close
Nuga Life

Orang Religius Lebih Sehat dan Hidup Lama

Majalah mingguan terkenal dunia “newsweek,” dalam edisi terbarunya yang terbit hari ini, Rabu, 27 Desember,  menulis bahwa mereka yang hidup dalam suasana relegius bisa lebih sehat dan lebih lama usinya dibanding dengan seorang atheis.

Sebelum menyimpulkan pendapat ini para peneliti sempat bingung

Namun begitu  para ilmuwan sosial  telah menemukan alasannya.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Evolutionary Psychological Science menyebut bahwa orang ateis dihubungkan dengan gen mutan.

“Mungkin hubungan positif antara agama dan kesehatan bukanlah kausal. Dengan kata lain, bukan karena religius yang membuat Anda kurang stres sehingga kurang sakit,” ungkap Edward Dutton dari the Ulster Institute for Social Research

“Sebaliknya, orang-orang religius adalah populasi sisa-sisa genetik normal dari masa pra-revolusi industri, dan kebanyakan kita semua adalah mutan yang biasanya meninggal sebagai anak-anak saat itu,” sambungnya.

Menurut Dutton, perubahan norma masyarakat tercermin dalam genetika kita. Menurut seleksi alam, perilaku di suatu spesies akan bekerja untuk meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidupnya.

Oleh karena itu, penyimpangan sosial terkadang terkait dengan mutasi genetik yang tidak tepat. Dutton menyebut sejak revolusi industri, pertahanan seleksi alam terhadap kemanusiaan melemah.

“Kita mengembangkan perawatan medis yang lebih baik dan lebih baik lagi, akses makanan sehat lebih mudah dan kondisi kehidupan yang lebih baik. Kematian anak jadi turun sampai ke tingkat yang sangat kecil, ini membuat semakin banyak orang dengan gen mutan bertahan sampai dewasa dan memiliki anak,”kata Dutton.

Dutton menyebut Ateisme dulu adalah penyimpangan norma, namun makin lama makin jadi umum.

Hal ini terjadi karena gen yang tidak sesuai bermutasi tetap dapat tumbuh dan bahkan menjadi sesuatu yang normal.

Untuk penelitian ini, Dutton dan koleganya menguji kecenderungan kidal pada orang religius dan ateis. Kidal adalah penanda dari mutasi gen yang lebih tinggi.

Para peneliti kemudian menemukan bahwa tingkat kidal yang lebih tinggi pada penganut ateisme daripada penganut kebanyakan agama besar.

Ini mungkin disebabkan oleh karena seleksi alam melawan mutasi gen yang menjadi kurang intens. Akhirnya, secara tidak langsung penganut religiusitas makin jarang.

“Sementara penganut religiusitas memperjuangkan orang on-religius, tapi jumlah penduduk religius justru makin menyusut karena seleksi alamnya semakin melemah,” kata Dutton.

Awal tahun ini, Dutton dan koleganya juga mengidentifikasi hubungan antara kecerdasan dan atheisme.

Dia memprediksi bahwa, pada akhirnya, kecerdasan dan atheisme akan sama-sama hilang oleh kembalinya seleksi alam secara bertahap.

Dutton menjelaskan, “Kita akan diambil alih oleh masyarakat yang lebih religius yang lebih etnosentris  Karena kecerdasan kita menurun, saya menduga peradaban akan mundur, seleksi alam akan kembali dan kita akan menjadi lebih religius sekali lagi. Hal ini nampaknya merupakan aturan sejarah.”

Dalam  para ilmuwan juga menelisik perilaku ateis dan religius dan mendapatkan berhasil mendapatkan gambaran tentang motif tindakan dan moralitasnya.

Riset itu menunjukkan, tak ada satu golongan yang lebih atau kurang bermoral dibandingkan yang lain.

Collin Cowgill dari Universitas Ohio dan timnya melakukan tiga eksperimen untuk melihat perilaku prososial, kecenderungan kelompok untuk mendukung anggotanya sendiri.

Dalam eksperimen pertama, pesertanya tiga ratus orang, terdiri dari seratus  lima puluhorang Kristen dan 147 ateis.

Mereka ditugaskan bermain Dictator Game, sebuah permainan ekonomi. Dalam permainan itu, tiap peserta ditugaskan membagi uang kepada peserta lain.

Permainannya sedikit dimodifikasi. Para peneliti mengatakan bahwa tiap peserta mengetahui identias peserta lainnya.

Para peneliti juga memberi tahu bahwa pemain lain akan memberikan skor reputasi yang dapat dilihat secara terbuka.

Pada eksperimen kedua, para peneliti melibatkan orang Kristen dan  ateis.

Kegiatannya hampir sama. Bedanya, kelompok kedua tidak tahu bahwa mereka berpasangan dengan orang sungguhan.

Usai permainan, peserta harus menyelesaikan survei untuk mengevaluasi moralitas pasangan mereka.

Hasil dari dua eksperimen itu, orang Kristen memberi lebih banyak uang kepada sesamanya, sedangkan ateis memberikan jumlah yang sama kepada semua orang, terlepas dari status religiusitasnya.

Hasil menarik dijumpai dalam eksperimen ketiga.

Peneliti melibatkan  lima ratgus peserta, terdiri dari  ateis dan Kristen.

Kelompok pertama dibertahu bahwa orang lain tidak tahu identitas mereka, sedangkan pada kelompok kedua dibertahu.

Saat orang ateis berpikir bahwa orang Kristen tak mengetahui identitas mereka, bias kelompok muncul. Orang ateis memberi lebih banyak uang kepada sesamanya daripada memberi ke orang Kristen.

Hal ini menunjukkan bahwa ateis tidak sepenuhnya bersikap altruisme.

“Hasil kami menunjukkan bahwa ateis secara unik memperhatikan anggota kelompok luar karena menganggapnya tidak bermoral, karena kurangnya religiusitas, dan bahwa masalah ini setidaknya sebagian bertanggung jawab atas perilaku ateis terhadap mitra Kristen mereka dalam permainan ekonomi,” para peneliti menulis di pembelajaran.

Saling memengaruhi diantara kedua kelompok ini diminati oleh para peneliti.

Hasil penelitian Ain Simpson, Kimberly Rios, dan Collen M. Cowgill pada Journal Experimental Social Psychology menunjukkan bahwa kedua kelompok tidak saling memahami. Orang ateis berbicara dengan nada negatif tentang orang Kristen, dan begitu juga sebaliknya.

“Menurut saya, riset ini memberitahukan bahwa ateis sangat sadar stereotip negatif tentang dirinya sehingga ada perbedaan perilaku dengan mereka yang Kristen, bahkan dalam interaksi kecil,” kata Cowgill seperti dikutip Science Alert.

Dari kedua penelitian di atas, menunjukkan betapa stereotip mempengaruhi cara pandang dan perilaku seseorang kepada kelompok lain.

Maka, jika dialog terus dibangun diantara kelompok yang berbeda, bukan hal mustahil bahwa manusia bisa hidup tanpa