tubuh sangat banyak dan pastinya merugikan kesehatan Anda.

Stres dapat terjadi karena perubahan lingkungan di sekitar kita, sehingga tubuh akan bereaksi dan meresponnya sebagai upaya perlindungan. Tubuh bereaksi terhadap stres dengan memberi respon fisik, mental, dan emosional.

Tubuh bereaksi terhadap segala hal yang dianggapnya sebagai bahaya, entah itu benar-benar membahayakan atau tidak.

Ketika tubuh merasa terancam, maka di dalam tubuh akan terjadi reaksi kimia yang memungkinkan Anda untuk mencegah cedera. Reaksi ini disebut dengan “fight-or-flight” atau respon stres.

Saat tubuh Anda merespon stres, Anda akan merasakan denyut jantung meningkat, pernapasan lebih cepat, otot menegang, dan tekanan darah Anda naik.

Stres bisa terjadi berbeda-beda antar orang. Apa yang menyebabkan stres pada diri Anda, belum tentu juga bisa menyebabkan stres pada diri orang lain.

Ini semua tergantung dari bagaimana Anda melihat sesuatu yang bisa menyebabkan stres dan cara Anda menangani stres.

Stres ringan mungkin dapat membantu Anda dalam menyelesaikan tugas. Namun, jika stres berat atau stres kronis terjadi pada Anda, maka bisa merugikan kesehatan Anda.

Saat Anda merasa stres, semua sistem dalam tubuh Anda akan meresponnya dengan cara yang berbeda-beda. Stres kronis dapat berdampak pada kesehatan Anda secara keseluruhan.

Sistem saraf pusat adalah yang paling bertanggung jawab dalam merespon stres, mulai dari pertama kali stres muncul sampai stres menghilang. Sistem saraf pusat menghasilkan respon “fight-or-flight” saat tubuh mengalami stres. Juga, memberikan perintah dari hipotalamus ke kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin dan kortisol.

Saat kortisol dan adrenalin dilepaskan, hati menghasilkan lebih banyak gula dalam darah untuk memberi energi pada tubuh Anda.

Jika tubuh Anda tidak menggunakan semua energi tambahan ini, maka tubuh akan menyerap gula darah kembali. Namun, bagi orang yang rentan terhadap diabetes tipe 2 gula darah ini tidak bisa diserap semua sehingga mengakibatkan kadar gula darah meningkat.

Pelepasan hormon adrenalin dan kortisol menyebabkan peningkatan detak jantung, pernapasan lebih cepat, pelebaran pembuluh darah di lengan dan kaki, dan kadar glukosa darah meningkat.

Saat stres mulai menghilang, sistem saraf pusat juga yang pertama kali memerintahkan tubuh untuk kembali ke normal.

Stres membuat pernapasan Anda lebih cepat sebagai upaya untuk mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh.

Hal ini mungkin tidak masalah bagi banyak orang, tetapi bisa menyebabkan masalah pada orang dengan asma atau emfisema.

Napas cepat atau hiperventilasi juga dapat menyebabkan serangan panik.

Saat Anda mengalami stres akut (stres dalam waktu singkat, seperti karena terjebak macet di jalan),  detak jantung akan meningkat, serta pembuluh darah yang menuju ke otot besar dan jantung akan melebar.

Hal ini menyebabkan peningkatan volume darah yang dipompa ke seluruh tubuh dan meningkatkan tekanan darah. P

ada saat stres, darah perlu dialirkan dengan cepat ke seluruh tubuh(terutama otak dan hati untuk membantu menyediakan energi bagi tubuh.

Juga, saat Anda mengalami stres kronis stres dalam jangka waktu lama, detak jantung Anda akan meningkat secara konsisten.

Tekanan darah dan kadar hormon stres juga akan meningkat secara berkelanjutan. Sehingga, stres kronis dapat meningkatkan risiko Anda terkena hipertensi, serangan jantung, atau stroke.

Saat stres, peningkatan detak jantung dan pernapasan dapat mengganggu sistem pencernaan Anda.

Anda mungkin akan makan lebih banyak atau lebih sedikit dari biasanya. Risiko Anda mengalami heartburn, refluks asam, mual, muntah, atau sakit perut juga meningkat.

Stres juga dapat memengaruhi pergerakan makanan dalam usus Anda, sehingga Anda bisa mengalami diare atau sembelit.

Otot-otot Anda akan menegang saat stres dan kemudian akan kembali normal lagi saat Anda sudah tenang.

Namun, jika Anda mengalami stres yang berkelanjutan, maka otot Anda tidak mempunyai waktu untuk rileks.

Sehingga, otot-otot yang tegang ini akan mengakibatkan Anda mengalami sakit kepala, nyeri punggung, serta nyeri di seluruh tubuh.

Stres juga berpengaruh pada gairah seksual Anda. Mungkin gairah seksual Anda akan menurun saat Anda sedang mengalami stres kronis.

Namun, pria lebih banyak menghasilkan hormon testosteron selama stres, yang dapat meningkatkan gairah seksual dalam jangka pendek. Jika stres berlangsung dalam waktu lama, kadar hormon testosteron pria akan mulai menurun.

Hal ini dapat mengganggu produksi sperma, yang akan menyebabkan disfungsi ereksi atau impotensi.

Sedangkan, pada wanita, stres dapat memengaruhi siklus menstruasi. Saat stres, Anda mungkin mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur, tidak mengalami menstruasi sama sekali, atau mengalami menstruasi yang lebih berat.

Saat Anda stres, tubuh merangsang sistem kekebalan tubuh untuk bekerja. Jika stres yang Anda rasakan bersifat sementara, ini akan membantu tubuh Anda dalam mencegah infeksi dan penyembuhan luka.

Namun, jika stres terjadi dalam waktu lama, maka tubuh akan melepaskan hormon kortisol yang akan menghambat pelepasan histamin dan respon peradangan untuk melawan zat asing.

Sehingga, orang yang mengalami stres kronis akan lebih rentan untuk terkena penyakit, seperti influenza, flu biasa, atau penyakit infeksi lainnya. Stres kronis juga membuat Anda lebih lama untuk sembuh dari sakit atau cedera.

Mungkin Anda pernah mendengar, saat seseorang sedang merasa banyak pikiran atau stres, entah bagaimana dia kemudian menjadi sakit.

Seorang ilmuwan dari Michigan State University mencoba menjawab hubungan keduanya lewat sebuah penelitian yang  diterbitkan di jurnal Leukocyte Biology.

Dia membuktikan bahwa jenis stres tertentu dapat berinteraksi dengan sel kekebalan tubuh yang merespons sel alergen, hingga akhirnya menimbulkan gejala fisik dan penyakit.

Dalam penelitiannya, Adam Moeser yang merupakan profesor khusus penyakit akibat stres di College of Veterinary Medicine menunjukkan bagaimana reseptor stres yang dikenal sebagai faktor pelepasan kortikotropin atau CRF1 dapat mengirim sinyal ke sel kekebalan tubuh yang disebut sel mast.

“Sel mast menjadi sangat aktif dalam menanggapi situasi stres yang mungkin dialami tubuh,” kata Moeser dikutip dari Science Daily.

“Saat ini terjadi, CRF1 memberitahu sel-sel ini untuk melepaskan zat kimia yang dapat menyebabkan penyakit inflamasi dan alergi seperti sindrom iritasi usus besar, asma, alergi makanan yang mengancam jiwa dan kelainan autoimun seperti lupus,” sambungnya.

Salah satu zat kimia yang dilepaskan tersebut adalah histamin. Histamin merupakan zat kimia yang diproduksi oleh sel di dalam tubuh saat terpapar alergen. Zat inilah yang membuat kita mengalami reaksi alergi untuk membersihkan alergen dalam tubuh.

Pada penelitian ini, Moeser membandingkan respon histamin tikus dalam dua jenis kondisi stres, yakni psikologis dan alergi, di mana sistem kekebalan tubuh menjadi terlalu banyak bekerja.

Satu kelompok tikus dianggap normal dengan reseptor CRF1 pada sel mast mereka. Sementara kelompok yang lain selnya kekurangan CRF1.

“Tikus normal yang terpapar stres menunjukkan tingkat histamin dan penyakit yang tinggi. Sebaliknya tikus yang kekurangan CRF1 memiliki kadar histamin rendah sehingga sedikit penyakit dan terlindung dari kedua jenis stres,” ujar Moeser.

“Ini menunjukkan bahwa CRF1 secara kritis terlibat dalam beberapa penyakit yang dipicu oleh stres,” sambungnya.

Tikus kekurangan CRF1 yang terpapar stres alergi mengalami penurunan kesehatan 54 persen. Sementara tikus yang mengalami tekanan psikologi mengalami penurunan 63 persen.

“Temuan ini merupakan langkah maju dalam memecah kode bagaimana stres membuat seseorang menjadi sakit dan memberikan alternatif yang fokus pada sel mast sebagai terapi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka yang sakit karena stres,” kata Moeser.